Di lereng Gunung Muria, Kudus, seorang laki-laki memilih jalan berbeda. Mayoritas masyarakat bertani kopi dan jeruk pamelo. Sementara ia justru menekuni pembuatan biola dari bambu: Ia menjadi satu-satunya orang di Kudus yang menjadi empunya biola bambu.
***
Segelas kopi dan alunan “Tanah Airku” dari biola bambu menyambut saya saat bertamu di rumah Ngatmin alias Mbah Min (48) pada Rabu (16/7/2025). Sebuah rumah sederhana di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Tak hanya biola bambu. Banyak kerajinan dari kayu yang terpajang di rumahnya. Miniatur Menara Kudus, kaligrafi dari kayu, gitar, dan macam-macam. Itu semua adalah garapan Mbah Min sendiri. Diproduksi di halaman rumah yang ia sulap sebagai “bengkel produksi”.

Ditantang membuat biola meski tak tahu musik
Mbah Min hanya tamatan SD. Sebenarnya ia ingin lanjut sekolah. Namun, karena perkara ekonomi, alhasil Mbah Min pasrah.
Di umur 15-an tahun, Mbah Min remaja lantas meninggalkan kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah. Ia mulai bekerja sebagai tukang kayu di Jepara.
Selama bertahun-tahun menjadi tukang kayu, Mbah Min mengaku awalnya tidak akrab dengan biola. Tak paham musik juga. Sebelum akhirnya ia ke Bogor pada 2009.
“Saya punya teman di Bogor. Dia ngajak kolaborasi bikin biola. Karena teman saya itu suka biola dan mengajar les biola. Waktu itu saya buatnya belum pakai bambu, tapi kayu sonokeling,” ujar Mbah Min. Dan ternyata Mbah Min bisa membuatnya.
Proses awal membuat biola sebenarnya tidak mudah. Karena Mbah Min harus belajar secara otodidak. Beberapa kali percobaan gagal: bentuk dan resonansi suaranya tak sebagaimana yang diharapkan. Namun, seiring waktu, mahir lah ia membuat alat musik geser itu.
Tak hanya bisa membuat. Ia pun akhirnya juga mulai belajar dasar-dasar memainkannya. Keahlian yang kemudian ia bawa pulang ke Jawa Tengah pada 2013.
“Di Bogor sudah mulai ada pesanan. Tapi saya pengin kerja dekat keluarga, jadi memilih pulang,” katanya.
Menjadi empu biola bambu di lereng Muria Kudus
Alih-alih pulang ke Jepara atau Pati, Mbah Min memilih hijrah ke Desa Japan, Kecamatan Dawe—sebuah desa di kaki Gunung Muria, Kudus.
“Terus saya berpikir untuk inovasi. Maka tercetuslah biola bambu,” ungkap Mbah Min.
“Pertimbangan saya memilih bambu sederhana. Biasanya kalau alat music dari bambu itu bagus dan nyaring. Misalnya suling, angklung, dan lain-lain,” sambungnya.

Hanya memang, tidak sembarang bambu bisa diolah menjadi biola. Mbah Min memilih bambu petung dan wulung. Bambu petung untuk menghasilkan suara sopran (suara tinggi perempuan), sementara bambu wulung untuk menghasilkan suara tenor (suara tinggi laki-laki). Akan tetapi, setelah melalui beragam percobaan, Mbah Min lebih banyak membuat biola dari bambu petung.
Menurutnya, suara yang dihasilkan lebih mirip dengan suara biola kayu. Selain itu, bambu petung juga lebih kuat dan tahan lama. Bambu ini memiliki serat yang lebih lembut ketimbang bambu wulung, sehingga memudahkan proses pembuatan. Keberadaannya di Japan, Kudus, pun terbilang melimpah.
“Bambu yang dipilih yang sudah tua. Kalau muda kan dipakai buat lumpia rebung,” jelas Mbah Min. Kira-kira bambu dengan diameter 20 sentimeter dan panjang 20 meter lah yang bakal ia ambil.
Corak unik biola bambu lereng Muria Kudus dan cara hidup anaconda
Bahan baku bambu bukan satu-satunya hal unik dari biola Mbah Min. Dengan keterampilan tangan khas tukang kayu Jepara, Mbah Min memberi sentuhan ukiran pada biolanya. Misalnya ukiran kepala wayang di ujung gagang biola atau motif batik dalam tasnya.
Satu biola bambu buatan Mbah Min dibanderol dengan harga Rp3 juta. Harga yang tentu mahal untuk ukuran warga Kabupaten Kudus. Itulah kenapa, meski sudah melakukan pemasaran dari pintu ke pintu, penjualan di Kudus masih rendah.

Mbah Min sempat meminta bantuan Pemkab Kudus. Harapannya, Dinas Pendidikan Kudus menyisihkan anggaran untuk membeli biola untuk dibagikan ke sekolah-sekolah: Masuk sebagai ekstrakulikuler musik.
“Jadi memang kelas tertentu yang membeli biola bambu saya. Kolektor, pejabat. Saya ngincarnya mereka. Kalau mereka kan harga Rp3 juta-Rp4 juta masih sangat murah, karena biola bambu ini barang seni yang punya nilai,” ujar Mbah Min.
“Walaupun kalau kata orang awam, ‘Mban Min ini bambu saja dijual semahal itu’,” sambungnya diikuti gelak tawa.
Selain itu, Mbah Min juga menjualnya secara online dan aktif mengikuti pameran. Di antaranya ia sempat ikut pameran di Kudus, Semarang, Batam, hingga Bali.
Karena alotnya penjualan biola bambu tersebut, Mbah Min memakai cara hidup ala anaconda—kalau meminjam istilahnya. Lama tidak makan, tapi sekali makan bisa buat berminggu-minggu.
“Jadi pesanan biola bambu ini memang nggak terus-terusan ada. Tapi dengan harga segitu, sekali ada pesanan kan hasilnya bisa buat satu bulan,” ujarnya.
Dan karena alotnya pemasaran, Mbah Min mengatur mindset-nya bahwa biola bambu tersebut hanya sampingan dan klangenan saja. Sementara kebutuhan pokok sehari-hari ia penuhi dari menjadi tukang.
Mewariskan ilmu
Di kaki Gunung Muria itu, hingga kini, Mbah Min masih menjadi satu-satunya empu biola bambu. Belum ada orang lain yang punya ketertarikan dan kemampuan menjadi perajin biola bambu.
Mbah Min merasa eman jika kerajinan tersebut tidak ada yang meneruskan. Apalagi, kerajinan tersebut bisa dikembangkan sebagai kerajinan khas Kudus.
Oleh karena itu, ia tengah mengarahkan anak pertamanya (21 tahun) untuk mulai belajar membuat biola bambu. Kepada dua anaknya, Mbah Min juga tipis-tipis mengajari mereka memainkannya.

Tak hanya itu, rumah Mbah Min juga kerap menjadi jujukan studi banding mahasiswa dari kampus-kampus terdekat (Semarang-Kudus). Mereka datang untuk belajar khususnya bagaimana mengolah bambu menjadi alat musik khas nan merdu, dan umumnya perihal mengolah kayu menjadi kerajinan beraneka ragam.
“Tapi untuk les memang nggak buka les. Kecuali kalau ada yang minta les, asal beli biolanya dari saya, saya kasih les gratis sampai bisa memainkan,” ujar Mbah Min.
Mbah Min menjamin garansi, setiap ada hal minor dari pembelian di tempatnya, maka akan ia ganti. Bagi yang tertarik untuk membelinya, bisa datang langsung ke rumahnya di lereng Muria atau cek di sini.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tongseng Enthog Pak Badi Kudus, Kuliner Warisan Bapak untuk Anak yang Suka Touring atau tulisan Mojok lainnya di rubrik Liputan












