Doa-doa baik barangkali tengah berjejalan di langit yang menaungi atap Masjid Jendral Sudirman (MJS), Sleman, atau juga di segala penjuru. Malam itu, Sabtu (16/8/2025), ratusan orang—jemaah Ngaji Filsafat—berkumpul untuk sama-sama mensyukuri sekaligus mendoakan guru mereka, Dr. Fahruddin Faiz, yang memijaki ambal warsa ke-50 tahun.
***
Bagian dalam Masjid Jendral Sudirman sudah tampak penuh saat saya dan rombongan Puthut EA tiba pukul 20.00 WIB. Jemaah yang hadir meluber hingga ke pelataran.
12 tahun silam, situasinya tentu tidak demikian. Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman digagas pada 2013 oleh M. Yasser Arafat dan para pengurus MJS era itu. Pesertanya bisa dihitung jari: lima sampai sepuluh kepala saja.
Tapi resonansi kebijaksanaan, kedalaman ilmu, dan keteduhan sosok Fahruddin Faiz pada akhirnya menyentuh jiwa dan akal ratusan orang—khususnya kawula muda—yang tengah mengalami dahaga ilmu dan kegersangan kearifan.
Pituturnya selalu dinanti. Tidak hanya dalam rutinan Ngaji Filsafat, tapi juga dalam banyak forum yang menghadirkan sosoknya sebagai pembicara. Pendengarnya tidak hanya di Jogja, tapi juga di jagat maya yang terkoneksi dengan tak terhitung manusia dari berbagai asal.
Meniti Jalan Kembali: mengiringi 50 tahun Fahruddin Faiz
Dengan suguhan teh hangat, saya memilih duduk di pelataran belakang Masjid Jendral Sudirman. Sementara Puthut EA ada di sudut lain. Posisi itu memang tidak memungkinkan saya melihat lebih dekat wajah Pak Faiz—begitu ia kerap dipanggil.
Tapi pendengaran saya masih cukup baik untuk menangkap pitutur-pituturnya yang arif dan padat. Itu sudah lebih dari cukup. Yang penting ada nilai yang bisa saya bawa pulang dari sekadar oleh-oleh foto Pak Faiz berpidato untuk diunggah di media sosial.
Tajuk malam itu adalah “Tasyakuran 50th Dr. Fahruddin Faiz: Meniti Jalan Kembali”. Acara ini merupakan bentuk syukur mengiringi usia 50 tahun Fahruddin Faiz. Dalam pandangan ruhani, usia bukan sekadar angka, melainkan titik refleksi yang sarat makna. Begitu pengantar MJS.
Meniti Jalan Kembali diusung karena menyiratkan kesadaran atas sebuah perjalanan pulang: perjalanan dari keramaian dunia menuju kedalaman diri, dari pusaran ambisi menuju ketenangan, dari pusaran jiwa yang fana menuju keterhubungan dengan yang abadi.
Acara malam itu sekaligus mensyukuri terbitnya buku refleksi 50 tahun Fahruddin Faiz berjudul, “Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali” (MJS Press, 2025).
Menyadari sangkan paran
Jauh-jauh dari Singapura, Nani Abdul Rahman, peminat sekaligus peneliti kebudayaan Jawa kelahiran Malaysia menyempatkan waktu hadir untuk ikut mensyukuri 50 tahun Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman.
Nani tentu saja urun cara pandang perihal “Meniti Jalan Kembali”. Meminjam konsepsi dalam khazanah Jawa, Nani menyebut bahwa Meniti Jalan Kembali artinya seseorang harus menyadari sangkan paraning dumadi (asal dan ke mana manusia akan kembali).
Sangkan paraning dumadi manusia adalah sebagaimana tergambar dalam ayat inna lillahi wa inna ilaiho rojiun: Tuhan. Maka, dalam setiap hembusan nafas, manusia harus menyadari kalau ia berasal dan akan kembali pada Tuhannya.
“Kalau kita begitu apakah artinya fatalis? Tidak. Itu justru memberi kesadaran untuk menjalani hidup dengan gembira. Karena percaya Gusti mboten sare (tidak tidur). Artinya kita percaya akan selalu dijaga Tuhan,” ujar Nani.
Memayu Hayuning Bawana: jangan cemari diri sendiri
Berikutnya, manusia harus sadar bahwa hakikat fitrahnya adalah mulia dan indah. Karena merupakan emanasi dari Zat yang penuh kemuliaan dan keindahan.
Oleh karena itu, masih meminjam konsep khazanah Jawa, manusia harus memayu hayuning: mengindahkan sesuatu yang sejatinya sudah indah.
“Jadi jangan mencemarkan diri sendiri. Karena ada kemuliaan sejati dalam diri kita,” tekan Nani.
Memayu hayuning itu harus terimplementasi dalam bawana (semua makhluk dan alam). Begitulah cara pandang Nani terhadap “Meniti Jalan Kembali”.
Fahruddin Faiz: kembali tidak hanya soal mati
Fahruddin Faiz memahami, jika mendengar kata “kembali”, di kepala banyak orang pasti akan terlintas kalimat tarji’: inna lillahi wa inna ilaihi rojiun yang identik dengan kematian.
Maka saat tiba gilirannya mewedar “Meniti Jalam Kembali”, Fahruddin Faiz membeber sekian konsep “kembali”.
“Plato itu punya konsep manusia hidup itu sudah punya bekal pengetahuan. Sehingga, konsep kembali itu proses mengingat kembali kebenaran melalui akal sehat untuk menemukan kebenaran sejati,” ungkap Pak Faiz.
Lalu Martin Heidegger, filsuf Jerman, punya konsep bahwa manusia seharusnya kembali pada dirinya sendiri. Manusia modern kerap sibuk oleh hal-hal tak penting dan tidak eksistensial.
Misalnya sibuk dengan gadget, kerja, dan lain-lain. Itu membuat manusia melupakan aspek pokok, yakni keberadaan diri. Sehingga lupa memikirkan untuk apa keberadaan diri di dunia ini?
Kalau konsep Soren Kiekergaard, filsuf Denmark, hidup ini repetisi, pengulangan. Hidup ini sebenarnya tidak ada yang baru, semuanya pengulangan saja. Yang kita alami sekarang sudah pernah dialami sebelumnya.
“Lantas apa yang membedakan? Yang membedakan adalah pemaknaan kita atas peristiwa yang pernah dialami. Dulu waktu kecil dimarahi orangtua merasa jengkel. Tapi sekarang pas dimarahi lagi malah sadar kalau itu penting. Dulu patah hati itu rasanya sakit. Tapi sekarang wis biasa. Maka harusnya makin dewasa seseorang, makin dalam pemaknaannya atas hidup,” papar Pak Faiz.
Terakhir adalah konsep kesadaran kritis dari Paulo Freire, filsuf Brazil. Ia mengkritik orang belajar yang tidak nyambung dengan kenyataan hidup. Meniti Jalan Kembali bisa dimaknai sebagai kesadaran kritis agar kembali ke masyarakat.
Malam romantis
Banyak ilmu bertaburan pada malam itu. Tulisan ini hanya bagian kecilnya saja. Teman-teman bisa menyimaknya dengan khidmat di kanal YouTube Masjid Jendral Sudirman berikut:
Tasyakuran malam itu berlangsung hangat dan romantis. Sebab di ujung waktu—jam 10 sekian—Pak Faiz melakukan potong tumpeng dibersamai sosok istri yang selama ini nyaris tak pernah “terlihat” di publik.
Saya sengaja tak mengambil gambar untuk momen tersebut. Saya hanya ingin memotretnya dengan kepala saya sendiri.
Banyak hal berjejalan di kepala dan batin saya. Sibuk dan riuh. Barangkali dengan keteduhan-kearifan dari Pak Faiz yang menyelusup, sengkarut di kepala dan batin saya bisa terurai pelan-pelan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman Jogja Sulit Ditiru Masjid Manapun, Ngaji-Ngaji Lain di MJS Sendiri Saja Sulit “Bersaing” dengan Fahruddin Faiz atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
