PO Bimo atau Bimo Transport merupakan perusahaan bus pariwisata paling legendaris di Jogja yang masih bertahan sampai sekarang. Sempat mengalami krisis, bus ini bertahan karena kecintaan sang jenderal.
Saking cinta dengan usahanya, pernah di suatu masa, perusahaan ini membeli 10 buah bus baru. Ia melarang bus-bus langsung beroperasi. Tiap pagi, sang jenderal melihat bus-bus tersebut.
Setelah berhari-hari melihatnya di garasi, sang jenderal memperbolehkan bus baru boleh beroperasi. Mojok berkunjung ke garasi PO Bimo untuk mengetahui dinamika bisnis transportasi pariwisata.
***
Mata saya langsung disuguhi pemandangan sejumlah unit bus yang tertata rapi saat menginjakkan kaki di garasi PO Bimo. Saat mendekati kendaraan tersebut tampak bahwa penataannya urut sesuai angka plat nomor. Kecuali untuk unit bus yang sedang dalam proses reparasi.
Siang itu, bus-bus yang tertata sedang bersiap untuk menjemput rombongan di hotel. Di bawah kaca depan sudah terpampang spanduk bertuliskan sebuah sekolah swasta dari Jakarta.
Adi Putra Prawira (37), marketing PO Bimo yang menyambut saya di garasi berujar bahwa hari ini semua 20 unit kendaraan dengan sasis Mercedez Benz milik mereka sedang terpakai semua. Pesanan ramai. Masa-masa membahagiakan bagi pengelola.
Ia lantas mengajak saya memasuki ruangan kantor untuk berbincang lebih panjang. Ruangan berpendingin dengan hiasan foto dan lukisan dari sosok pendiri perusahaan ini yakni Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo.
Legenda bus pariwisata dari Jogja
Sosok tersebut pernah menyandang jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) di tiga era presiden sekaligus. Ia menjabat sejak Februari 1998 sampai November 1999 sehingga melintasi masa Soeharto, Habibie, dan Gus Dur.
“Itu ada foto bapak yang paling bagus. Tiga dimensi!” celetuknya.
Foto yang terpajang di depan pintu masuk kantor itu seakan langsung menyapa tamu. Matanya seolah menatap mereka yang datang dari sudut mana pun kita menengoknya.
Putra, sapaan akrabnya, sudah bekerja di perusahaan ini sejak Agustus 2021 silam. Namun, perkenalannya dengan bus berlambang tokoh pewayangan dengan empat bintang ini sudah terjalin cukup lama.
“Sebelum di sini saya kerja jadi tour leader,” katanya.
Sebelum berkunjung ke garasi yang terletak di Berbah, Sleman ini saya sempat menyimak sejumlah video di YouTube tentang PO Bimo. Selain kontennya, hal yang menarik perhatian saya adalah ratusan tanggapan di sejumlah video.
Banyak cerita nostalgia tentang kru dan bus yang telah menemani ribuan orang melakukan perjalananan membahagiakan menuju berbagai destinasi wisata. Kenangan mereka yang dulu melakukan perjalanan bersama rombongan sekolah seakan tak pernah terlupakan.
“Dulu KKN Untag Semarang ke Bali naik Bimo. Driver-nya Mas Siswoyo. Setiap melihat busnya selalu mengenang masa lalu 2012 di Bali,” tulis akun Kursanto Widodo di salah satu unggahan YouTube Bimo Transport Official.
Saat masih menjadi tour leader, Putra mengaku banyak yang percaya pada Bimo karena keamanan dan kenyamanannya. Meski secara penampakan badan memang terlalu menonjol tapi ada kebanggaan bagi penumpangnya.
“Entah karena bintang empatnya atau apa. Tapi merasa bangga saja kalau di Jogja, tur wisata, pakai Bimo,” kenang Putra.
PO Bimo ganti haluan jadi bus pariwisata
PO Bimo lahir pada 12 Juni 1986, sesuai tanggal kelahiran sang pemilik, Subagyo HS. Mulanya, perusahaan ini aktif pada lini Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) rute Jogja-Wonosari. Namun, setelah melakukan evaluasi akhirnya beralih di sektor pariwisata.
“Beralih itu sekitar 1992-1993. Setelah membandingkan, emang waktu itu lebih potensial di pariwisata hitungannya,” terang lelaki ini.
Perlahan trayek Jogja-Wonosari ditinggalkan secara total. Bus-bus non-ac milik Bimo lantas dijual ke PO Bakmi Jawa yang melayani trayek yang sama.
Hingga saat ini, terbilang tidak ada PO bus pariwisata setua Bimo di Jogja yang masih bertahan. Perusahaan ini jadi legenda hidup yang bertahan melintas zaman. Sempat ada legenda lain yakni PO Langen Mulyo yang lebih tua, namun saat ini juga sudah gulung tikar.
Di garasi masih ada satu unit legendaris milik PO Bimo yang terus dirawat meski kini sudah tidak beroperasi lagi. Bus itu berukuran lebih kecil dari yang lain dan sudah ada sejak 1997 dan menjadi saksi perjalanan perusahaan ini.
Bus itu punya kursi unik yang bisa diatur posisinya. Fasilitas tersebut membuat penumpang bisa menggelar rapat di dalam bus. Salah satu tokoh publik yang pernah merasakan kenyamanannya adalah Jendral TNI (purn) Wiranto.
Bertahan karena kecintaan Pak Jenderal
Perjalanan panjang PO Bimo bukan tanpa tantangan. Sebagai usaha yang bergerak di bidang perjalanan dan pariwisata, perusahaan ini pernah kena hantaman telak saat pandemi melanda.
Sebelum pandemi, mereka memiliki 54 unit bus. Surutnya sektor pariwisata membuat perusahaan ini menjual sebagian besar unitnya sehingga sekarang hanya tersisa 20 yang beroperasi. Terbagi menjadi jenis single glass dan double glass. Ada pula jenis medium seat dengan kapasitas 35-39 penumpang saja.
Bus di sini juga masih mengandalkan sasis Mercedez Benz 1526 saat kebanyakan sudah mulai menggunakan 1626. Unitnya memang masih tergolong keluaran baru, paling tua perusahaan beli pada 2018.
Buat Putra, mengelola PO khusus pariwisata membawa tantangan tersendiri. Dari segi bisnis, sering ada masa di mana biaya pembelian asset tidak bisa tertutupi dengan pendapatan.
“Untuk pariwisata Jogja sekarang memang kebanyakan mengalami kondisi itu. Jadi kami sekarang coba bertahan dengan unit yang ada daripada menambah baru nanti kolaps,” terangnya.
Tanpa sosok pemilik yang royal dan cinta terhadap dunia bus, Putra mengakui Bimo sulit untuk bertahan. Ia mengenal Subagyo sebagai sosok yang begitu menyukai bus. Saat masih aktif bertugas ia memang sudah bercita-cita ingin punya beberapa unit bus.
Pernah suatu ketika, perusahaan membeli 10 unit bus baru. Bukannya langsung dioperasikan demi meraup laba, sang pemilik justru melarang kendaraan untuk keluar dari garasi.
“Sempat itu, awalnya bus nggak boleh jalan. Bapak ke sini sambil ngopi dan nyawang bus setiap pagi. Setelah beliau agak bosan baru bus boleh beroperasi,” ujarnya tertawa, mengenang kecintaan pemilik pada kendaraan-kendaraannya.
“Bimo memang beliau sayang banget. Usaha lain boleh tutup, tapi yang ini terus ia jaga,” imbuhnya.
Disiplin militer di perusahaan PO Bimo
Masa kejayaan Bimo terjadi di era awal 2000-an sampai sekitar 2014. Menurut Putra saat itu pesaing bus pariwisata di Jogja belum terlalu banyak. Inovasi dari tampilan karoseri pun belum beragam seperti sekarang.
Pada pemakaian karoseri, sejak 2014 Bimo setia dengan Morodadi Prima. Meski tampilannya terbilang old bus tapi ketahanannya terhadap kondisi darurat lebih andal. Setidaknya itu yang Putra percayai.
Morodadi Prima mengandalkan bodi berbahan dasar pelat. Beda dengan karoseri lain, meski lebih futuristik tampilannya namun bahan dasarnya mayoritas fiber yang lebih mudah hancur.
“Selain urusan itu, kita buat seragam seperti sekarang juga supaya tidak ada kecemburuan antar penumpang,” terangnya.
Hal itu biasa terjadi di rombongan wisata ketika menyewa beberapa unit bus dengan corak dan karoseri yang berbeda-beda. Perbedaan itu menimbulkan rasa iri lantaran ada jenis yang tampak lebih menawan.
Sebelumnya Bimo juga punya unit yang beragam. Bodi produksi berbagai karoseri seperti Laksana hingga Adi Putro terpasang di bus-bus milik mereka. Sejak 2014, semuanya punya corak sama, kelir berwarna putih dengan balutan biru.
Selain itu, Bimo Transport berusaha menonjolkan kekuatan dari segi SDM. Slogan mereka adalah “Aman dan Nyaman”, hal itulah yang coba mereka berikan ke setiap penumpang.
Hal itu tertanam melalui slogan 5K yang terpampang di dinding-dinding sekitar garasi. Lima pilar perusahaan ini yakni keamanan, kebersihan, ketertiban, kerapihan, dan keindahan.
Slogan menurut Putra benar-benar diterapkan di perusahaan ini. Mulai dari keamanan yang selalu mendapat penjagaan satpam 24 jam. Kebersihan, bisa tampak dari penataan keberadaan tempat sampah di depan setiap bus yang terparkir.
“Kerapian itu terlihat dari bus yang minim variasi. Nggak ada stiker macam-macam. Kru itu juga nggak boleh menaruh barang di depan dashboard. Itu semua supaya tercipta keindahan,” katanya.
Kerapihan juga terlihat dari bus yang terparkir sesuai urutan nomor kendaraan. Jika ada kernet yang salah parkir, walaupun sudah pulang, tak peduli seberapa jauh rumahnya maka ia harus kembali untuk menata kendaran.
Peraturan itu merupakan titah langsung dari sang jenderal. Terkadang, Pak Bagyo juga melakukan sidak langsung ke garasi untuk memastikan ketertiban para kru.
“Kalau ada putung rokok berserakan, bapak bakal nyuruh ambilin satu per satu,” kenangnya.
PO Bimo Bertahan di tengah gempuran tren kekinian
Saat ini ada 45 kru driver dan co driver di PO Bimo. Semuanya berusia di bawah 55 tahun. Sebab perusahaan ini akan mempensiunkan mereka yang telah menginjak usia tersebut demi peremajaan SDM.
“Kami bisa begitu karena sudah lengkap BPJS-nya. Kesehatan ada sampai cover tiga anak kru. Ketenagakerjaan juga meliputi kecelakaan, kematian, sampai jaminan hari tua,” papar Putra.
Pasar utama Bimo saat ini tentu rombongan wisata dari Jogja yang hendak ke luar daerah. Selain itu beberapa pesanan juga sesekali datang dari kota lain seperti Jakarta, Purwokerto, Cirebon, hingga paling jauh beberapa daerah di Sumatera.
Putra sendiri tak menyangka bahwa pelanggan loyal dari Bimo masih ada. Ia mengaku awalnya sempat ragu, bus ini akan bertahan di tengah tren karoseri SR dan Jetbus. Dari segi penampilan armada mungkin kalah namun perusahaan ini ingin terus mempertahankan pelayanan prima.
“Walaupun body nggak umum untuk PO jaman sekarang tapi ya masih banyak permintaan,” ujarnya bungah.
Putra lantas pamit mau ada urusan. Meninggalkan saya di garasi bersama armada yang mulai dipanaskan para kru untuk menjemput penumpang. Bus melaju satu per satu, perjalanan sesungguhnya baru dimulai.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Perjalanan PO Lorena, Bermula dari Anggota TNI yang Jual Rumah hingga Melantai di Bursa
Cek berita dan artikel lainnya di Google News