Menjadi konsultan ziarah sekaligus konsultan kuburan ternyata bukan perkara mudah. Di masyarakat, sejarah suatu desa kadang masih ada yang mendasarkan dari penuturan orang kesurupan. Padahal bisa ditelusuri melalui nisan-nisan yang ada di tempat tersebut.
Mojok berbincang dengan Gus Lutfi, konsultan ziarah sekaligus konsultan kuburan yang begitu mencintai dunia ziarah, makam, dan nisan.
***
Lelaki berpakaian serba hitam itu berjalan menelusuri jalanan dengan kaki telanjang. Langkah cepatnya yang seperti tak kenal lelah menyita perhatian orang yang melihatnya. Sosok yang identik dengan capingnya itu dikenal dengan nama Joko Kendil.
Ada yang menyebut Joko Kendil menunggangi macan putih tak kasat mata. Hal yang membuatnya bisa dengan kuat melakukan perjalanan jauh antardaerah. Istirahat dan membersihkan diri saat menjumpai masjid saja.
Ia berpindah dari satu kota ke kota lain sebagai bentuk dari laku musafir. Menziarahi makam-makam dari tokoh tertentu yang dianggap mulia. Fenomena Joko Kendil ini menarik perhatian banyak orang. Setiap menyambangi daerah tertentu, banyak yang menyalami hingga meminta foto dengannya.
Hal itu juga menarik perhatian Lutfi Ghozali (33). Ia merupakan lelaki yang begitu mencintai dunia ziarah, makam, dan nisan. Bahkan menyandang predikat sebagai konsultan ziarah.
“Kalau dilihat, Joko Kendil itu memang motivasinya menjadi musafir karena diutus seorang guru,” kata sosok yang akrab disapa Gus Lutfi ini.
Para musafir seperti Joko Kendil, menurut Lutfi, jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Ada yang berjalan mengelilili pulau dan ada yang sekadar mengitari kawasan tertentu saja. Tergantung titah yang diberikan oleh sang guru.
Namun, hal yang lebih menyita perhatian orang banyak adalah anggapan bahwa Joko Kendil menunggangi seekor macan putih. Lutfi berujar bahwa urusan ziarah dan laku spiritual seperti itu memang kerap diasosiasikan dengan hal-hal klenik.
“Motivasi ziarah itu memang ada yang tabarukan atau ngalap berkah. Titah guru seperti Joko Kendil, untuk memahami nasab suatu keluarga, hingga motivasi klenik untuk mencari nomor togel hingga pusaka,” terang bapak dua anak ini.
Lutfi saya temui saat sedang melakukan kunjungan ke Jogja. Kami berbincang di sebuah kedai kopi tak jauh dari Alun-alun Kidul saat siang belum mencapai puncaknya. Ia menceritakan banyak hal tentang dunia makam dan ziarah.
Itu semua bermula sejak Lutfi masih anak-anak. Lelaki asal Sidoarjo ini mengaku sudah menyukai sejarah sejak masih belia.
Hal itu kemudian berlanjut saat ia masuk ke Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Saat menuntut ilmu di sana medio 2001 sampai 2010, ia mulai banyak bersinggungan dengan dunia ziarah. Di pesantren, ada adagium yang menyebut bahwa aktivitas di sana tidak bisa terlepas dari tiga hal utama yakni mengaji, ziarah, dan tirakat.
“Itu seperti menjadi kurikulumnya. Ngaji itu untuk akal dan nalar dan tirakat atau riyadhah itu untuk mensucikan jiwa. Kalau ziarah, itu bukan sekadar tradisi tapi juga upaya melestarikan sejarah,” terangnya.
Kesukaannya pada dunia ziarah terus berlanjut dan berkembang. Namun, belum sampai titik di mana ia menjadi sosok yang disebut konsultan ziarah. Usai mentas dari pondokan, ia sempat menempuh pendidikan di Fakultas Ushuluddin Universitas Paramadina, Jakarta.
Baca selanjutnya
Menjadi konsultan ziarah
Menjadi konsultan ziarah
Salah satu titik mula ia ingin benar-benar mendalami dunia makam justru muncul setelah Lutfi menerbitkan buku pertamanya. Namun setelah menamatkan buku itu, Lutfi merenungi banyak hal. Buku berjudul Nyarkub: Menyulam Silam itu banyak menceritakan tentang makam-makam yang telah Lutfi kunjungi di Jawa Timur termasuk Pulau Madura.
Menurutnya, urusan kuburan itu tidak lebih dari dua hal utama yang biasa jadi pembahasan yakni urusan nasab keluarga dan konteks latar belakang sejarahnya. Namun menurutnya, dua hal yang juga banyak dibahas dalam bukunya ini, terutama urusan nasab merupakan hal yang “panas”.
“Panasnya itu ya karena banyak pengakuan dan klaim. Ada istilah ‘ojo nyinggung nasab, iku koyok nguripno wong mati’,” ujarnya.
Menurutnya, urusan silisalah keluarga itu memiliki banyak klaim, pengakuan, dan versi. Ketika menampilkan sisi nasabnya saja, maka itu seperti hanya mengonfirmasi satu versi.
Akhirnya ia terpikir untuk menyatukan dua pembahasan utama tadi lewat periodisasi. Sebab periodisasi menurutnya jadi hal yang kuat dan rasional. Periodisasi salah satunya bisa dilihat melalui jenis nisan yang digunakan di makam.
Selain itu, sebagai seorang santri, ia memetakan ranah-ranah yang sudah banyak digeluti oleh lulusan pondok. Urusan fikih sudah banyak ahlinya. Begitu pula urusan tasawuf dan berbagai hal lain yang masih bersinggungan dengan agama.
“Ternyata ada satu lubang, santri itu jarang melek arkeologis. Akhirnya saya memilih untuk mengangkat satu hal yang identik dengan saya yakni dunia nisan,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, banyak juga kebutuhan pengetahuan urusan makam atau kuburan dan ziarah. Kesadaran tersebut lantas membuatnya menginisiasi sebuah perkumpulan bernama Pelestari Nisan Nusantara (Pernisanan). Sekitar tahun 2019, ia juga mulai dikenal dengan sebutan konsultan ziarah sekaligus sarkub alias sarjana kuburan.
Menelusuri makam tua untuk menggali sejarah desa
Sejak mendeklarasikan diri sebagai konsultan ziarah, salah satu hal yang banyak ia tangani adalah urusan menggali sejarah suatu desa. Melacak asal usul suatu kawasan melalui peninggalan makam tua yang ada di sana.
“Ada istilah yang disebut punden. Ini kaitannya dengan sejarah awal desa. Bisa identik dengan tokoh babad alas, reruntuhan bangunan kuno, juga dengan suatu tempat yang disakralkan dan berkaitan dengan sejarah awal desa itu,” terangnya.
Biasanya, masyarakat menanyakan hal semacam itu kepada tokoh yang dianggap memiliki linuwih atau kemampuan menerawang hal gaib atau masa lalu. Sayangnya, kebiasaan itu justru berpotensi menghasilkan penuturan sejarah yang kacau secara kronik hingga periodisasi.
“Mereka bertanya kepada orang yang salah. Saya merasa masyarakat perlu dibantu untuk permasalahan latar belakang sejarah desanya. Akhirnya memberanikan diri untuk menjadi konsultan kuburan,” ujarnya tertawa.
Selain itu, sejarah suatu desa bahkan terkadang didasarkan pada penuturan orang kesurupan. Banyak desa di Jawa yang punya tradisi jaranan yang erat dengan kesurupan. Ketika sang jaranan kesurupan, terkadang ia berlari ke tempat tertentu di desa tersebut. Kemudian menuturkan versi sejarah masa lalu terkait tempat itu.
“Meskipun, katakanlah, itu ndadi (kesurupan) betul, apakah sejarahnya bisa dikonfirmasi? Ini yang jadi pertanyaan,” tukasnya.
Salah satu punden penanda latar belakang sebuah desa yang pernah ia pecahkan berada di Wonokasihan, Wonoayu, Sidoarjo. Di sana, ia berhasil meluruskan anggapan yang menyebut punden desa ada di sebuah reruntuhan bangunan kuno di tengah kompleks makam.
Sedangkan di dalam tradisi Islam, para pendakwah masa lalu dilarang dimakamkan di pusat reruntuhan kuno. Harus ada jarak setidaknya sepuluh meter. Demi menghindari anggapan sakral pada bangunan tertentu.
Setelah melakukan sejumlah riset, akhirnya sebuah makam tua yang menjadi salah satu tonggak sejarah desa itu berhasil ditemukan di bawah tumpukan tanah. Ketika dikroscek nisannya, terlihat identik dengan tipologi nisan peradaban Islam Giri Kedaton.
“Ketika nisan itu identik dengan Giri Kedaton, saya tanyakan ke seorang kawan yang punya naskah lengkap. Apakah ada keturunan dari sana yang dikirim untuk menyebarkan Islam ke wilayah ini,” paparnya.
Hingga tersebutlah nama Raden Hamzah, cucu Sunan Ampel dari garis ayah. Ia juga merupakan cucu Sunan Giri dari garis keturunan ibu. Itulah salah satu kisah penemuan latar belakang sejarah desa yang ditelusur dari makam.
Melepaskan makam dari urusan klenik dan mistis
Ada kebahagiaan yang merekah di hati Lutfi ketika bisa memecahkan teka-teki dari sebuah makam ketika menjadi konsultan kuburan. Buatnya, makam bukan hanya sekadar tempat jasad bersemayam. Lebih dari itu, makam adalah monumen bersejarah.
Melalui makam, orang bisa percaya bahwa pernah ada kiprah dan peran yang pernah ditorehkan seseorang di masa lalu. Tanpa hal itu, masyarakat bisa berandai-andai bahwa barangkali itu adalah tokoh fiktif semata.
Banyak fenomena makam yang telah Lutfi temui sepanjang pergulatannya dengan dunia ini. Banyak kompleks makam kuno yang jika dilihat saat ini tampak tak sebesar penampakan aslinya di masa lalu. Hal itu memunculkan sejumlah fenomena seperti keberadaan makam di pinggir jalan, di tengah permukiman warga, bahkan di dalam rumah.
“Kalau ada fenomena seperti itu, salah satunya menandakan bahwa kompleks makam sepuh itu tidak sekecil yang terlihat sekarang. Kalau didekati dari sisi keramat dan sakral, tentu akan buntu,” jelasnya.
Selain itu, banyak juga makam yang dianggap sakral. Tapi ternyata bahkan bukan makam sungguhan. Lutfi menyebutnya dengan istilah kuburan sulapan. Kehadirannya hanya sebagai upaya untuk menjaga sakralitas kawasan tertentu. Misalnya di hutan, kehadiran makam semacam itu bisa untuk mencegah manusia berbuat kerusakan sekehendaknya.
Sebagai konsultan kuburan, ketika hendak mengidentifikasi sebuah makam, salah satu hal yang ia perhatikan terlebih dahulu adalah nisannya. Melalui nisan, identifikasi sejarah bisa dilakukan. Dalam peradaban Islam di Jawa, setidaknya ada beberapa tipologi nisan yang dikenal. Mulai dari Troloyo, Giri Kedaton, hingga Mataram.
Ajak masyarakat untuk mengenal kuburan lebih dekat
Mendapat julukan konsultan kuburan, Gus Lutfi punya keinginan untuk terus mengajak masyarakat luas agar tidak sekadar melihat makam atau kuburan dari sisi keramatnya saja. Cara pandang itu akan menghilangkan aspek lain yang menarik untuk digali dari makam tersebut.
Setiap makam yang ia kunjungi, untuk sekadar ziarah maupun identifikasi sejarah, selalu punya cerita sendiri. Proses memahami sejarah makam tentu memakan waktu panjang. Tapi, ia mengaku punya waktu luang.
Sebenarnya, ada beberapa rekannya yang juga dikenal punya ketertarikan dan pemahaman mendalam kaitannya dengan nisan dan ziarah makam. Salah satunya Yaser Arafat, Dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga mendalami nisan Mataram Islam.
“Berbeda dengan beliau yang sibuk dosen. Aku kan pengangguran, jadi mencolot rono-rene itu gampang. Dalam rangka identifikasi masih longgar karena memang butuh waktu panjang,” ujar lelaki yang juga mengaku aktif mengurusi majelis taklim, sembari tertawa lepas.
Azan zuhur berkumandang dari kejauhan. Segelas teh tarik yang ia pesan sudah habis meninggalkan buih-buih di dasar cangkir. Kami beranjak pulang. Meski makam dan kematian selalu punya cerita yang tak ada habisnya untuk diperbincangkan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono