Kisah Pemuda Asal Tulungagung Mencari Jawaban Atas Hidup dengan Mengasuh Anak-anak di Panti Asuhan

Ilustrasi - pengasuh panti asuhan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Panti Asuhan Muhammadiyah Genteng, Surabaya adalah tempat bersandar bagi Azmi Izuddin (25) setelah ayah dan ibunya tiada. Karenanya, pemuda asal Tulungagung itu ingin mengabdikan diri sebagai pengasuh di sana. Semua itu ia lakoni tanpa pamrih.

***

Sejak SMP kelas 7, Azmi sudah tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah, Genteng. Ia merantau sendirian dari Tulungagung ke Surabaya karena perintah dari orang tuanya. Sebagai anak yang masih belia, tentu hatinya terasa berat. Namun, begitulah kehidupan. Ia dipaksa oleh keadaan. 

Ketika usia 12 tahun, ayah Azmi meninggal karena kelelahan. Ia memang memiliki riwayat penyakit darah rendah dan mengalami struk ringan. Beberapa tahun berselang, tepatnya tahun 2020, ibu Azmi juga dinyatakan meninggal, padahal ia baru saja operasi pengangkatan kanker.

Dewasa ini, Azmi baru menemukan jawaban dari masalahnya selama ini. Mengapa Tuhan memanggil kedua orang tuanya lebih cepat? Mengapa ia harus merantau? Dan bagaimana memaknai proses hidupnya selama tinggal di panti?

Alasan merantau dari Tulungagung ke Surabaya

Ayah Azmi adalah pengurus salah satu masjid di Tulungagung. Sehari-hari, ia menjadi imam dan mengajari anak-anak di kampungnya mengaji. Ia juga aktif sebagai anggota Muhammadiyah. Kebetulan, saat menjadi imam di masjid, ia bertemu salah satu kawan yang berasal dari Surabaya dan menjadi pengurus panti asuhan.

Kawannya itu bercerita soal infrastruktur Surabaya yang tergolong bagus jika dibandingkan dengan Tulungagung, termasuk fasilitas pendidikan. Ayah Azmi pun merasa tergiur untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana.

“…tapi nggak sampai satu bulan (setelah pertemuan itu), ayahku wafat. Sepertinya beliau memang punya firasat,” ujar Azmi, Selasa (4/3/2025).

Panti Asuhan Muhammadiyah, Genteng, Surabaya. MOJOK.CO
Azmi bersama anak-anak panti asuhan Muhammadiyah. (Dok.Pribadi)

Sebelum mengetahui keinginan ayahnya, anak bungsu dari tiga bersaudara itu datang ke Surabaya dengan perasaan terpaksa. Beruntung, ia memilih tidak memberontak untuk menjaga nama baik orang tuanya. Ia pun berusaha menjalani aktivitasnya di panti dengan lapang dada. Toh, ia tidak terlalu kecewa karena fasilitas pendidikan di Surabaya memang bagus seperti kata kawan ayahnya.

“Aku melihat beberapa bangunan dan fasilitas SMP begitu mewah, yang nggak ada di desa. Aku jadi merasa bangga sekolah di Surabaya,” kata Azmi.

Panti Asuhan Muhammadiyah, Surabaya mengajarkan kedisiplinan

Bagi Azmi, Panti Asuhan Muhammadiyah Genteng membuatnya tumbuh jadi pribadi yang lebih disiplin. Bersama anak-anak panti di sana, ia memulai harinya dengan salat subuh, zikir pagi, lalu membaca ayat suci Al-Qur’an selama 15 menit.  

Selanjutnya mereka membersihkan panti dan pergi ke sekolah. Sepulang sekolah, menjelang maghrib hingga isya, mereka salat berjamaah. Lalu zikir dan mengaji kembali.

Namun, sejak kuliah semester awal, tanggungjawab Azmi jadi meningkat. Ia diberi amanah untuk mengurus anak-anak Panti Asuhan Muhammadiyah, Genteng.

Suatu hari, Azmi kebingungan ketika ibu-ibu yang setiap hari bertugas memasak di panti berhalangan hadir. Mau tidak mau, Azmi harus menggantikan posisinya memasak dari pagi, siang, dan malam. 

Azmi, pengasuh panti asuhan Muhammadiyah Genteng, Surabaya. (Dok.Pribadi)

Azmi yang tak punya pengalaman sebelumnya, akhirnya belajar dengan melihat resep di internet. Misalnya, cara membuat ayam goreng ungkep, sayur sop, hingga sayur kangkung. Menu terakhir itu, kata Azmi paling disukai adik-adik panti asuhan

“Adik-adik itu paling suka masakan cah kangkung. Saya merasa senang sekali ketika masakan saya dihabiskan oleh mereka,” ucap pemuda asal Tulungagung tersebut.

Kebermaknaan menjadi pengasuh panti

Azmi menyadari mengasuh anak-anak panti asuhan bukanlah hal yang mudah. Contohnya, memasak seperti tadi. Ia juga harus sigap saat anak-anak mengalami kejadian darurat. 

“Pernah ada laporan adek-adek bawa hp di sekolah, padahal dilarang. Akhirnya, saya yang bertugas mengambil hp itu ke sekolah,” kata Azmi.

Di usianya yang belia, Azmi juga harus berperan sebagai orang tua sekaligus kakak untuk anak-anak Panti Asuhan Muhammadiyah Genteng, Surabaya. Bagaimana tidak, saat sekolah memasuki pekan rapotan, Azmi punya jadwal khusus untuk mengambil rapor mereka.

“Kalau jadwal pengambilan rapornya bersamaan, saya berangkat dari jam 07.00 WIB sampai jam 12.00 WIB,” kata Azmi.

Belum lagi saat antre. Meski melelahkan, Azmi merasa senang. Apalagi, saat guru atau wali kelas mengumumkan perkembangan positif dari adik-adiknya. Ia juga ikut bangga ketika wali kelas mengapresiasi prestasi mereka, seperti saat adik-adiknya juara futsal, hoki, atau basket.

“Saya jadi ikut merasakan bagaimana jadi orang tua saat dilapori anaknya,” kenang Azmi yang teringat dengan perasaan orang tuanya, saat mengambil rapornya hanya di waktu SD.

“Meskipun menguras tenaga, saya jadi bisa lebih dekat dengan anak-anak. Oleh karena itu, saya merasa ingin berbalas budi,” lanjut pemuda asal Tulungagung itu.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Ketulusan Guru asal Magelang yang Mengajarkan Santri Tunarungu Mengaji, Saat Orangtua Sendiri Frustrasi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version