Tahun 2010, Mbah Harjo, petani di Cangkringan Sleman mendaftar haji untuk berangkat di tahun 2014. Usai membayar uang muka, ia bingung untuk melunasi kekurangannya. Hasil panen 9 pohon durian warisan orang tua dan kakeknya jadi penyelamat.
***
Mbah Suharjo (72) atau Mbah Harjo meminta saya mengikuti langkahnya ke belakang rumah. Saya awalnya memintanya untuk foto di dekat pohon durian di samping rumahnya. Saya pikir itu pohon durian terbesar yang ia punya.
“Yang di belakang saja Mas, yang paling besar. Tahu nggak, pohon durian di sini bawa saya ke Mekah,” katanya tersenyum.
“Naik haji, Mbah?” tanya saya yang dijawab dengan anggukan dan senyuman.
Buah-buahan di pekarangan
Awalnya saya melintas di Dusun Gayam, Argomulyo, Cangkringan Sleman. Rasanya menyenangkan dan memanjakan mata melihat pohon-pohon durian di rumah warga yang tengah berbuah lebat.
Sampai kemudian mata saya tertumbuk pada pohon-pohon durian yang menjulang tinggi di salah satu rumah. Tidak hanya satu pohon. Hati saya lemah kalau melihat ada pohon besar. Apalagi pohon durian, antara pingin meluk sekaligus mencicipi buahnya.
Saya lantas memutar balik motor dan masuk ke pekarangan rumah tersebut. Tidak hanya durian ternyata, tapi juga buah-buahan lain seperti manggis, rambutan, dan mangga.
Saya lantas menyapa seorang nenek yang tengah duduk tenang di kursi risban. Obrolan yang penuh tawa itu berakhir kecewa. Keinginan saya untuk membeli durian dari pohon-pohon yang menjulang tinggi itu tak bisa terealisasi.
“Buahnya yang jatuh jelek, Mas. Besok kalau ada yang mateng ke sini lagi, nggak usah bayar,” kata Mbah Muharni memahami kekecewaan saya.
Saat saya akan pamit, Mbah Harjo suami Mbah Muharni ke luar dari dalam rumah. Saya pikir ceritanya akan sama dengan apa yang istrinya ungkapkan tentang pohon-pohon durian di pekarangannya. Ternyata, ada sisi lain dari kehidupan mereka sebagai petani dan penjual kue tradisional di Pasar Butuh, Cangkringan.
9 Pohon warisan yang jadikan Mbah Harjo haji durian
Di belakang rumahnya, Mbah Harjo lantas menunjukkan pohon durian yang lebih besar dari pohon yang ada di samping rumahnya. “Ini pohonnya paling tua. Yang menanam kakek buyut saya, usianya ratusan tahun, ya seratus tahun lebih,” katanya. Saya lantas memintanya memeluk pohon durian tersebut.
Kedua tangannya tak bisa saling bersentuhan saat ia memeluk pohon tersebut. Saya mendongak ke atas. Tampak banyak buah durian bergelantungan di atas.
“Ada yang jatuh, tapi nggak matang, masih muda,” kata Mbah Harjo memungut buah durian yang secara ukuran sebenarnya cukup besar. Saya mencoba mencium aroma dari buah tersebut, namun tak tercium semerbak durian tua seperti pada umumnya.
Saya lantas menghitung pohon durian yang tergolong besar di pekarangannya. Ada sekitar 8 pohon. “Ada 9 pohon, yang satu di samping rumah sebelah sana,” kata Mbah Harjo menunjuk satu pohon besar durian yang sedang berbuah lebat.
Pekarangan yang jadi surga buah keluarga
Satu pohon durian ketika sedang musim berbuah bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan buah. Selain buah durian yang membawanya jadi haji durian, ada buah-buahan lain yang ada di pekarangannya.
Mbah Harjo lantas menunjuk beberapa pohon buah lain di pekarangannya. Ada buah yang cukup langka dan sudah jarang ada di pasaran. “Ini kemundung, masih banyak buahnya di atas, tapi masih muda,” katanya. Saya mengingat rasa buah ini asam-manis, yang masih muda tentu saja kecut.
Ada juga buah kokosan atau langsat yang sedang tidak berbuah, juga ada salak pondoh. “Itu manggis, nanti kalau sudah tua, datang ke sini saja Mas, tak kasih,” katanya menunjuk beberapa pohon manggis yang berbuah lebat. Buah-buah itu masih berwarna hijau, tapi tak lama pasti warnanya akan berubah menjadi merah tua hingga ungu. Ada juga buah mangga kweni dan rambutan.
Mbah Harjo lantas mengajak saya duduk di teras rumah anaknya yang tak jauh dari pekarangan. Salah seorang anaknya kemudian menyuguhkan minuman dan makanan ringan.
Setandan pisang lumut yang masak pohon disuguhkan di depan saya. Bagian atas pisang itu sudah matang, tapi sebagiannya lagi yang ada di bagian bawah belum matang.
Cerita awal jadi haji durian dari pohon warisan
Saya lantas bertanya, bagaimana buah durian membawa Mbah Harjo naik haji. “Wah ceritanya panjang, dulu itu nggak berencana tapi kalau Gusti Allah menginginkan, ya nggak ada yang mustahil,” kata Mbah Harjo.
Cerita bermula pada 2010. Saat itu Mbah Muharni sedang menjaga rumah buliknya. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, agar suaminya Mbah Harjo mendaftar haji. Apalagi di dusun mereka, saat itu belum ada satupun yang jadi haji.
Namun, keinginan Mbah Muharni sempat jadi pertanyaan Mbah Harjo, karena mereka tidak punya dana yang cukup untuk mendaftar haji. Mbah Muharni tetap bersikeras agar suaminya bisa naik haji.
“Sebelumnya nggak ada kepikiran mau naik haji, tapi nggak tahu tiba-tiba saya mikir, bapak harus naik haji,” kata Mbah Muharni. Tahun itu, waktu tunggu naik haji tidak selama sekarang. Mendaftar haji tahun 2010, Mbah Suharjo mendapat jadwal berangkat di tahun 2014. Biaya naik haji di tahun 2010 saat itu sekitar Rp38 juta. Pembayarannya bisa dicicil.
“DP-nya dulu itu 20 juta lima ratus. Saat itu saya jual sapi sama penganggon-anggon (perhiasan) istri,” kata Mbah Harjo.
“Saya bilang sama bapak, ‘pokoknya penganggonku dolen (jual) semua, Pak’,” kata Muharni. Ia yakin, kalau sudah jalannya memang naik haji, pasti akan dipermudah oleh Allah.
Setelah DP dibayarkan, masalah bukannya lantas selesai. “Saya pusing, kurangnya terus dari mana,” kata Mbah Harjo. Namun, keduanya yakin kalau mereka berdoa sungguh-sungguh, Allah pasti mengabulkan dan memberi jalan untuk bisa melunasi kekurangan biaya tersebut.
“Alhamdulillah setiap tahun, Allah mengizinkan untuk nabung 10 juta, 12 juta, 8 juta, dari panen duren, sampai lunas,” kata Mbah Harjo tertawa.
“Sama manggis, Mas,” tambah Mbah Muharni.
“Kecil-kecil kayak gitu, tiap tahun, 1 juta pasti ngasih,” kata Mbah Harjo menunjuk beberapa pohon manggis di pekarangannya.
Pohon warisan yang menjawab cibiran tetangga
Pohon durian dan pohon manggis di pekarangannya merupakan pohon warisan dari simbah maupun dari orang tuanya. “Ibu itu dulu kalau lihat tanaman buah, ditanam di pekarangan. Makanya itu nggak beraturan kan,” kata Mbah Harjo.
Selama proses pelunasan, tidak sedikit tetangga mencibir niat mereka naik haji. Sebagai orang yang menggantungkan diri dari bertani dan berdagang kecil-kecilan di pasar, tidak ada yang mengira mereka mampu menunaikan rukun Islam nomor lima. Semuanya jadi mungkin karena ada pohon durian warisan.
Pohon-pohon itu lah yang seolah menjawab cibiran tetangga dengan memberikan hasil panen yang bisa menutup biaya naik haji.
“Kalau diingat-ingat waktu itu sedih, Mas,” kata Mbah Muharni berkaca-kaca. Bahkan ketika sudah berangkat haji, masih saja ada yang nyinyir.
Usai berangkat haji, justru banyak berkah yang Mbah Harjo dan keluarganya terima. Uang saku yang ia bawa dari Indonesia bukan hanya utuh, tapi justru dapat tambahan karena penyelenggara haji memberikan ganti rugi karena lokasi penginapan yang jauh.
Sebagian uang itu kemudian ia belikan oleh-oleh untuk tetangga-tetangganya. Keberkahan lainnya, ongkos naik haji yang ia keluarkan Allah ganti berkali lipat beberapa waktu kemudian. Mbah Harjo juga bersyukur, sampai sekarang masih melakukan pertemuan rutin dengan kelompok hajinya.
“Teman-teman saya yang naik haji itu banyak yang kaya-kaya, ada yang profesor, pengusaha. Cuma saya yang petani kecil, tapi saya seneng, nggak minder. Tiap dua bulan kami masih sering ketemu. Mereka bawanya mobil, saya Shogun Kebo,” kata Mbah Harjo tertawa.
Janji Mbah Harjo jaga pohon durian warisan
Pohon-pohon buah, terutama durian sangat membantu ekonomi keluarganya. Ia bisa menyekolahkan dua anaknya hingga sarjana, salah satunya dari buah-buahan di pekarangannya. Dan tentu saja membawa Mbah Harjo jadi haji durian.
“Nggak ada perawatan khusus. Paling cuma pupuk dari daun-daun yang disapu terus ditumpuk di bawah pangkal pohon,” kata Mbah Harjo. Ia mengatakan bahwa dulu buah durian atau manggis seperti nggak ada harganya.
Namun, ia melihat kini banyak yang mencari buah-buahan tersebut. “Manggis kalau kualitasnya bagus itu sekilo bisa 20 ribu,” kata Mbah Harjo.
Mbah Muharni mengatakan, untuk buah durian dan manggis, rata-rata dijual dengan sistem tebas atau borong. Meski rata-rata buahnya hanya panen sekali dalam setahun, tapi buah-buahan tersebut jadi warisan yang dijaga.
Tidak ada bayangan dari mereka untuk menebang pohon tua itu, meski secara lokasi berdekatan dengan rumah tinggal. “Eman-eman, Mas kalau ditebang. Ini juga warisannya dari simbah-simbah,” kata Mbah Muharni.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Pohon Durian Raksasa di Purworejo, Nenek Parini dan Robert Kiyosaki
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News