Perjalanan Nur Syarif Ramadhan: Ditolak Sekolah karena Difabel dan Pembuktian pada Mereka yang Anggap Difabel Berbeda

Ilustrasi - Perjuangan Nur Syarif Ramadhan untuk difabel dan penyandang disabilitas tidak hanya bisa sekolah di SLB. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Karena dianggap memiliki “kekurangan” (difabel), Nur Syarif Ramadhan (31) sempat berkali-kali dipersulit saat mencoba mengakses pendidikan. SD-SMP hanya boleh di SLB, saat SMA hingga kuliah pun mengalami penolakan. Kini dia menjadi salah satu orang yang paling santer menyuarakan bahwa teman-teman penyandang disabilitas layak mendapat akses pendidikan yang setara.

***

Saat ini Syarif, sapaan akrabnya, menjabat sebagai Eksekutif Nasional untuk sebuah organisasi disabilitas bernama Forum Masyarakat Pemantau Indonesia (Formasi) Disabilitas Indonesia.

Kami bertemu pertama kali pada Rabu (20/11/2024) pagi di Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRYAKKUM) Jogja.

Mumpung masih senggang sebelum acara bersama PRYAKKUM dan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) Indonesia, kami berbincang banyak hal. Dari isu-isu difabel hingga perjalanan Syarif sendiri.

Usai habiskan masa SD-SMP di SLB

Syarif lahir di Gowa, Sulawesi Selatan. Saat usia 3 bulan, dia divonis mengalami katarak. Kondisi yang lantas membuatnya sempat menghadapi banyak penolakan. Termasuk di antaranya adalah saat mengakses pendidikan.

Masa SD hingga SMP harus Syarif tempuh di Sekolah Luar Biasa (SLB). Di masa SMP itu lah kemudian tumbuh kesadaran dari Syarif bahwa difabel tidak sepatutnya diperlakukan berbeda.

“Waktu kelas 2 SMP, itu kira-kira 2008-an, saya bertemu teman-teman aktivis difabel dari organisasi Persatuan Tunantera Indonesia (Pertuni). Dari sana saya melihat ternyata banyak dari teman-teman saya bisa sekolah di sekolah umum, beradaptasi dengan sistem pembelajaran mereka,” ungkap Syarif.

Teman-teman difabel menuntut hak-haknya dipenuhi MOJOK.CO
Nur Syarif Ramadhan (31), Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas Nasional. Foto diambil atas persetujuan Syarif. (Aly Reza/Mojok.co)

Pertemuan itu kemudian membuka pengetahuan Syarif, bahwa ada yang namanya sekolah inklusif. Yakni ketika teman-teman difabel bisa mengakses pendidikan yang setara dengan teman-teman non-difabel. Tidak dibedakan.

Maka, sejak hari itu, Syarif pun memiliki tekad untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Untuk membuktikan bahwa difabel juga layak sekolah di sekolah umum bersama teman-teman non-difabel.

Penolakan-penolakan terhadap difabel

Lulus dari SMP, Syarif mencoba mendaftar di sebuah SMA umum di Gowa. Penolakan adalah hal yang pertama-pertama Syarif terima dari pihak sekolah.

“Waktu itu saya dibantu advokasi sama senior-senior saya. Akhirnya bisa diterima,” tutur Syarif.

Meski begitu, tentu tidak serta merta mudah bagi Syarif untuk diterima di lingkungan SMA-nya. Sebab, cara pandang terhadap difabel sudah kadung berbeda.

Namun, Syarif berhasil membuktikan bahwa nyatanya dia bisa mengikuti ritme dan model pembelajaran di sekolah umum yang mayoritas berisi siswa-siswa non-difabel itu.

Sejak masa SMA itu pula, Syarif mulai banyak bersentuhan dengan gerakan-gerakan disabilitas. Didorong atas keresahan, bahwa selain Syarif, di luar sana masih banyak teman-teman difabel yang kesulitan mengakses pendidikan inklusif.

Lulus dari SMA, Syarif lalu mencoba mendaftar kuliah di salah satu kampus di Makassar, Sulawesi Selatan. Lagi-lagi, hal pertama yang dia dapatkan adalah penolakan.

“Alasannya, karena saya ngambil jurusan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Bukan ambil jurusan Pendidikan Luar Biasa (untuk SLB),” kata Syarif.

“Karena kalau menjadi guru bukan di Pendidikan Luar Biasa (SLB), stigmanya kan yang bisa mengajar itu hanya mereka yang menulis dengan dua tangan dana membaca dengan dua mata,” imbuhnya.

Namun, berkat kegigihan Syarif, dia pun akhirnya tetap bisa menempuh pendidikan tinggi di kampus tersebut. Meski stigma dan pandangan berbeda tetap saja mengarah padanya, tapi nyatanya dia bisa menuntaskan kuliahnya dengan baik.

Bahkan Syarif sempat mengikuti program pendidikan singkat di Auckland University of Technology, Selandia Baru, selama enam bulan: belajar tentang SDGs.

Mengajar di sekolah umum, memutuskan aktif pada gerakan 

Lulus kuliah, Syarif sempat mengajar di sebuah SMA umum. Pada dasarnya, proses belajar mengajarnya tak menemui kendala.

Akan tetapi, hati Syarif terus terusik ketika mendapati fakta bahwa masih sangat banyak teman-teman difabel di daerah-daerah yang mengalami kesulitan, lantaran belum tumbuhnya kesadaran inklusivitas di tengah masyarakat.

Syarif lantas memutuskan untuk berhenti mengajar. Dia memilih aktif dalam banyak gerakan untuk memperjuangkan hak-hak difabel.

Nur Syarif Ramadhan (31), Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas Nasional. Foto diambil atas persetujuan Syarif. (Dok. Green Network)

Awalnya dia gabung Pertuni. Dari situ, dia mulai berkenalan dengan banyak organisasi lintas yang bermuara pada isu difabel dan inklusivitas.

“Pada 2017, saya lalu turut serta dalam Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) di Makassar,” kata Syarif.

“Kemudian pada 2018, saya juga menjadi kontributor Solider.id, sebuah portal berita daring yang mengangkat isu-isu disabilitas Indonesia. Saya sudah menulis banyak topik yang berkaitan dengan pendidikan inklusif dan kebijakan publik dengan perspektif disabilitas,” tambahnya.

PerDIK selanjutnya berjejaring dengan PRYAKKUM dan Sigab Indonesia. Tujuannya sama, melakukan pemantauan terhadap implementasi Undang-Undang (UU) tentang disabilitas tahun 2016.

“Jaringan itu menginisiasi forum. Namanya Formasi (Forum Masyarakat Pemantau Indonesia Inklusif) Disabilitas Indonesia. Anggotanya individu dan organisasi disabilitas dengan concern pada pemantauan,” terang Syarif.

“Saya ditunjuk jadi Eksekutif Nasional sejak September 2022. Sekarang anggota kami ada 204 yang tersebar di 30 provinsi,” lanjutnya.

Cara pandang terhadap difabel harus diubah

Syarif sudah cukup kenyang dengan diskriminasi. Oleh karena itu, dia giat betul menyuarakan bahwa cara pandang terhadap difabel harus diubah.

Dalam sebuah forum oleh Yayasan BaKTI pada 2023 silam, Syarif memaparkan bahwa proses stigma terhadap difabel terurai dalam empat tahap.

Pertama, labelisasi kepada penyandang disabilitas yang cenderung negatif. Kedua, stereotivikasi atau pemberian cap miring. Ketiga, segregasi atau dipisahkan dari masyarakat. Dan keempat, diskriminasi.

Menurut Syarif, diskriminasi terjadi ketika teman-teman difabel selalu dikecualikan, dipisahkan, dan disembunyikan dari kehidupan sehari-hari. Banyak yang berpandangan bahwa difabel berbeda dan butuh dikasihani.

Cara pandang ini lah yang, bagi Syarif, harus diubah di setiap aspek kehidupan. Yakni memandang difabel bukan dengan pendekatan amal dan belas kasihan, melainkan melalui pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Bahwa disabilitas juga butuh sekolah, akses publik, dan dapat berkontribusi layaknya masyarakat pada umumnya. Segregasi bukan zamannya lagi. Sekarang sudah inklusif, kita memiliki kesempatan sama di semua sektor,” tegas Syarif.

Jangan melulu sekolah di SLB

Syarif mendorong betul perihal terbukanya akses pendidikan inklusif terhadap teman-teman difabel. Agar teman-teman difabel tidak dibedakan hanya bisa sekolah di SLB. Tapi juga bisa mengakses sekolah umum.

“Karena itu jauh lebih baik untuk membiasakan mereka berinteraksi dengan non-difabel. Non-difabel juga akan tumbuh kesadaran sehingga pandangannya tidak aneh lagi terhadap kawan difabel,” beber Syarif.

Sebab, di antara dampak pendidikan inklusif  tersebut nantinya berkaitan langsung dengan ekonomi inklusif. Karena jika sejak awal teman-teman difabel berinteraksi dengan non-difabel, di proses selanjutnya nanti akan lebih mudah.

“Misalnya ketika masuk dunia kerja dan memiliki kolega kerja non-difabel, jadi tidak akan canggung lagi,” tutur Syarif.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Ketulusan Guru Honorer yang Kuliah Sambil Mengajar Siswa Difabel di Surabaya

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version