Cerita Tosan Pangudi dan Mustakim, dua orang tua yang akan saya ceritakan di bawah ini mungkin tak sedramatis Antonio Jose Bolivar, tokoh utama dalam novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda. Cinta mereka pada buku bisa dikatakan sebagai cinta yang absurd.
Mereka memang tak mendapatkan buku dari rumah bordil, tidak perlu berurusan dengan wali kota tambun nan menyebalkan yang selalu berkeringat, dan melawan amukan macan kumbang demi bisa membaca dengan tenang. Tapi, dalam hal bersetia kepada buku, ketiganya patut disejajarkan.
***
Kisah viral Mohammad Aziz, penjual buku asal Maroko yang balas dendam dengan membaca lebih dari 4.000 buku sepanjang usianya mengingatkan saya kepada dua sosok asal Jember, yakni Mustakim dan Tosan Pangudi.
Cinta Mustakim pada ribuan buku
Mustakim kini telah berusia 73 tahun dan tinggal seorang diri di kediamannya di Jalan Kenanga No. 39, Kelurahan Jember Kidul, Kabupaten Jember, Jawa Timur setelah anak-anaknya menikah dan istrinya meninggal dunia lima tahun lalu. Di ruang tamu berukuran 3 x 5 meter itulah ia biasa menghabiskan masa tua bersama ribuan buku sambil ditemani radio tuanya.
Pada satu sisi dinding rumah terpacak potongan koran lokal berbalut pigura yang memuat cerita Mustakim ‘bersetia kepada buku-buku’.
Di sudut lain, terpampang kalimat ‘kamu dekat, Aku lebih dekat’; potongan firman Tuhan dalam surat Al-Baqarah yang menjadi pegangan hidupnya serta menjadi petuah yang tak pernah luput ia nasehatkan kepada saya saat berkunjung.
Sekilas, Mustakim tampak seperti kakek-kakek bersahaja pada umumnya. Perawakannya persis guru mengaji TPQ: gemar memakai sarung dan kemeja rapi. Tak seperti Aziz yang mengetahui jumlah buku yang telah dibacanya, Mustakim selalu menjawab sedikit saja bila ditanya hal yang sama.
Namun, saya yakin ia telah membaca banyak buku. Banyak sekali.
Pasalnya, di usianya sekarang, ingatannya masih cemerlang; ia bisa bercerita soal apa saja—namun lebih banyak soal kiprah Bung Hatta dan Hamka, dua penulis favoritnya. Juga masa lalu dan hal-hal yang telah berubah dari Kota Tembakau ini. Kecemerlangan ingatan ini tentu tak luput dari kebiasaannya membaca buku.
Bermula dari loper koran
Kecintaan Mustakim pada buku berawal pada tahun 1963. Mulanya, Mustakim adalah seorang loper koran. Ia memberanikan diri menggelar lapak buku di dekat Pasar Tanjung setelah mendapat lungsuran buku dari salah satu toko buku yang tutup.
“Dulu, awalnya saya jualan koran, kalau nggak salah tahun 1963. Keliling dari Pasar Tanjung sampai rumah sakit Soebandi di Patrang. Terus ada toko buku yang tutup, saya mendapat tawaran buat mengganti buku-bukunya,” ujarnya.
Tawaran itulah yang lantas mengenalkan Mustakim kepada buku dan bersetia kepadanya hingga sekarang.
“Awalnya saya ragu, dari mana uangnya buat modal? Untungnya yang jual bilang, ‘sudah, bawa dulu, uangnya belakangan saja’. Setelah itu saya mulai nggelar lapak di dekat Pasar Tanjung, jualan buku. Ternyata yang beli banyak sekali, sampe antre. Saya sampai panas-dingin memegang uang segitu,” kenangnya.
Buta huruf dan belajar membaca karena malu
Saat pertama berjualan buku, Mustakim mengaku tak bisa membaca dan bahkan tak tuntas mengenyam Sekolah Rakyat (sekolah dasar) karena alasan ekonomi. Keinginannya belajar membaca muncul karena perasaan malu kepada pembeli.
“Saya ini kan jualan buku, masa nggak bisa baca, jadi ya malu sama yang beli,” katanya.
Setelah bisa membaca ia mulai keranjingan membaca buku. Tak ada satu hari pun ia lewatkan tanpa membaca buku-buku. Selain karena perasaan malu, menurutnya, juga ada aspek spiritual yang mendorongnya untuk terus belajar dan membaca buku.
“Saya nggak lulus sekolah, tapi minimal saya harus belajar biar nggak bodoh. Gusti Pangeran kan juga menyuruh begitu, kita mesti terus belajar kalau ada kesempatan. Nah, alhamdulilah sampai sekarang saya masih dapat kesempatan buat belajar,” ujarnya.
Melahap pahit-manis bisnis buku
Perjalanan Mustakim bertahan di industri buku penuh pasang-surut. Ia sempat berjaya hingga melihat tanda-tanda ambruk pada era 1990-an. Pada tahun 1998-2004 ia sempat berhenti berjualan buku. Menyerah, katanya. Ia merasa tak enak dengan mendiang istrinya sebab saban hari tak satu pun buku-bukunya laku.
“Lapak sepi, saya sampai keliling ke sekolah-sekolah naik becak. Hampir tiap hari berkeliling dan tak satu pun buku yang laku,” kenangnya.
Baru pada tahun 2007 ia memutuskan kembali berjualan buku. Namun, tak lagi berkeliling dan hanya menunggu pembeli di rumahnya. Dalam masa vakum itu, ia bukannya berhenti berurusan dengan buku. Masa itu ia gunakan untuk belajar sistem pengelolaan bisnis dari ragam buku manajemen, ekonomi, hingga biografi tokoh besar demi merancang ulang strategi.
“Saya pingin belajar, oh ternyata caranya begini dan begini kalau mau bisnis itu.” Di samping cintanya pada buku, tiga tahun hibernasi dari jualan buku itulah yang turut menghantarkannya bertahan sampai hari ini.
Soal anjuran untuk terus belajar, setidaknya ada 4 wejangan yang selalu dinasehatkan kepada saya.
“Kuncinya jangan meninggalkan salat, patuh, dan menyenangkan ibu, jangan lupa sedekah, dan terus cari ilmu. Sudah, itu saja jalani, nggak usah mikir dari mana rezeki, pencari ilmu itu dijamin Pangeran, kalau nnggak percaya nanti lihat sendiri,” pesannya.
Tak ada sudut ruang tamu tanpa tumpukan buku
Koleksi buku dan majalah miliki Mustakim cukup lengkap. Bahkan, tiap berkunjung saya selalu menemukan harta karun buku. Misalnya, buku Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih karya Umar Kayam dan Kumpulan Cerpen Kompas tahun 2002 saya temukan setelah mengubek-ubek tumpukan buku nyaris tiga jam.
Mustakim menggolongkan tumpukan buku miliknya sesuai tema. Ragam majalah tergantung di dinding; di rak salah satu sudut memuat komik, majalah Intisari, dan novel. Di atas meja di sisi kirinya tertumpuk buku ekonomi, akuntasi, dan manajemen. Sedangkan di lantai ada buku kedokteran, kesehatan, hingga buku-buku umum berbahasa Jerman, Belanda, dan Inggris.
Tak seperti dulu, ia tak lagi berkeliling ke Surabaya dan Yogyakarta untuk mendapatkan buku-buku. Buku-buku itu lebih banyak ia dapatkan dari hibah seorang dosen atau pengunjung yang sengaja datang untuk menjual koleksinya.
Tosan Pangudi: Wujud cinta seorang penggemar komik
Tosan Pangudi (55) atau kerap disapa Pak Oce ibarat “The Last Samurai” versi persewaan komik. Setidaknya di Jember, ia menjadi satu-satunya dan terakhir yang memilih bertahan dengan alasan yang barangkali bagi sebagian orang terdengar absurd: cinta.
Kios persewaan komik dan novel Pak Oce miliknya terletak di Jalan Gatot Subroto No. 48-18, Kepatihan, Kabupaten Jember, Jawa Timur atau sekitar 200 meter dari Mapolres Jember. Di kios berukuran 6 x 4 meter itulah puluhan ribu komik dan novel berjajar di rak setinggi 3 meter. Sebagian tampak lapuk dan berdebu, sebagian lagi ada yang kena serangan rayap.
Menurut Tosan, bisnis persewaan komik pernah mengalami masa jaya antara tahun 1990 – 2000-an awal. Namun, seiring perkembangan zaman, bisnis ini makin sepi peminat. Satu per satu pemilik terpaksa melepas koleksi komiknya. Salah satunya, persewaan komik dan novel TOP di Jalan Jawa, sekitar kampus Universitas Jember yang kukut pada 2017 lalu.
Namun, bagi Tosan kios miliknya bukan bertujuan meraup untung semata. Ikhtiarnya bertahan karena dorongan sesuatu yang lebih besar, yakni cinta. Tempat ini adalah wujud cintanya pada aktivitas membaca buku.
“Bisnis itu kan ada dua, pertama karena uang dan yang kedua cinta atau kesenangan. Saya pilih yang kedua,” ujar pria berdarah Tionghoa-Belanda itu.
Awal mula terjun ke bisnis sewa komik
Tosan mulai membuka kios persewaan komik pada 1995. Mulanya hanya memiliki 50 komik. Secara perlahan ia bisa menambah koleksinya hingga 25.000 buku lebih. Sebagian besar adalah komik. Pada masa jayanya, ia bahkan bisa membeli mobil dan rumah dari hasil sewa komik dan buku.
“Sekitar tahun 1995 sampai 2000an itu saya bisa dibilang rajanya sewa komik di Jember sampai-sampai bisa beli mobil dan rumah. Tapi itu kan dulu, sekarang sudah beda, nggak apa-apa yang penting saya masih senang,” imbuhnya.
Kini, ia mengaku mayoritas pengunjungnya bukan lagi mahasiswa dan remaja. Melainkan kolektor komik dan mantan pelanggannya yang telah dewasa.
“Biasanya yang ke sini sudah usia 30-40an itu, terus bilang kalau waktu kecil sering ke sini. Mungkin nostalgia, ya, saya nggak ingat, tapi ya senang artinya masih bisa ketemu dan ngobrol,” kata pria yang hobi melukis itu.
Tosan masih mempertahankan mekanisme sewa dengan jaminan KTP bagi penyewa. Harga sewa komiknya pun sangat terjangkau, dari Rp2.000. Sudah begitu, ia mengaku masih sering mendapati penyewa nakal bahkan pencuri buku.
“Saya hafal, Mas, kalau buku ini (sambil menunjuk koleksi komiknya) kurang satu saya tahu. Tapi meskipun ketahuan enggak saya denda atau gimana-gimana. Saya bilang baik-baik ayo dikembalikan saja, kita cari teman sajalah.”
Karena cinta, tak mau menjual komik
Kecintaan Tosan pada koleksi bukunya begitu besar. Misalnya, saat saya tanya apakah orang boleh membeli salah satu koleksi bukunya, ia dengan tegas menolak.
“Hahaha, jangan lah. Nanti saya nggak bisa tidur,” kata dia. Ia baru rela melepas koleksi miliknya jika buku tersebut berjumlah lebih dari satu.
“Itu pun saya lihat-lihat orangnya dulu, kalau saya yakin bukunya dirawat baru saya lepas. Piye yo, ada kreteg yang enggak bisa dijelaskan,” imbuhnya.
Meski kerap sepi pengunjung, Tosan tetap yakin bahwa kiosnya akan bertahan. Ia tak pernah menuntut atau memiliki target jumlah pengunjung per hari.
“Kalau sekarang tidak ada pengunjung ya mungkin besok ada, kalau besok nggak ada mungkin besoknya ada. Jadi itu, Mas, resepnya supaya nggak cepet tua. Jangan terlalu memikirkan dan membikin ruwet. Soalnya ini masalah kepuasan batin, dan itu sebetulnya nggak bisa diukur pakai materi,” pungkasnya.
***
Di tengah era buku digital dan maraknya toko buku modern, Mustakim dan Tosan masih yakin, ada orang yang butuh buku cetak dan toko bukunya. Keyakinan ini bagi sebagian orang barangkali terdengar absurd atau bahkan tak masuk akal.
Namun, jalan sunyi Tosan dan Mustakim, lewat kios persewaan komik dan toko buku adalah bukti bahwa apa-apa yang berangkat dari cinta akan lebih bernas.
“Kalaupun nanti nggak bisa bertahan, ya sudah, yang penting saya sudah pernah melakukan apa yang saya sukai dan cintai. Itu saja cukup,” kata Tosan.
Tosan dan Mustakim tak cuma membaca kisah cinta, tetapi juga membagikannya. Memang, bukankah cinta yang membuat manusia betah untuk bertahan?
Penulis: Haryo Pamungkas
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Toko Buku Akik di Jogja yang Membuat Dian Sastro Rela Menunggu dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.