Siasat Bertahan Hidup Mahasiswa Rantau Saat Pandemi

Siasat Bertahan Hidup Mahasiswa Rantau Saat Pandemi

Sebagai mahasiswa rantau, tinggal jauh dari orang tua di masa pandemi adalah sebuah seni bagaimana bertahan hidup. Perhatian teman dan pintar-pintar cari pendapatan tambahan jadi daya dukung mereka bisa menjalani hidup di masa pandemi

***

Bersiasat dengan uang saku

Siang itu, Selasa 13 Juli 2021, saya mengeluarkan motor dari garasi, memanasinya, kemudian bergegas melajukan motor ke indekos teman di Imogiri Barat. Sepanjang perjalanan efek PPKM Darurat begitu terasa, lalu lintas jauh dari kemacetan.

Di waktu yang bersamaan saya melihat beberapa warung makan yang buka tampak suwung tak ada orang alias sepi pembeli. Bahkan, ada beberapa ruko yang tadinya ditempati untuk berdagang kini terpampang sebuah tulisan, ruko dikontrakan. Begitu menyedihkan panorama di siang bolong itu. 

Namanya Karta (22) mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Ia mahasiswa rantau dari Majalengka, Jawa Barat. Wajahnya sedang menatap layar laptop saat saya tiba di indekosnya. Kemudian kami berdua berbincang di pendopo yang terletak depan kamarnya. 

“Terus terang, saya muak dengan pandemi yang tak kunjung pergi ini. Kondisi ekonomi jadi terganggu,” keluh Karta. Ia mengambil sebatang rokok di saku yang ia kenakan, menyulut dan mengepulkan asapnya.

Karta bercerita, selama pandemi ekonomi orang tuanya melemah. Hal itu berdampak pada kehidupannya di perantauan. Uang jatah bulanan mahasiswa rantau bisa dibilang jauh dari kata cukup, namun apa pun yang ada ia cukup-cukupkan. Sebelum pandemi, jatah mingguannya Rp 250 ribu. 

Semenjak pandemi, jatah yang ia terima hanya setengahnya, bahkan lebih sering di bawah setengahnya. Namun, ia juga sering tak meminta kiriman karena adanya pemasukan dari usaha sampingan.

Sudah lama Karta tak pulang ke rumahnya di Majalengka, ia memilih bertahan tinggal di kos. Ia takut jika kepulangannya justru membawa sebuah penyakit menular yang dinamakan Covid-19 itu. 

Ia mencoba bersabar menunggu waktu yang tepat untuk pulang, tentu saja momen tepat itu ketika pandemi tak lagi masif penularannya. Namun, keadaan justru berkata lain, penularan Covid-19 kian mencemaskan. Masifnya penyebaran virus itu terasa menghujam hati Karta yang diselimuti rindu keluarga di rumah.

“Seandainya sejak awal pemerintah disiplin menangani pandemi, tentu ada kemungkinan tidak terjadi kondisi sulit seperti ini,” ucap Karta. Ia menatap saya sembari menyisingkan lengan baju.

Kondisi di kos yang lebih sering terbatas membuat Karta merasa rindu orang tua dan kepingin pulang. Namun pandemi menjadi alasan mutlak yang menahan niatnya. Tak bisa dimungkiri, hidup jauh dari orang tua tidak mungkin tidak merasa rindu pada mereka. Ia mengira semua orang yang merantau pasti merasakan hal yang sama. Ia mengambil ponsel yang terletak di depannya, ia memutar lagu ‘Pulang’ Iksan Skuter.

“Aku rindu suasana rumah, rindu masakan ibu. Kalau di kos harus berjibaku dengan kompor dan semacamnya sedangkan kalau di rumah semuanya tinggal makan,” terang Karta. 

Menghadapi seretnya finansial, Karta berulang kali sebagai anak kos memutar otaknya mencari solusi untuk mendobrak kebuntuan ekonominya. Yang jelas ia tak mungkin melamar kerja menjadi pekerja paruh waktu, ia merasa kesulitan menemukan pekerjaan semacam itu. Yang membuat masalahnya semakin kompleks, ia tak memiliki kendaraan untuk ke mana-mana.

“Akhirnya aku menemukan pekerjaan yang lumayan dan bisa nambah uang makan, jadi joki tugas,” jawab Karta saat saya tanya bagaimana cara bertahan hidup di situasi krisis finansial. Ia menjawab itu dengan kedua sudut bibirnya ditarik ke belakang.

“Waa, bisa nih saya meringankan beban dari menumpuknya tugas,” ucap saya sambil tergelak.

“Bisa saja,” jawabnya. 

“Saya sangat tertolong dengan pekerjaan ini, tapi hanya cukup untuk bertahan hidup tidak untuk benar-benar hidup,” pungkas Karta. 

Anak rantau, sakit dan pentingnya teman

Namanya Caca (23), mahasiswa rantau asal Wonosobo, Jawa Tengah yang kini menempuh pascasarjana UGM. Saya menghubunginya melalui sambungan telepon. Caca merasa pandemi ini membuatnya tersiksa. “Sebagai orang yang tergolong ekstrovert aku perlu bertemu dengan temen-teman untuk mengisi energi,” katanya.

Photo by engin akyurt on Unsplash
  Photo by engin akyurt on Unsplash

Namun, siksaan lebih berat adalah saat dirinya positif Covid-19 di awal Juli lalu. Ia terpapar teman kampusnya. Kini ia benar-benar membatasi akses untuk bertemu dengan orang-orang di sekitarnya. Ia mengingat kembali momen-momen ketika virus itu menyerang dirinya. 

Rasa bingung karena kondisi ekonomi yang tengah sulit dan tak bisa menjangkau apa yang dibutuhkan. Ia juga geram dengan harga barang yang dibutuhkan terlampau tak manusiawi.

“Aku punya riwayat asma, karena merasa sesak napas saat itu aku membutuhkan Oxycan, biasanya aku selalu sedia yang ukuran 500 ml itu, tapi waktu itu habis. Aku dibantu dicarikan oleh teman di apotek terdekat, itu pun sudah habis,” ungkap Caca, Kamis (22/7). ​​Oxycan, adalah oksigen yang digunakan untuk pertolongan pertama pada penderita asma yang mengalami sesak napas.

Menghadapi situasi saat itu Caca benar-benar bingung. Ia menyebarkan informasi bahwa ia membutuhkan Oxycan melalui jejaring sosmed miliknya, banyak teman-teman yang membantu menyebarkan. Ia sempat menghubungi lokasi-lokasi yang menyediakan Oxycan 500 ml yang didapat dari teman-temanya. Akan tetapi harganya mencapai Rp 200 ribu lebih, 4-5 kali lipat dari harga normal.

Bukan berarti ia tak mau membeli, akan tetapi ia mempertimbangkan banyak hal sebagai mahasiswa perantauan, lagi pula ia tak sampai hati mengabari orang tua di rumah yang justru akan membuat mereka jadi kepikiran. “Untungnya temenku dapet Oxycan dengan harga normal di sekitar Kulonprogo,” kata Caca. 

Selama sakit, teman-temannya lah yang membantunya saat dia harus isoman di kos. Untungnya, kormobid asma tidak sampai menyebabkan sesuatu yang fatal. Ia juga tidak ingin merepotkan keluarganya. Dukungan dari teman-temannya yang memastikan dirinya aman, membuatnya hatinya lebih tenang. 

Katika ia dinyatakan positif, seketika itu juga ia meminta tolong teman-temannya untuk mencarikan bahan makanan yang bisa ia olah sendiri di kos. Ada juga yang tanpa diminta mengirimi ia makanan. 

“Bersyukurnya, orang-orang yang saya kenal mensuport. Tetangga kos kadang juga ada yang bawa makanan,” katanya.

Selama ini untuk bertahan hidup, di samping kuliahnya Caca juga ia nyambi bekerja sebagai manager di sebuah coffee shop di Yogyakarta. Sebelum pandemi masif menyebar di Yogyakarta,  kondisi pekerjaanya sedang naik daun. Semuanya buyar. Ia pun kembali memutar otak, terkadang untuk memenuhi kebutuhan harian untuk makan, ia mengandalkan uang dari hasil mengajar bimbingan belajar anak-anak.

“Untuk saat ini aku cuman bisa manggantungkan hidupku pada uang hasil bimbingan atau mengajar les,” kata Caca.

“Aku sangat berharap pemerintah ini bener-bener serius menangani penyebaran Covid-19, bukan malah cuman sekedar mengubah-ubah istilah kebijakan yang ia tawarkan, sampai dikasih level segala. Aku yakin tak hanya aku yang merasa muak, pasti seluruh rakyat Indonesia juga muak,” pungkas Caca mengakhiri ceritanya.

Menahan rindu dan menghemat pengeluaran

Matahari masih bersinar cerah, saya beralih menuju tempat Laura (20) ia mahasiswi yang berasal dari Sumatra dekat Pekanbaru.”Pandemi ini memang menyebalkan, buat aku nggak bisa ke mana-mana. Ke perpustakaan kampus lho, nggak bisa,” begitu ucap Laura mengeluhkan situasi di tengah pandemi.

Karena tidak ingin berpusing-pusing memikirkan pandemi. Laura juga memilih bertahan di kos. Alasanya sama dengan yang telah disampaikan Karta, menghindari penularan virus ke keluarganya. 

Selain itu, Laura menyadari transportasi antar pulau memakan biaya yang tidak sedikit, lagi pula kondisi ekonomi juga dirasa sedang paceklik atau di dalam kondisi sulit. Ia berpikir bertahan di kos pilihan yang tepat, ia merasa terbantu karena induk semang indekosnya juga memberikan potongan biaya sewa.

“Kamu tahu nggak kapan kira-kira pandemi ini bakal berakhir?” tanya Laura.

“Enggak,” jawab saya.

“Syusah, uang bantuan untuk rakyat terdampak Covid aja malah diselewengkan oknum pemerintah,” ucapnya.

 “Sebetulnya aku pengen banget pulang. Rindu masak bareng dengan ibu, rindu dengan momen-momen kecil dengan keluarga yang terasa menggembirakan pokoknya,” terang Laura. Wajahnya memperlihatkan kesedihan, seraya tersimpan rindu yang mendalam.

Laura juga  berusaha meyakinkan diri bahwa ia mampu bertahan di situasi yang sulit, di tengah pandemi seperti ini. Ia belum diizinkan orang tuanya untuk bekerja, di sisi lain mencari kerja juga cukup sulit di tengah  pandemi. Jalan satu-satunya Laura untuk bertahan adalah dengan menabung uang kiriman. 

“Selama ini aku lebih sering masak sendiri di kos, pengeluarannya lebih sedikit daripada beli di luar,” terang Laura. 

“Bertahan itu bukan soal harus mencari uang, tapi menghemat uang yang ada itu juga tergolong bertahan,” imbuh Laura dengan yakin.

Ceming (22) merasa senasib sepenanggungan dengan narasumber yang lain. Ia berasal dari Ciamis, namun ia sudah sejak SMA tinggal di Yogyakarta, mahasiswa ini memilih kukut dan keluar dari kosnya dan memilih tinggal satu kos dengan teman kuliahnya, iuran begitu maksudnya. 

Photo by Beth Macdonald on Unsplash

“Waduh, pandemi buat ekonomi morat-marit bin mletre” ucap Ceming. “Kalau sikap pemerintah ke rakyat kamu tahu sendiri …. ”, ucap Ceming. Ia membenarkan laptopnya yang nge-hang.

Ceming, orang tuanya adalah seorang petani. Biasanya ia membantu ayahnya mencabuti rumput-rumput atau gulma yang mengganggu.

“Ah, aku rindu bercengkrama dengan tumbuhan di ladang. Rindu masakan ibu yang diantarkan pada waktu siang hari ke ladang,” jawab Ceming saat saya tanya hal apa yang paling dirindukan di rumah. 

“Tapi rindu itu lebih baik kubayar nanti saja di waktu yang tepat,” imbuh Ceming.

Mereka, mahasiswa perantau ini memang mengurungkan niatnya untuk pulang. Mereka menyadari situasi pandemi yang belum stabil, sementara itu orang tua mereka juga belum mengizinkan mereka pulang. 

Ya, untuk saat ini mereka serempak menganggap menjaga kesehatan dan mencegah penularan lebih utama. Sementara ini biasanya mereka membayar rindu dengan melakukan komunikasi melalui telepon, meski tak memuaskan, mendengarkan kondisi keluarga dalam kondisi sehat terasa melegakan dan menyenangkan.

Sebelum mengakhiri ceritanya, Ceming mengutarakan kembali sesuatu yang mendongkol di hatinya. “Hidupku rasanya dihantui pandemi dan kadang-kadang disiksa perut lapar dan dibuat pusing oleh skripsi,” ucapnya sembari menggelengkan kepala. 

“Alhamdulillah-nya, bisnis online shopku tidak sepi pembeli, jadi aku sedikit bisa menyelamatkan diri dari siksa perut lapar,” pungkas Ceming.

BACA JUGA Rindu Rumah Para Penyintas Broken Home dan liputan menarik lainnya di Mojok.

Exit mobile version