Dua daerah di Gunung Kidul, Jogja, menjadi contoh bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan alam sebagai habitat mereka tinggal: hidup dengan kesadaran konservasi. Jika alam dijaga dengan baik, maka hidup manusia pun akan sangat baik.
***
Belum lewat satu bulan ini, sumur di tempat tinggal saya bersama teman-teman komunitas di Ngaglik, Sleman, mengering. Benar-benar mengering. Tak ada air yang terangkat ke tandon.
Beberapa waktu sebelum kejadian, mesin pompa air tiap dinyalakan pasti menderu-deru memprihatinkan. Lalu hanya mampu mengeluarkan air dengan volume sangat kecil.
Sampai akhirnya hari itu tiba juga, hari yang kami takutkan, saat setetes pun tak bersisa nun di dasar sumur sana. Inilah puncak musim kemarau. Maka, “penderitaan kecil” harus kami lalui berminggu-minggu: kalau mau mandi atau berak, terpaksa ngungsi ke masjid atau pom bensin terdekat. Sebelum akhirnya diputuskan mengebor sumur lagi untuk mencari sumber air baru dari dasar tanah.
“Tapi ya kira-kira beginilah hidup di Gunung Kidul,” ujar seorang teman komunitas—yang sudah lama tinggal di Jogja—menggambarkan betapa mengerikannya kekeringan di Gunung Kidul.
Tentang air yang tak pernah mengering di Gunung Kidul
Gunung Kidul—secara umum—boleh lekat dengan ironi kekeringan. Namun tidak dengan salah satu daerahnya: Dusun Menggoran, Desa Bleberan, Kecamatan Playen. Di sana terdapat sumber mata air yang tak pernah mengering, yang kemudian dikembangkan menjadi destinasi wisata bernama Air Terjun Sri Gethuk.
“Air terjun itu istilahnya hanya sisa air saja dari sumber mata air utama. Kalau mata air utama digunakan untuk hajat hiudp masyarakat setempat. Buat irigasi, buat air minum, macem-macem,” terang Harno (50), Kepala Dukuh Menggoran saat saya ajak berbincang, Sabtu (28/9/2024) siang WIB.
Ada tiga sumber mata air utama yang mengalir di Menggoran, Gunung Kidul, yakni Ngandong, Dong Poh, dan Ngumbul. Konon, sumber mata air tersebut sudah mengaliri Menggoran sejak lampau: dari zaman simbah-simbah Harno.
“Musim kemarau ekstrem seperti sekarang pun nggak mengering. Mengecil pun tidak,” imbuh Harno.
Kesadaran menjaga berkah alam di Gunung Kidul
Mayoritas penduduk Menggoran adalah petani. Keberadaan sumber mata air tersebut tentu menjadi sangat penting bagi mereka.
Oleh karena itu, kata Harno, sudah sejak dulu simbah-simbahnya mengajarkan bagaimana manusia harusnya memperlakukan berkah alam berupa sumber air itu, agar senantiasa melimpah.
“Agar debit air terus terjaga, masyarakat selalu melakukan penanaman pohon di sekitar sumber mata air. Itu sudah berlangsung sejak dulu,” ungkap Harno.
Penjagaan pada sumber mata air pun dilakukan dari sisi spiritual. Masyarakat setempat memiliki tradisi khusus yang ditujukan untuk dua hal. Pertama, sebagai rasa syukur atas pemberian Tuhan melalui alam beruapa sumber mata air yang melimpah.
Kedua, sebagai bentuk permohonan pada Tuhan dan alam agar berkah berupa sumber mata air tersebut tetap bisa dinikmati manfaatnya oleh masyarakat setempat hingga anak turun mereka kelak.
Dulu sumber mata air di Menggoran mungkin hanya terasa menfaatnya di sektor pertanian. Namun, kini juga memberi manfaat ekonomi dari sektor pariwisata. Sumber mata air yang turun menjadi Air Terjun Sri Gethuk saat ini bisa dibilang merupakan salah satu wisata teramai di Gunung Kidul, Jogja.
“Dari zaman simbah, sampai sekarang, kami selalu diajari merawat alam. Termasuk ketika saat ini banyak wisatawan yang masuk (Sri Gethuk jadi obyek wisata sejak 2010-an), hal itu juga kami tekankan agar mereka sadar betapa pentingnya alam bagi keberlangsungan hidup kita (manusia),” beber Harno.
Memanen hujan dari tanah gersang Gunung Kidul
Sore harinya saya berbincang dengan warga Gunung Kidul lain. Namanya Mursidi (50), Kepala Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nglanggeran, salah satu desa wisata di Jogja yang terkenal denga situs Gunung Api Purba.
Lahir di medio 1970-an, Mursidi ingat betul bahwa dulu desanya merupakan desa gersang. Tak seperti Menggoran yang sudah memiliki sumber mata air sejak lampau.
Beranjak remaja, ia melihat mulai tumbuh kesadaran masyarakat desanya untuk melakukan penghijauan. Lambat laun, Nglanggeran menghijau. Banyak pohon tumbuh. Air pun tak lagi sulit didapat.
Prinsip konservasi semacam itu lalu menjadi prinsip hidup turun temurun bagi masyarakat Nglanggeran, Gunung Kidul.
“Sekarang ini kami jaga betul, karena jadi kawasan tangkapan resapan air. Itu penting untuk keberlangsungna hidup kita, sebab air adalah kebutuhan pokok umat manusia,” tutur Mursidi.
Pada 2013, Sri Sultan Hamengkubuwono X meresmikan keberadaan Embung Nglanggeran di sana. Sebuah telaga buatan untuk menangkap dan memanen air hujan. Sehingga ketika kemarau tiba, kebutuhan masyarakat—terutama untuk urusan pertanian—masih terpenuhi.
Pohon-pohon yang menghidupi
Nglanggeran pada akhirnya memang dikembangkan menjadi desa wisata. Banyak destinasi wisata tersaji di sana. Di antaranya Gunung Api Purba, Embung Nglanggeran, Air Terjun Kedung Kandang, dan lain-lain. Semua berbasis konservasi alam, sampai masuk dalam Top 100 Destinasi Berkelanjutan Dunia versi Global Green Destinations Days (GGDD) tahun 2018.
Bagi Mursidi, kebermanfaatan dari sektor pariwisata itu hanya sedikit saja dari manfaat besar lantaran merawat alam Nglanggeran, Gunung Kidul.
Ada banyak jenis pohon yang ditanam masyarakat setempat di sana. Sebut saja tanaman perkayuan seperti mahoni, bambu, jati, sengon, sonokeling, dan beringin. Sementara untuk buah-buahan, ada sawo, mangga, kelengkeng, rambutan, cengkeh, hingga durian.
“Itu semua bisa dijual. Misalnya suatu saat harus menyekolahkan anak, bisa jual jati. Atau bisa juga untuk bangun rumah sendiri. Jadi manfaatnya jangka panjang,” beber Mursidi.
Atas kesadaran tersebut, masyarakat Nglanggeran mengharamkam sistem asal babat. Mereka menerapkan betul prinsip tebang pilih. Kesadaran tersebut, seturut keterangan Mursidi, sudah tertanam sejak pada kalangan anak-anak muda setempat. Tidak lain sebagai regenerasi penjaga alam Desa Nglanggeran, Gunung Kidul.
Manusia: bagian kecil alam, tapi sangat menentukan
Kata Harno, manusia sebenarnya hanyalah bagian kecil saja dari alam, tapi memang sangat menentukan. Bagian kecil yang bisa menjadi penyebab kerusakan, tapi juga bisa menjadi sebab kelestarian. Harno dan warga Meronggan memilih menjadi yang kedua.
“Manusia harus memperlakukan alam selayaknya keluarga. Jangan disakiti,” ujar Harno yang selain menjadi Kepala Dukuh juga terlibat aktif dalam Komunitas Resan Gunung Kidul: komunitas dengan concern merawat alam. Pandangan yang juga diamini oleh Mursidi.
Harno dan Mursidi merupakan dua dari tiga belas komunitas dengan fokus pada pelestarian lingkungan dan budaya yang diundang untuk terlibat dalam Pameran Memetri. Mengusung tajuk “Memeteri – Jaga Iklim Jaga Masa Depan”, pameran dihelat dalam rangka memperingati Hari Habitat Dunia (HHD) sekaligus Hari Kota Dunia (HKD) 2024, kolaborasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) seniman-seniman ArtJog.
Pameran akan berlangsung 8-19 Oktober 2024 di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada (UGM), diikuti sederet rangkaian acara.
Pameran tersebut akan menyajikan instalasi seni hingga persentasi komunitas, seniman, masyarakat, serta Kementerian PUPR yang erat kaitannya dengan manusia dan habitatnya (alam), yang gambarannya kurang lebih seperti proses keberlangsungan hidup manusia dan alam di Menggoran dan Nglanggeran Gunung Kidul.
Belajar memelihara dari masa lalu
Kurator Pameran Memetri, Yoshi Fajar Kresno Murti (47), menekankan pentingnya sikap memelihara di tengah arus pembangunan dan modernisasi.
“Menurut kamus Jawa kuno, memetri itu artinya memelihara, memuliakan, menghormati. Dalam konteks hari ini, karena kita sudah banyak merusak, ada saatnya sekarang kita memelihara. Itulah yang menjadi pondasi untuk tema Memetri,” jelas Yoshi Minggu, (29/9/2024).
Yoshi juga menyoroti bahwa kerusakan lingkungan memberikan dampak besar terhadap perubahan iklim. Maka, untuk menghentikan perubahan iklim yang ekstrem, manusia harus mengembalikan cara berpikir memetri (memelihara).
Menurut Yoshi, konsep memetri dapat diterapkan dengan belajar dari sumber-sumber pengetahuan masa lalu.
“Jika kita bicara tentang masa depan, maka kita juga harus bicara tentang masa lalu. Untuk bisa memelihara dengan baik, kita tidak bisa begitu saja menemukan metodologinya tanpa belajar dari sejarah. Beruntungnya, tradisi dan kebiasaan sehari-hari nenek moyang kita sudah memberi banyak pelajaran penting tentang hal itu,” beber Yoshi.
Cara baru memelihara
Kata Yoshi, kolaborasi dengan Kementerian PUPR terjalin lantaran Kementerian PUPR memang memiliki perhatian serius dalam urusan pelestarian. Terutama dalam menjaga kota pusaka.
“Salah satu contohnya adalah bangunan atau artefak lama. Bagaimana bangunan itu bisa bertahan sampai sekarang, itu kan butuh dialog—sebuah proses untuk memahami dan merawatnya,” jelas Yoshi.
Dari sinilah gagasan memetri diwujudkan dalam bentuk pameran yang menawarkan cara berpikir baru, pandangan baru, serta praktik-praktik baru yang berkaitan dengan pemeliharaan alam dan wilayah.
“Ini bukan sekadar seni, tetapi juga sebuah cara baru untuk memelihara dan belajar dari masa lalu guna menghadapi tantangan masa depan. Pameran ini bisa menjadi destinasi sekaligus ruang edukasi yang kuat, terutama di Jogja,” tutup Yoshi.
Ia sangat mempersilakan kehadiran kawan-kawan pembaca di GIK UGM. Di sana, mari kita merenung dan belajar bersama: apakah tangan-tangan kita selama ini sudah digunakan dengan semestinya? Terhadap alam sebagai habitat kita, sejauh mana kita memelihara?
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News