Dunia sastra sudah ber-“Siyaga”. Mengambil ancang-ancang untuk menghadapi banyak tantangan kesusastraan era kiwari: misalnya alih wahana ke bentuk digital atau visual. Kini, para insan sastra mencoba berjalan secara “Rampak” (serempak) dalam satu harmoni. Itulah kenapa “Rampak” menjadi tema yang diusung dalam Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025.
Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025: bukti sastra masih jadi bagian hidup masyarakat
Tahun ini menjadi gelaran kelima Festival Sastra Yogyakarta (FSY) setelah pertama kali digagas Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta di tengah pandemi Covid-19 pada 2021 silam.
Dari tahun ke tahun, gelaran Festival Sastra Yogyakarta—dengan kekhasan masing-masing tema—menjadi bukti bahwa kecintaan publik terhadap sastra, nyata-nyata tak berkurang barang secuil. Mulai dari era “Musikal Hanacaraka” (2021), “Mulih” (2022), “Sila” (2023), hingga “Siyaga” (2024), sebelum akhirnya masuk babak baru: “Rampak” (2025).
Kecintaan publik tersebut bisa dilihat dari jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam Sayembara Puisi sebagai bagian dari rangkaian Festival Sastra Yogyakarta 2025. Jumlah naskah puisi yang masuk masih membeludak sebagaimana tahun lalu.
“Ini tahun ketiga ada sayembara puisi. Sekarang ada 4.395 naskah puisi yang masuk. Ini menunjukkan, partisipasi masyarakat masih sangat besar,” tutur Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, dalam Konferensi Pers, Doa Bersama, dan FGD FSY di Hotel 101 Style Malioboro, Senin (28/7/2025) siang WIB.
“Tahun demi tahun FSY memang mengalami perkembangan yang baik. bagaimana sastra menjadi ruang bertemu bagi komunitas sastra, masyarakat Jogja, dan banyak hal,” sambungnya.

Rampak: ruang temu dan kolaborasi antarkomunitas sastra
Yetti menyebut, Festival Sastra Yogyakarta 2025 melibatkan 60 lebih sastrawan (seperti Saut Situmorang, Dewi Lestari, hingga Mahfud Ikhwan), 75 lebih penerbit (kerja sama dengan IKAPI DIY), hingga tidak kurang dari 50 komunitas sastra.
Uniknya—dan ini yang jadi catatan apresiatif dari tim kurator—kendati dimotori oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tapi komunitas sastra yang dilibatkan berasal dari berbagai daerah di DIY. Tidak dikhususkan untuk Kota Yogyakarta saja.
“Kita melihat Jogja ini memang beda. Ketika kita melihat komunitas di daerah lain, itu perebutan legitimasi antarkomunitas sangat kuat. Sementara di Jogja, sastra atau umumnya seni, tidak dijadikan ruang rebutan, tapi jadi ruang kolaborasi yang saling menguatkan. Itu menjadi dasar kurator menyusun tema Rampak,” papar Fairuzul Mumtaz dari tim kurator.
Tema Rampak mengandung harapan agar festival ini menjadi ruang pertemuan bagi ekosistem sastra di Yogyakarta: dari sastrawan, penulis, pembaca, ilustrator, media, penjaja buku sastra, hingga situs-situs dan artefak sastra yang menjadi bagian dari denyut literasi kota ini.
Apalagi, sebagai kota yang dalam sejarahnya tak pernah absen dari peristiwa-peristiwa sastra penting, Yogyakarta dikenal sebagai salah satu kiblat sastra Indonesia.
Lebih lanjut, Fairuz menyebut, kolaborasi dengan komunitas-komunitas sastra di DIY tersebut tidak semata-mata sebagai “peramai” acara saja. Namun juga melibatkan mereka dalam merumuskan rekomendasi-rekomendasi dalam konteks kesusastraan yang bakal disampaikan ke Dinas Kebudayaan, lembaga setingkat, dan berbagai stakeholder terkait.
“Ini penting karena bagaimanapun komunitas sastra adalah bagian dari masyarakat yang butuh perhatian pemerintah. Temen-temen (komunitas) butuh menjadi subjek untuk berdaya,” tekan Fairuz.
Membincangkan nasib sastrawan hingga ruang bagi sastra pesantren
Ada tidak kurang dari 30 program dalam Festival Sastra Yogyakarta. Program-program tersebut terpetakan dalam beberapa agenda utama seperti Pasar Sastra (bazar buku, panggung diskusi, pameran komunitas), Sayembara Puisi, Susur Galur (seri diskusi jejak komunitas sastra Yogyakarta), Panggung Teras, serta pembukaan dan penutupan festival yang dirancang sebagai peristiwa seni lintas medium.
“Di Susur Galur misalnya, ada tujuh program nanti untuk bicara sastra dari hulu ke hilir, regenerasinya, proses terciptanya, publikasinya, persinggungan antarkomunitas, bagaimana komunitas berdaya, bahkan nasib sastrawan juga kita bincangkan,” jelas Fairuz.
Secara khusus, lanjut Fairuz, Festival Sastra Yogyakarta 2025 juga memberi ruang pada sastra pesantren. Sebab, bagi Fairuz, dunia sastra hari ini membutuhkan wacana lain yang telah menjadi bahasan 10 tahun lalu, tapi belakangan nyaris terpinggirkan. Yakni sastra pesantren.
“Itulah yang coba diangkat kembali. Mengangkat kekayaan pesantren. Karena di pesantren banyak karya-karya sastra yang tidak banyak diangkat dalam banyak festival. Selain juga mendekatkan kembali sekaligus merangkul teman-teman pesantren agar dekat dengan sastra,” beber Fairuz. Karena bagaimanapun, literasi pesantren sejatinya sangat akrab dengan dimensi kesusastraan.
Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025: lahirkan sastrawan baru
Selaku kurator, Fairuz berani menyebut bahwa Festival Sastra Yogyakarta 2025 merupakan festival buku atau literasi yang berbeda. Pasalnya, segmennya sangat spesifik: sastra.
“Dalam bazar buku, buku yang dijual spesifik buku sastra. Sastra daerah, Indonesia, terjemahan, hingga sastra anak. Kalau ada pelebaran di humaniora juga masih berkaitan dengan sastra, misalnya buku kritik sastra, antropologi, dan lain-lain,” terang Fairuz.
Festival ini juga diharapkan bisa memunculkan penulis atau sastrawan baru. Ada sejumlah peserta yang ikut pitching naskah novel bersama penerbit Bentang Pustaka untuk kemudian diterbitkan.
Untuk saat ini memang baru berkolaborasi dengan Bentang Pustaka. Fairuz berharap, ke depan makin banyak penerbit yang ikut berkolaborasi dalam semangat melahirkan para penulis atau sastrawan baru.
Ruang kebudayaan yang hidup
Festival Sastra Yogyakarta (2025) oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta akan berlangsung lebih panjang dari tahun sebelumnya. Yakni selama enam hari dalam rentang 30 Juli-4 Agustus 2025. Berlokasi di Grha Budaya, Taman Budaya Embung Giwangan. Festival ini juga menjadi bagian dari rangkaian pra-event Rapat Kerja Nasional Jaringan Kota Pusaka Indonesia (Rakernas JKPI) XI 2025.
Menyajikan rangkaian program dengan pendekatan festive tetapi inklusif, interdisipliner dan intermedial, kolaboratif, interaktif, dan eksperimentatif, FSY diharap tidak hanya menampilkan karya sastra dalam bentuk konvensional. Tetapi juga memanggungkan interaksi antara pelaku dan penikmat sastra dari berbagai latar belakang dan ekosistem kreatif yang berbeda.
Festival ini menjadi ruang yang menghubungkan tradisi sastra dengan wacana-wacana kontemporer, sekaligus membuka peluang kolaborasi lintas disiplin dalam bidang literasi, seni, dan budaya.
Dengan demikian, Festival Sastra Yogyakarta terus berupaya meneguhkan perannya sebagai ruang kebudayaan yang hidup, dinamis, dan terbuka.
Kursi pertunjukan
Selain bazar buku dan bincang sastra, ada juga pertunjukan musik di hari pembukaan dan penutupan. Berikut adalah rincian jadwal dan link untuk reservasi kursi pertunjukan:
- Pasar Sastra: 30 Juli – 4 Agustus 2025 di Grha Budaya TBEG pukul 09.00-21.00 WIB.
- Sayembara Puisi FSY 2025: Pengumuman juara pada 2 Agustus 2025
- Susur Galur (Seri Diskusi): 2-4 Agustus 2025 di Grha Budaya TBEG (Menggali jejak komunitas sastra Yogyakarta dalam enam sesi diskusi tematik).
- Panggung Teras (Ruang Komunitas): 2 – 4 Agustus 2025 di Teras Grha Budaya pukul 16.00-18.30 WIB (Ruang ekspresi bagi komunitas, termasuk acara harian Puisi Surup (poetry jamming)).
- Panggung Pembukaan: 2 Agustus 2025 di Grha Budaya TBEG pukul 19.00 WIB (Pertunjukan lintas medium yang menyatukan puisi, musik, ,macapat, dan visual. Dimeriahkan oleh Melankolia dan Iksan Skuter. Reservasi kursi melalui: bit.ly/ReservasiPembukaanFSY2025)
- Panggung Penutupan: 4 Agustus 2025 di Amphitheater TBEG pukul 19.00 WIB (Menampilkan Dewi Lestari dan seniman lintas bidang lainnya. Reservasi kursi melalui: bit.ly/ReservasiPenutupanFSY2025)
Agenda detailnya bisa juga dilihat melalui akun Instagram Festival Sastra Yogyakarta berikut:
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Percaya Diri Membaca Puisi Jawa (Geguritan) Ala Anak-anak Jogja, Menjaga Bahasa Daerah dari Kepunahan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
.