Mendengarkan Kembali Album PAS 2.0 setelah Dua Dekade: Lagunya Buat Milenial, tapi Kini Makin Relevan bagi Gen Z

album pas 2.0, pas band.MOJOK.CO

Ilustrasi - Mendengarkan Kembali Album PAS 2.0 setelah Dua Dekade: Lagunya Buat Milenial, tapi Kini Makin Relevan bagi Gen Z (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Dua dekade lalu, album PAS 2.0 (2003) hanya menjadi teman para remaja yang baru belajar patah hati dan mulai mengenal musik rock. Sekarang, saat mendengarkan ulang album dari Pas Band ini, yang terjadi bukan lagi sekadar nostalgia. Tetapi terasa seperti cermin bagi generasi yang muak dengan janji-janji politik dan kebijakan yang amaburadul.

***

Senin (29/9/2025) pagi, KA Banyubiru melaju dari Semarang menuju Solo. Di dalam gerbong ekonomi yang bergetar pelan, saya memutuskan untuk mendengarkan ulang album PAS 2.0 dari Pas Band.

Usia album ini 22 tahun. Ia dirilis pada awal 2000-an, era ketika musik Indonesia tengah bertransisi dari gelombang rock alternatif menuju dominasi pop. 

Awalnya, setlist ini saya pilih sekadar untuk menyingkat dua jam perjalanan. Namun, perjalanan kecil itu justru membawa saya ke ruang dengar yang sama sekali berbeda dari yang pernah saya alami.

Lebih dari 15 tahun lalu, sekitar awal masuk SMP, saya pertama kali mendengar album ini dari kaset fisik yang saya beli seharga Rp8 ribu di sebuah toko kecil. Waktu itu, PAS 2.0 saya nikmati apa adanya: musik alternative-rock dengan riff gitar garang, gebukan drum penuh tenaga, dan vokal yang tetap bisa diikuti tanpa harus berteriak. 

Buat remaja awal 2000-an, lagu-lagu di album ini terdengar keren. Cukup liar, tapi tidak sampai ekstrem.

Album ini, bagi saya waktu itu, hanyalah bagian dari konsumsi musik sehari-hari. Tidak ada tafsir politik, tidak ada refleksi mendalam. Ia seperti latar suara masa remaja: menyalakan kaset di kamar, menutup pintu, dan merasa cukup puas dengan dentuman musik keras yang mengisi dinding rumah.

Perspektif baru dalam mendengarkan lagu di PAS 2.0

Namun, duduk di kursi KA Banyubiru, dua dekade kemudian, pengalaman mendengarkan album yang sama malah terasa lain. Tidak lagi sekadar nostalgia, tetapi seolah membuka lapisan makna baru. 

Dulu saya hanya mendengar gebukan drum dan riff gitar. Sekarang, saya menangkap keresahan sosial, sinisme, bahkan pesimisme yang dibungkus dalam lirik-liriknya.

Fenomena ini, kalau mau dicari benang merahnya, bukan sekadar pengalaman pribadi. Riset psikologi musik menyebutnya sebagai “kenangan otobiografi yang dibangkitkan oleh musik” atau music-evoked autobiographical memory (MEAM). 

Penelitian Petr Janata dan Sonja K. Rakowski berjudul “Characterization of music-evoked autobiographical memories” (2007) menunjukkan, potongan lagu populer bisa memicu kenangan autobiografis yang intens; siapa yang bersama kita, di mana kita berada, dan perasaan apa yang melingkupinya. 

“Kenangan ini bukan hanya bernuansa nostalgia, tapi juga menumbuhkan tafsir baru ketika pendengar telah bertambah usia dan pengalaman,” kata Janata dan Rakowski dalam penelitiannya.

Itulah yang terjadi ketika saya kembali mendengarkan lagu-lagu di PAS 2.0. Album yang dulu hanya jadi latar masa remaja, kini terdengar sebagai komentar sosial yang lebih tajam, seakan memberi makna baru pada realitas hari ini.

“Jengah”, dari amarah remaja ke kritik sistem

Lagu pembuka di album PAS 2.0, “Jengah”, sejak awal sudah memancarkan energi ledakan. Riff gitarnya keras, drum menghentak tanpa henti, vokal Sandy membuat kata “jengah” terdengar seperti mantra perlawanan. 

Waktu SMP, selain jadi anthem yang dibawakan saat band-band-an, saya hanya menangkap lagu ini sebagai ekspresi marah khas anak muda. Kemuakan pada rutinitas sekolah, orang tua, atau dunia yang terasa membosankan. 

Kini, saya mendengar ulang lagu ini terasa berbeda. Kata “jengah” tidak hanya berarti bosan, melainkan sebuah rasa muak yang lahir dari sistem yang stagnan. 

Pada awal 2000-an, Indonesia baru beberapa tahun keluar dari reformasi, tapi banyak janji perubahan tidak kunjung terwujud. Korupsi masih merajalela, kekerasan politik belum sepenuhnya sirna, sementara ketimpangan ekonomi terus melebar. 

Dalam konteks itu, “Jengah” bisa dibaca sebagai jeritan generasi muda yang merasa dijebak oleh sistem yang tak kunjung membaik.

Relevansi lagu Pas Band ini tetap terasa hingga kini. Menurut survei Indikator Politik (2023), Gen Z menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap partai politik dan institusi negara. 

Rasa “jengah” yang sama: muak dengan janji kosong, jenuh dengan birokrasi ruwet, masih menggema. “Jengah” pun melampaui statusnya sebagai lagu rock: ia adalah potret kegelisahan lintas generasi.

“Musnah”, lagu tentang pesimisme yang nyata

Jika “Jengah” penuh ledakan, “Musnah” lebih dingin tapi hampir sinis. Liriknya berbicara tentang sesuatu yang hilang, sirna, tak tersisa. 

Ketika pertama kali mendengarnya, saya mengira ini hanya lagu putus cinta. Tapi kini, maknanya terasa lebih luas. Ia bisa dibaca sebagai metafora runtuhnya kepercayaan pada institusi dan pemimpin.

Awal 2000-an adalah masa penuh kekecewaan politik. Presiden berganti cepat, konflik sosial masih marak, dan stabilitas belum benar-benar pulih. 

Dalam atmosfer itu, “Musnah” terdengar seperti suara anak muda yang kehilangan pegangan, melihat harapan reformasi perlahan lenyap.

Dua dekade kemudian, rasa pesimis itu tetap relevan. Survei Katadata Insight Center (2024), misalnya, mencatat lebih dari separuh anak muda merasa pesimistis terhadap masa depan pekerjaan dan iklim politik Indonesia. 

Lirik “Musnah” menemukan gema baru di telinga Gen Z yang melihat dunia semakin sulit ditembus, baik karena krisis ekonomi maupun tantangan iklim. Lagu ini, pada akhirnya, adalah cermin dari rasa kehilangan kepercayaan yang berulang di tiap generasi.

“Malam Tetaplah Malam”, kebohongan tak bisa menutupi realitas

Di antara lagu-lagu keras di PAS 2.0, “Malam Tetaplah Malam” justru tampil sendu. Bagi saya yang dulu masih SMP, lagu ini terasa seperti balada cinta, keluh kesah tentang patah hati.

Namun ketika didengar ulang hari ini, liriknya menghadirkan pesan lain yang jauh lebih keras: kenyataan tidak bisa disulap dengan kata-kata manis. Malam tetaplah malam, kebohongan tidak bisa mengubah fakta.

Pesan sederhana ini terasa semakin relevan dengan situasi sekarang. Pemerintah boleh saja merancang program ambisius dengan jargon muluk, tetapi jika eksekusinya ngawur, publik bisa merasakan akibatnya. 

Contoh paling nyata ada pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih menyelamatkan generasi muda, program ini justru menimbulkan kasus keracunan massal, pengadaan pangan bermasalah, hingga temuan anggaran janggal. 

Narasi resmi tetap menekankan keberhasilan dan manfaat program, tapi fakta di lapangan menunjukkan realitas yang berbeda.

Fenomena serupa juga tampak pada praktik brutalitas aparat. Berulang kali, polisi melakukan kekerasan terhadap mahasiswa, buruh, atau warga sipil. Video pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, hingga gas air mata yang ditembakkan ke demonstran terus bermunculan. 

Namun di ruang konferensi pers, institusi sering menyebut tindakannya “proporsional” atau “demi ketertiban.” Ada jurang lebar antara narasi resmi dan pengalaman korban. Dan jurang itu sulit ditutup dengan kata-kata.

Di dunia digital, celah itu sering kali ditambal oleh pasukan buzzer. Mereka menggiring opini, mengubah narasi, menuding balik kritik sebagai hoaks, atau menyerang balik masyarakat sipil. 

Tetapi efektivitas buzzer pun ada batasnya. Fakta-fakta di lapangan, seperti keracunan massal MBG atau kekerasan aparat yang direkam langsung oleh kamera ponsel, tetap menyembul ke permukaan. Realitas lebih bandel daripada narasi.

Sepandai-pandainya pemerintah bohong, ujungnya ketahuan juga

“Malam Tetaplah Malam” mengajarkan bahwa kenyataan tidak bisa dipoles selamanya. Sepandai-pandainya retorika dibangun, ia akan runtuh ketika berhadapan dengan pengalaman kolektif publik.

Sama seperti malam: bisa dihiasi lampu, bisa ditemani kata-kata romantis, tapi tetap saja ia malam. Gelapnya tidak bisa ditutupi sepenuhnya.

Inilah kekuatan lagu Pas Band: ia menyampaikan kritik sosial dengan bahasa sederhana namun kuat. Tanpa teriak-teriak, ia menegaskan bahwa kebenaran memiliki daya tahan yang lebih besar daripada kebohongan. 

Lagu ini terasa relevan, bukan hanya pada era awal 2000-an ketika publik mulai kehilangan kepercayaan pada janji reformasi, tapi juga pada 2020-an ketika generasi baru menghadapi masalah yang tak kalah pelik.

“Malam Tetaplah Malam” adalah pengingat bahwa publik tidak bisa diperlakukan sebagai penonton pasif yang bisa dibohongi tanpa henti. Kebijakan yang cacat dan kekerasan yang nyata akan selalu meninggalkan jejak. 

Buzzer bisa membelokkan narasi sesaat, tapi jejak itu tetap akan menyibak realitas. Malam tetaplah malam.

Menafsirkan ulang album PAS 2.0

Penafsiran ulang tiga lagu kunci ini semakin masuk akal jika kita menempatkan PAS 2.0 dalam tradisi musik Indonesia. Studi Syela Joe Dhesita dan Ageng Sanjaya (2022) menegaskan bahwa sejak masa kemerdekaan hingga pascareformasi, musik di Indonesia berulang kali menjadi sarana protes terhadap ketidakadilan dan ekspresi perlawanan simbolik terhadap pemerintah. 

Dari lagu perjuangan, karya-karya Iwan Fals, hingga band-band alternatif pascareformasi, musik selalu menjadi kanal kritik sosial.

Pas Band, dengan PAS 2.0-nya, berada dalam jalur itu. Mereka mungkin tidak sepopuler Slank (dulu) atau seikonik Iwan Fals dalam menyuarakan protes, tetapi lagu-lagu mereka menyimpan energi kritik yang subtil, terbungkus dalam distorsi gitar dan metafora lirik.

Yang menarik, meski lahir pada awal 2000-an, album ini justru semakin terasa relevan bagi Gen Z hari ini. Generasi yang lahir di tengah derasnya arus digital, krisis iklim, dan meningkatnya ketidakpercayaan pada politik, menemukan gema keresahan dalam lagu-lagu Pas Band.

Gen Z tumbuh dengan skeptisisme terhadap institusi, kegelisahan akan masa depan, dan kerapuhan sistem yang tampak di depan mata. Ketika mereka mendengar lirik seperti “Jengah” atau “Musnah,” resonansinya bukan lagi semata amarah anak muda era 2000-an, tapi juga refleksi atas realitas mereka sendiri.

Pada akhirnya, mendengarkan ulang PAS 2.0 di tahun 2025 bukan sekadar perjalanan ke masa lalu. Ia adalah pengalaman lintas waktu: dari kaset Rp8 ribu di toko musik kecil, hingga layanan streaming di gawai; dari remaja SMP yang mencari musik keras, hingga orang dewasa yang membaca ulang lirik sebagai kritik sosial.

Album ini membuktikan bahwa musik bisa melampaui konteks kelahirannya. Ia lahir untuk telinga milenial awal 2000-an, tapi justru menemukan relevansi lebih tajam di telinga Gen Z dua dekade kemudian.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Saya Percaya, Album “Kalatidha” Down for Life adalah Soundtrack Terbaik untuk Kehidupan yang Buruk atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version