Sejarah Gang Dolly di Atas Makam dan Jejak Lokalisasi di Surabaya

Sejarah Gang Dolly di Atas Makam dan Jejak Lokalisasi di Surabaya

Gang Dolly, lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara tutup di tahun 2014. Jejak awal keberadaan tempat prostitusi di Surabaya ini masih bisa dilihat sampai saat ini.

***

Sebulan lalu, Mas Taufik (37), salah satu anggota Historie Van Soerabaja (HVS) pernah bilang ke saya kalau dia paham betul perihal sejarah Gang Dolly. Rasa ingin tahu saya pun mencuat, mengingat Dolly sudah tutup sejak 2014, satu tahun sebelum saya sekolah di Surabaya. 

Memangnya, apa ada yang tidak penasaran dengan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu? Tepat dua minggu setelahnya, saya menodong Mas Taufik untuk bercerita bersama komunitas HVS. 

Diam-diam, Mas Taufik memiliki kaitan darah yang cukup erat dengan Gang Dolly. Adik dari mbahnya, merupakan pendiri panti pijat di Jalan Jarak, tepatnya Panti Pijat Mami Arifin. Sampai sekarang bangunannya masih ada, letaknya persis di depan Gang Dolly.

Semua kisah yang diceritakan Mas Taufik berasal dari ayahnya, yang pada mudanya menjadi saksi sejarah perkembangan kawasan Dolly. “Ini cerita dari Bapakku, saksi hidup yang benar-benar tahu Gang Dolly seperti apa,” ujar Mas Taufik sambil melotot, meyakinkan. 

“Mami Arifin, adiknya Mbahku, buka cabang di beberapa tempat. Awalnya di gunungsari, kemudian buka di sana sekitar tahun 1974. Gara-gara Gang Dolly, Panti Pijat Mami Arifin pun ikut eksis. Tapi, karena Mbahku sendiri adalah orang jawa yang lurus, dia nggak mau buka wisma. Walaupun begitu, masih ada kemungkinan satu dua pegawainya yang nakal,” ungkap Mas Taufik.

Waktu itu, Tante Dolly kenal dengan Mami Arifin. Makanya mereka sama-sama besar karena saling support, saling membangun. 

Untuk asal-usul kepemilikan tanah, hal itu diawali dari mbah buyut Mas Taufik yang berinisiatif beli tanah di daerah Jarak. “Dulunya, daerah situ itu bong-bong. Bong itu artinya makam. Pada tahun 1960 awal, pemerintah membolehkan warga buat beli tanah di situ.” Mas Taufik mulai membuka cerita perihal sejarah pendirian wisma di Gang Dolly. 

Cikal bakal Gang Dolly, rezeki dari pemakaman

Kalau masuk Gang Dolly di zaman itu, kanan kiri itu bong. Rumah di sana juga belum permanen seperti sekarang, masih sebatas rumah bambu, betek. 

Pada tahun 1960 sampai 1964, Gang Dolly itu belum ada. Jalanan di sana pun masih lempung dan sebatas diberi bebatuan oleh warga sekitar untuk pijakan, alias makadam. 

Sekitar tahun 1968, Tante Dolly mulai mendirikan wisma pertama di gang tersebut, namanya Bakarna. Beliau juga sekaligus muncikari di situ. Untuk urusan asal-usul, Tante Dolly katanya asli Surabaya, keturunan Indo-Manado. Lengkapnya, eyang dari bapak beliau itu orang Belanda yang nikah sama orang pribumi. Nah, bapaknya ini nikah sama orang Manado.

Seingat bapaknya Mas Taufik, di tahun 1968, wismanya ada empat. Dari dulu, wisma milik Tante Dolly sudah bagus, kemungkinan Tante Dolly dari awal juga sudah kaya. Beliau adalah pemilik, pendiri, sekaligus muncikari. “Ingat ada beda antara mucikari dengan germo, kalau germo itu semacam blantik,” ucap Mas Taufik dengan nada serius.  

Dari pendiriannya di tahun 1968, Gang Dolly semakin hari semakin eksis. Hingga mulai didengar banyak orang di tahun 1971.

Layaknya usaha-usaha gelap lain, di tahun 1969-1971, Bakarna ini masih ada pro dan kontra. Sekitar tahun 1971-1974, gang itu telah beroperasi lebih bebas. Tahun 1974 seterusnya, sebelah-sebelah Wisma Bakarna mulai ramai berdiri wisma lain. Tapi tidak semewah dan berkelas seperti Bakarna. Sekitar tahun 1975-1976, nama Tante Dolly jadi tetenger dan digunakan menjadi nama gang, Gang Dolly.

Sedangkan lokalisasi yang ada di Jalan Jarak, yang bersebelahan dengan Gang Dolly, “Kata Bapak, Lokalisasi Jarak itu pindahan dari Lokalisasi Jagir. Walaupun diberi tempat, tetapi yang terkenal tetap Gang Dolly,” Mas Taufik mengucapkannya dengan mantap.

Mulai tahun 1980-an, Dolly telah terkenal di Asia Tenggara dan mancanegara. Nah, yang orang-orang kenal sebagai akuarium, itu baru eksis tahun 1990-an. 

Mayoritas, yang menjadi PSK di situ bukan orang Surabaya, tetapi pendatang dengan beragam latar belakang. Kebanyakan mereka datang atas alasan ekonomi. 

Jika dibandingkan dengan wisma lain, wisma milik Tante Dolly terkenal dengan pelayanannya, keramahannya, serta tempatnya yang bersih. Makanya lebih terkenal. 

Untuk asal-usul Tante Dolly, Mas Taufik mengira beliau mungkin lahir tahun 1930 ke atas, sezaman dengan adik dari mbahnya Mas Taufik. Perihal waktu beliau meninggal, kemungkinan terjadi sekitar tahun 1980-an. Makamnya pun misterius. “Ada desas-desus katanya dibawa keluarga ke Malang, tapi entah kabar itu benar atau tidak,” ucap Mas Taufik sambil mengangkat kedua telapak tangannya. 

Jika Anda bertanya mengenai bong-bong yang ada di situ, kok bisa tanah kuburan dijual belikan oleh pemerintah. Ceritanya, dulu bong-bong itu adalah makam para pendatang di Surabaya, utamanya orang Tiongkok dan Belanda. 

Pemakaman yang dulu luasnya mencapai Gang Dolly, kini tersisa beberapa petak, salah satunya Pemakaman Kembang Kuning seperti di atas. Foto oleh Prima Ardiansah/Mojok.co

Saat Indonesia sudah merdeka, ahli waris dari bong-bong (kuburan) yang sudah ada dari zaman Belanda itu dipaksa pemerintah untuk membongkar sekaligus memindahkan jenazahnya. Supaya tanahnya bisa digunakan untuk pemukiman warga setempat. Nah kontrak itu bertahan sampai tahun 1960-an. 

Era sebelum kemerdekaan, bong-bong itu memang tidak dikontrakkan oleh pihak Belanda. Karena Belanda memang bertujuan untuk membuat bangsa asing yang ada di Surabaya nyaman. 

“Mas, katanya gang Dolly itu paling besar se Asia Tenggara, apa benar?” pertanyaan itu meluncur saja dari mulut saya. 

“Tidak, di luar negeri lebih sangar. Dolly itu kecil gangnya, cuma karena namanya dibesar- besarkan. Makanya viral. Padahal kalau dibandingkan dengan negara tetangga, ya kalah. Kira-kira yang beneran Gang Dolly itu cuma 150-200 meter saja,” jawab Mas Taufik.

Kemungkinan, karena ada Lokalisasi Jarak di sebelahnya, lokasi Gang Dolly-Jarak itu jadi terlihat besar dan luas. Padahal, keduanya tidak sama. Kalau dibandingkan, Jarak itu kelas teri, Gang Dolly itu kelas paus.

Selesai Mas Taufik bercerita, Cak Wawan (40) menengahi.  “Begini, kalau ngomongin Surabaya. Surabaya itu bisa dicap sebagai kota prostitusi, kota pelabuhan, kota kuliner, kota wali pun ya bisa. Dulu itu banyak prostitusi di Surabaya. Di bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, pemakaman. Lokalisasi-lokalisasi menyebar di banyak tempat.” 

“Karena jumlahnya banyak, waktu itu juga banyak relokasi di tempat-tempat tertentu supaya tidak menyebar nggak karu-karuan. Saking banyaknya, dibangunlah rumah sakit kulit dan kelamin. Selain Dolly dan Jarak, masih ada Lokalisasi Kremil, Lokalisasi Moroseneng, dan lainnya,” ucap Cak Wawan dengan nada ngegas seperti orang Surabaya asli pada umumnya.  

“Mungkin Tante Dolly itu otak cuannya ada,” sontak, kami yang mendengar beliau bicara langsung tertawa. Benar juga kata Cak Wawan. 

Mas Taufik pun kembali bercerita, jika Gang Dolly itu termasuk dataran tinggi di Surabaya, dan ternyata, dulu banyak pohon cemara di sana. Waktu itu, orang-orang bisa lihat seantero Surabaya dari sana. Bahkan, dulu kalau ada orang ngajak ke Dolly, mereka bilangnya gini: ” Nggak munggah ta,” Mas Taufik memperagakan. 

“Sekarang, bekas-bekas wisma itu apa masih ada Mas?” saya kembali bertanya. 

“Wooo, masih ada, yang namanya Bakarna, sudah ganti nama,” jawab Mas Taufik tanpa ragu.   

Begini, ini aku berhipotesa dan kesaksian Bapak. Yang meneruskan itu, bisa anaknya, saudaranya, atau pengikutnya. Mungkin orang dekat. Di akhir, wisma-wisma paling berkelas dikenal cuma ada dua: Barbara dan Wisma Kethek-Kethek (Monyet-Monyet). 

Barbara memiliki fasilitas seperti hotel, Wisma Kethek-Kethek memiliki daya tarik dengan keunikannya. Wisma yang dipenuhi patung-patung, kebanyakan patung monyet. 

Di akhir, sebelum Gang Dolly tutup, Barbara dibeli Pemkot Surabaya. Sedangkan wisma kecil-kecil di sekitarnya sudah jadi tempat tinggal milik perorangan. 

Cerita tentang Dolly diabadikan oleh Orkes Silampukau dalam lagu ‘Si Pelanggan’

Pelacuran di Gang Dolly dan Surabaya lewat skripsi Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar

Jika merujuk pada Buku Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly. Informasi yang diutarakan Mas Taufik sebagian besar selaras dengan skripsi yang ditulis pada tahun 1982 itu. 

Pertama, kompleks pelacuran Dolly merupakan makam Tiongkok, tahun 1966 daerah itu ditempati oleh pendatang dengan menghancurkan bangunan makam. Pemerintah daerah telah menetapkan supaya makam tersebut tertutup untuk jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindahkan oleh ahli warisnya. 

Dituliskan, waktu itu hanya dengan membongkar makam dan menggali kerangka, atau malah meratakan makam, itu sudah cukup untuk menyatakan diri sebagai pemilik tanah. Setahun setelah kompleks makam itu dihuni, pada tahun 1967, Dolly Khavit, seorang pendatang yang awalnya juga WTS yang kemudian dinikahi pelaut Belanda, mendirikan 4 wisma, tiga diantaranya disewakan orang lain. 

Menurut buku yang disusun Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar ini, kehadiran wisma-wisma baru mencapai puncaknya pada tahun 1968-1969. Dulu, izin mendirikan wisma cukup diperoleh dari kepolisian dengan menyebutkan izin untuk membuka warung kopi yang dilayani perempuan-perempuan. 

Tentu, walaupun ada beda versi, kita tetap bisa menarik garis bahwa Gang Dolly memang asalnya dari kompleks pemakaman, dan Tante Dolly sama-sama merupakan cikal bakal dari gang tersebut. 

Perihal betapa banyaknya lokalisasi yang tersebar di Surabaya pada tahun 1982 sesuai tahun penulisan buku, saya mencoba merangkum beberapa lokalisasi yang tertulis di sana. 

Pertama, Lokalisasi Bangunrejo yang berporos di Jalan Rembang, memiliki cakupan sekitar 350 wisma. Kedua, kompleks Lokalisasi Jarak yang berada di sekitar Pasar Jarak dengan jumlah 400 wisma. Lokalisasi Jarak digambarkan merupakan lokalisasi yang paling sering terjadi peristiwa kejahatan, baik pembunuhan, penganiayaan, pemerasan, maupun penodongan. 

Ketiga, di utara Surabaya, ada Lokalisasi Moroseneng, di daerah Tandes. Lokalisasi  ini pada waktu itu memiliki 30 wisma kualitas rendah dan 15 wisma kualitas menengah. Keempat, Lokalisasi Kremil, berlokasi di daerah Tambaksari, yang meliputi 500 wisma dengan konsumen dari kelas bawah, seperti buruh, tukang becak, dan sebagainya.

Satu lagi, ada daerah bernama SDK (tidak dijelaskan singkatan dari apa) yang merupakan kompleks persewaan kamar, tanpa disertai dengan PSK. Tercatat ada sekitar 60 rumah dengan rata-rata 10 sampai 12 kamar. 

Sedangkan yang di jalanan, masih banyak lagi. Misalnya di sepanjang Jalan Diponegoro, utamanya berpusat di ujung Jalan Chairil Anwar. Dekat dengan situ, ada Makam Kristen Kembang Kuning yang konon interaksi seksualnya dilakukan di atas makam. 

Makam lain juga tidak lolos, Makam Islam Rangkah dan Makam Islam Tembok juga tidak luput. Belum lagi Jembatan Genteng Kali sebelah barat dan Jembatan Kayun sebelah selatan, yang keduanya menerima tamu di dalam gubuk-gubuk. 

Ada pula di kompleks Stasiun Gubeng yang menggunakan gerbong-gerbong kereta tidak terpakai sebagai tempat mengadu nafsu. Belum lagi dengan lokasi-lokasi yang berkamuflase menjadi barber shop dan panti pijat.

Terakhir, juga ada pelacuran kelas atas yang berlokasi di rumah-rumah mewah. Tidak dijelaskan secara detail dimana lokasinya pada buku ini. Yang jelas jika waktu itu kelas menengah dan kelas bawah memiliki tarif bermalam dari 100 rupiah sampai 7.000 rupiah. Kelas atas bisa mencapai 150.000 rupiah. 

Bekas-bekas Lokalisasi Dolly kini

Keesokan harinya, saya diajak Mas Taufik jalan-jalan di eks Lokalisasi Dolly. Sebelum masuk gang, saya ditunjukan beberapa ruang terbuka di dekat gang yang masih ada makamnya. Benar, salah satu makam, memang berada di samping area permainan anak-anak. Saya heran, kok bisa warga sekitar tidak terganggu melihat pemakaman-pemakaman yang tercecer di tengah kampung itu. 

Puluhan mesin jahit yang terbengkalai di salah satu lantai eks Wisma Barbara. Foto oleh Prima Ardiansah/Mojok.co

Setelah masuk gang, Mas Taufik menunjuk Gedung Panti Pijat Mami Arifin, persis di depan pintu masuk gang. Sampai di dalam gang, kami berdua parkir di Kafe Andromeda, lantas kami ke gedung setinggi enam lantai di dekat situ. 

Gedung itu cukup besar, tinggi, dan mewah, layak jika disandingkan dengan hotel-hotel lain di Surabaya. Gedung itu dicat dengan nada warna putih. Terdapat plang menempel di depan bertuliskan: “Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya”. Ya, gedung mewah enam lantai itu adalah eks Wisma Barbara.

Dari skripsi berjudul Politik Eksploitasi Tubuh Perempuan Studi Tarik Menarik Kepentingan Dalam Penutupan Lokalisasi Dolly-Jarak Surabaya, tercatat bahwa waktu itu Wisma Barbara memiliki sekitar 100 kamar. Tidak main-main, wisma itu dibeli Pemerintah Kota Surabaya seharga Rp9-10 miliar.  

Di lantai pertama, kami berdua disambut oleh Pak Budiono (49). Kata beliau, area ini dulunya memang bong, kuburan. Bapak beliau yang lahir di tahun 1942 juga turut membongkar makam.

Menurut Pak Budiono, di gang ini ada dua wisma yang paling terkenal, pertama adalah Barbara, tempat kami ngobrol sekarang, kedua adalah wisma yang berjarak sekitar 50 meter ke arah selatan, orang-orang biasa menamai lokasi kedua itu “Wisma Kethek-Kethek”, karena memang banyak patung-patung monyet bertebaran. Perihal kedua wisma terbesar ini merupakan keturunan Tante Dolly atau bukan, Pak Budiono jujur tidak tahu, dan memang sengaja dirahasiakan. 

Saya diajak jalan-jalan dari lantai satu sampai lantai enam. Yang saya lihat, pemerintah telah mengubah total gedung ini. Bekas-bekas kamar telah disulap sedemikian rupa menjadi bilik-bilik. Beberapa bekas ruang lapang, yang dulunya mungkin digunakan sebagai bar-bar penerimaan tamu, kini juga sudah diberi sekat-sekat. Saya cukup capek naik turun tangga, maklum, lift yang kami jumpai di sebelah pintu masuk lantai satu tidak dioperasikan. 

Sayangnya, Wisma Barbara yang awalnya diproyeksikan menjadi sentra usaha, kini masih belum beroperasi dengan lancar. Pada salah satu lantai, terdapat puluhan mesin jahit yang masih menganggur. Di lantai paling atas, ruangan lapangnya masih belum diberi sekat-sekat. Sama sekali belum ada aktivitas ekonomi yang berjalan di gedung enam lantai itu. 

Kata Mas Taufik yang masa kecilnya pernah main ke situ, dulu terdapat ruang rahasia di bagian belakang gedung yang berfungsi untuk tempat bersembunyi jika sewaktu-waktu ada operasi mendadak. Sayang ketika kami ke sana, ruang rahasia itu sudah tidak ada. 

Selesai berjalan-jalan di bekas Wisma Barbara, kami berdua pamit dan melenggang ke Kafe Andromeda. Di sana kami bertemu Mas Wilson (27), teman masa muda Mas Taufik. 

Kafe Andromeda, dulu juga merupakan bar yang berfungsi untuk menampung tamu. Di dalam, saya terperangah dengan bekas kemewahan yang masih tersisa. Kursi mewah yang empuk, penataan lampu yang eye catching, juga mini studio yang kini dimainkan pada malam-malam tertentu. Mas Wilson mengaku kalau lokasi ini dulu terkenal dengan nama “Dollywood”. Saya tercengang mendengar namanya. 

Jujur, ini adalah kafe yang menurut saya paling mewah di area Gang Dolly. Bicara tentang asal-usul Mas Wilson, beliau adalah anak dari pemilik Dollywood yang sekaligus pemilik wisma yang disebut warga sekitar sebagai Wisma Kethek-Kethek. Kini, Mas Wilson meneruskan usaha kafe yang telah berganti nama menjadi “Andromeda”. Setiap harinya, Andromeda kurang lebih dikunjungi 100-an tamu dari warga sekitar. 

Selesai berbincang, saya diajak ke bekas Wisma Kethek-Kethek. Dari depan, sudah tertata patung-patung kera yang berjejer di atas gerbang, tak kalah, di pagar juga ada patung kera berukuran mini yang menghiasi tiap sela.

Patung monyet yang memenuhi pagar rumah Mas Wilson. Foto oleh Prima Ardiansah/Mojok.co

Ketika kami masuk rumah, saya mendapati keponakan Mas Wilson yang bermain bersama teman-temannya di dalam. Ruang tamunya juga telah berubah menjadi ruang tamu keluarga biasa. Saya akui, hawa di dalam rumah sungguh sejuk dan tenang, membuat siapa saja yang disana jadi betah. 

“Ini patung-patungnya sudah berkurang jauh Mas, dulu lebih banyak lagi, di teras banyak, di ruang tamu banyak, di tempat keponakan saya bermain itu juga banyak.” Kini, rumah tersebut digunakan keluarga besar Mas Wilson sebagai tempat tinggal. Sedangkan kamar-kamar yang masih layak, telah diubah menjadi kos-kosan, baik di bekas Wisma Kethek-Kethek maupun di Kafe Andromeda. 

Sebelum saya pulang, Mas Taufik sedikit menyinggung bagaimana perasaan Mas Wilson terkait dengan asal-usul keluarganya.

“Saya sekarang sih santai Mas. Dulu, saya sering dikatai sebagai ‘anak yang punya Dolly’ sama teman-teman sekolah. Padahal saya juga tidak pernah cerita ke siapa-siapa, tiba-tiba saja mereka tahu. Kalau dulu, ya berat Mas, tapi saya bawa santai.” 

Sampai-sampai, Mas Wilson memilih bersekolah di tempat yang jauh dari Gang Dolly, “Di Petra sana, Mas,” ungkap beliau. 

Hal tersebut juga melekat pada Mas Taufik, walaupun secara silsilah Mas Taufik cukup jauh dengan adik dari mbahnya itu, dan jelas panti pijat itu bukan wisma. Tetapi Mas Taufik kadang juga masih kena getahnya. 

“Dulu saya sembunyi-sembunyi kalau ke sini, soalnya orang di gang ini hafal semua sama saya. Saya juga menyembunyikan keterkaitan saya sama Mami Arifin ke teman-teman. Tetapi, kalau sekarang sih sudah santai, sekarang kan juga sudah tutup,” ujar Mas Taufik sambil tertawa.

Saya mengangguk-angguk pelan. Walaupun saya sadar pekerjaan sebagai PSK memang jadi soal, tetapi harus kita akui, Gang Dolly juga menjadi ladang rezeki banyak orang. Mulai tukang parkir, pedagang makanan, sampai panti pijat.

Bukan hanya dampak ekonomi, dampak sosialnya pun juga muncul. Ada kenangan pahit tersendiri yang diemban oleh orang-orang yang berdekatan dengan kehidupan di sana.

Walaupun sudah menelusur sejauh ini, dalam hati saya tetap penasaran bagaimana hingar-bingar lokalisasi ini di masa kejayaannya. Apakah Anda juga sama seperti saya?

BACA JUGA  Hasrat Asmara Raja Mataram Islam yang Berakhir di Istana Kematian dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version