Ada satu pengamen legendaris di Jalan Kaliurang Jogja. Tampilannya mirip John Lennon. Lagu yang dibawakan selalu The Beatles. Dia Adalah Pieter Lennon. Pengamen eksentrik yang sudah di jalan sejak tahun 1984.
***
“Monggo masuk, Mas Gusti,” kata John Lennon di ambang pintu rumahnya. Sebentar, kayaknya, bangun tidur tadi saya masih ada di Jogja, bukan di Liverpool. Saya juga yakin, saya tadi tidak lewat Anfield atau Goodison Park, melainkan Mandala Krida dan Lapangan Gadingan. Tak ada Royal Albert Dock di jalan, yang ada ya Terminal Jombor. Saya juga masih sadar tadi lewat TPU Kancilan Sinduharjo, bukan Grave Stone of Eleanor Rigby.
Saya yakin, ini bukan Liverpool dengan suasana depresif khas tahun 1960-an. Melainkan ini adalah Yogyakarta dengan segala kelumit upah buruh yang sedang diperjuangkan. Ini juga bukan kota pelabuhan dengan tipikal angin dingin khas North-West. Melainkan Jogja yang sedang panas-panasnya. Lantas bagaimana John Lennon bisa ada di hadapan saya dan bisa menggunakan bahasa Jawa?
“Mas Gusti?” sapanya lagi. Lamunan saya pecah. Lantas saya sadar, di hadapan saya adalah Pieter Budi Yatmo (66) atau akrab disapa Pieter Lennon. Bukan John Lennon. Memang tak ada John Lennon hari ini. Namun mari kita sambut; Pieter “Lennon” Budi Yatmo, pengamen jalanan yang menyalin rupa menjadi—salah satu dari Fab Four—orang yang paling bertanggungjawab atas British Invasion yang terjadi di Amerika medio 1960-an.
Menyambangi rumah Pieter Lennon, mengenal dirinya sebagai Pieter Budi Yatmo
Ada satu alasan yang mendorong saya untuk lancang bersua dengan Pieter Lennon (66) pada Senin (21/2/2022) di rumahnya, yakni ingin mengenalnya sebagai Pieter, bukan sebagai duplikasi John Lennon. Banyak media yang mengangkat tema tentang dirinya dan mentok membahas perihal bagaimana Pieter menggunakan gimik John Lennon. Setelah menghubungi via WhatsApp, Pieter menyetujui. “Oh, boleh saja,” begitu balasan pesannya.
Pieter Lennon baru saja pindahan ke salah satu rumah di sudut Jalan Amarta, Sardonoharjo,Ngaglik, Sleman. Dengan semangat, Pieter Lennon menjelaskan bahwa letak aquarium yang ada di teras rumah, harusnya ada di garasi. Beberapa pernak-pernik The Beatles yang berserakan, harusnya masuk lemari, dan masih banyak lagi.
Ia membuatkan saya kopi hitam yang aromanya amat kuat, namun nikmat. Lantas menawari saya rokok. Tidak seperti John Lennon yang menyukai Gauloises dan Dunhill, Pieter lebih gemar Gudang Garam Merah tipe kretek dengan isi 16 lencer. Ia duduk, bercerita banyak hal tanpa perlu saya tanya.
Obrolan yang cukup ringan namun menyenangkan tiba-tiba berhenti setelah cucu Pieter menghampiri saya dan mengulurkan tangannya yang membawa secarik kertas. “Mau beli?” kata cucu Pieter. Saya mengangguk dan tersenyum, lantas mengambil kertas itu. Cucu perempuan Pieter yang tangan kirinya sedang memegang ponsel dan memutar lagu Let It Go dari Frozen itu tersenyum kepada saya.
Pieter buru-buru berdialog dengan cucunya dan menjelaskan bahwa ia sedang ada tamu. Ia lantas menggendong cucunya dengan penuh kasih sayang, membawa ke ibunya. Ketika duduk kembali, ia banyak bercerita tentang anak laki-lakinya, Nugra. “Sedang memulai bisnis ikan koi di Bakungan. Dia juga membuka (kanal) YouTube untuk menyalurkan hobinya. Menyanyi,” kata Pieter. Ia mendukung penuh anaknya, tentu saja.
Berbeda dari Pieter yang sayang kepada anak dan cucunya, pemberitaan tentang John Lennon dan anaknya agak sedikit sumbang. John Lennon diketahui tidak dekat dengan anaknya yang bernama Julian. Bahkan, Julian pernah berkata, “Lebih banyak foto saya dan Paul (McCartney) bermain bersama pada usia itu daripada foto saya dan ayah (John Lennon).”
Di rumah Pieter Lennon, terpampang banyak piagam. Mulai dari piagam yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta, Festival Kebudayaan Yogyakarta, dan masih banyak lagi. “Saya mau kenal sama siapa saja. Miskin dan kaya, pemerintah atau orang biasa, tidak peduli. Makanya banyak kenalan,” katanya.
Tentu hal ini bertentangan dengan John Lennon yang pernah berkata bahwa ia adalah penganut teguh sosialis naluriah yang membuat dirinya selalu berselisih dengan Richard Nixon, Presiden Amerika saat itu. Itu hanya secarik beda antara Pieter dan John.
Pieter juga menunjukan kepada saya buku-buku tentang The Beatles. A Hard Day’s Write dan The Beatles (Icons of Our Time). Ia bertanya, apakah saya suka The Beatles. Saya jujur menjawab, bahwa saya suka The Beatles, namun lebih suka Queen dan Led Zeppelin. Saya tahu band-band itu pun dari bapak saya. “Tadinya bapak suka sama Beatles. Berhubung Beatles dari Liverpool, bapak tidak jadi suka karena ia Manchunian—fans Manchester United. Tidak ada hubungannya memang,” kata saya, sedang Pieter pun tertawa dengan candaan garing ala bapak saya.
Sampai tanpa sadar, satu setengah jam kami habiskan untuk mengobrol. Jam 11.45 WIB, Pieter mandi dan bersiap mencari nafkah di jalanan panjang Kaliurang. Pieter bertanya, apakah saya mau ikut rentetan kegiatannya mengamen? Saya menjawab, “dengan senang hati.” Kapan lagi, kan, nonton personel Beatles beraksi di depan Burjo Andeska dan Rumah Makan Padang Duta Minang?
Seharian mengamen bersama Pieter “Lennon” Budi Yatmo
Pieter meletakkan motornya di dekat Sop Buntut Bu Menuk, Jalan Kaliurang kilometer 7,8. Sambil menyetem gitar, prenjengan Pieter nampak mbois. Rambut dengan potongan bowl cut khas The Beatles 1965, kacamata bundar khas Lennon, baju yang dimasukkan ke dalam celana jeans, dan juga tak lupa sepatu Vans Classic Checkerboard yang nampak serasi dengan bajunya.
Pieter biasa mengamen di sekitaran Jalan Kaliurang Km. 5 di jam makan siang. Laki-laki kelahiran tahun 1955 ini sebenarnya masih kuat mengamen sampai tengah malam, namun karena PPKM dan juga menghormati aturan pemerintah, ia kini hanya mengamen sampai jam delapan malam. Jika John Lennon mengalami masa depresif Liverpool tahun 1960-an, Pieter pun mengalami hal yang sedikitnya sama di Jogja yang depresif pada tahun 2020 sampai 2022 ini.
Pieter dahulu mengamen dari rumah ke rumah. Sampai pada suatu ketika, ia sadar bahwa pengamen bukan diciptakan oleh Tuhan untuk mengganggu. Ia berpikir, bagaimana pun caranya, mengamen juga harus ada sisi menghibur untuk pendengarnya. Sejak saat itu, Pieter memutuskan untuk mengunjungi dari satu warung makan ke warung makan lainnya saja.
“Saya pakai bekal ilmu ekonomi saya dulu,” katanya. Ia juga tidak memilih untuk berdiam di satu tempat. Katanya, itu namanya monopoli dan tidak baik untuk pengamen lainnya. Bagi Pieter, konsep ekonomi yang ia pakai dan paling berguna tentu saja berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena orang yang biasanya makan, menghabiskan waktu sampai 20 menit dan kalau ditunggu, tidak efektif.
Pieter memang sempat berkuliah di Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta. Orangtuanya bahkan sempat melarang jalan apa yang Pieter pilih. Saya jadi ingat dengan kisah John Lennon yang pernah diberi tahu oleh Bibinya, Bibi Mimi. Katanya, “Gitar memang oke, John, tetapi kamu tidak bisa hidup dari itu.” Baik John maupun Pieter, kini mereka membuktikan bahwa pendapat itu salah.
Jam setengah satu siang, Pieter mulai berjalan. Dari Sop Buntut Bu Menuk, menuju ke Burjo Andeska 10. Walau sudah berumur, jalan Pieter amat cepat. Saking cepatnya, saya sampai tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Entah satir atau apa, beberapa kali ia berkata bahwa jika saya sudah capek, tunggu saja di Warung Biru, tempat ia beristirahat dan mengambil jeda makan. “Enggak capek, Mas,” kata saya sambil ngos-ngosan.
Lagu I Want to Hold Your Hand dan Ob-La-Di, Ob-La-Da jadi pilihan. Pieter memetik gitar dan memainkan harmonika dengan lincah. Penutup setelah mengamen seakan menjadi template, Pieter selalu menutup dengan kata-kata, “terima kasih bapak-ibu (atau terima kasih semuanya). I Want to Hold Your Hand dari The Beatles.” Ketika ditanya berapa penghasilan perhari, Pieter menjawab bisa untuk makan dan ditabung. Kalau ia perlu sesuatu, tinggal buka tabungan.
Selama di perjalanan, ia disapa (sekaligus menyapa) banyak orang. Bahkan tak jarang beberapa pengguna motor yang menyapa dan memanggil dirinya dengan “Lennon”. Pieter mengatakan bahwa keuntungan dari akrab dengan banyak orang, kadang diberikan kemudahan untuk menjalani hidup. Selain konsep ekonomi yang ia pegang teguh tadi, Pieter juga mengutamakan komunikasi.
“Pernah ada mahasiswa yang datang ke saya untuk minta doa supaya ia cepat lulus,” kata Pieter. Saya yang belum lulus sampai semester 14 hanya bisa menelan ludah.
“Memangnya saya dukun?” katanya sambil tertawa di bawah terik sinar matahari yang ngetang-ngetang di Jalan Kaliurang. Di sini, kata Pieter, komunikasi yang baik digunakan olehnya. Ia tak mau melukai hati siapapun karena bisa saja esok atau kelak, ia yang membutuhkan bantuan. “Saya memilih untuk menyanyi aja untuk dirinya.Biar semangat lulus,” katanya.
Badan saya sudah berkeringat, sedang Pieter Lennon masih sigap berjalan. Di Blackbone Coffee, Pieter melipir dan mampir. Di sana ia disambut oleh si pemilik kafe. Pieter dengan semringah mengatakan bahwa ia sedang diliput oleh saya. Mereka nampak akrab. Bahkan, si pemilik kafe menawarkan saya dua lencer rokok, makan siang, dan ngopi-ngopi dulu. “Sehari ikut sama Mas Pieter Lennon, saya nanti malah kenyang dan ketagihan ikut terus,” canda saya, mereka tertawa.
Komunikasi yang baik tidak hanya digunakan oleh Pieter untuk ngobrol dengan penikmat musiknya, melainkan juga untuk kompetitornya—pengamen lain. Menurut Pieter, banyak pengamen di Jalan Kaliurang sekitar Km. 5 yang datang dan meminta izinnya untuk mengamen di sana. Sampai detik ini, Pieter mengaku tidak punya catatan pernah berselisih paham dengan pengamen lainnya.
Etika mengamen juga diterapkan oleh Pieter. Menurutnya, diberi atau tidak, ia akan mengucapkan terima kasih. “Karena sedang pandemi, setidaknya senyum,” katanya dengan menggunakan masker. Namun saya tebak, ia sedang tersenyum kepada saya. Sedang kaki saya mulai nyeri ketika berjalan dari Mie Ayam Afui ke Warmindo Pelem Kuning.
Seandainya John Lennon tidak pernah ada, Pieter mau jadi apa?
Pertanyaan menarik hadir dari Riyanto dan Prabu Yudianto, penulis Susul. Mereka berkata, kalau John Lennon tidak pernah diciptakan oleh Tuhan, lantas apa jadinya dunia ini? Film Yesterday (2019) agaknya memberikan saya sebuah pencerahan atas pertanyaan itu. Film yang disutradarai oleh Danny Boyle dan ditulis oleh Richard Curtis menceritakan seumpama dunia—lebih masif dari tidak diciptakannya John Lennon—melupakan karya-karya The Beatles.
Pertanyaan tersebut lantas saya lempar kepada Pieter Lennon. “No problem,” katanya. Bagi Pieter, ia adalah fans John Lennon dan The Beatles. Walau begitu, bukan berarti ia tidak bisa suka dengan ragam musik lainnya. “Pernah satu malam penuh, saya dengerin The Rolling Stones.” Padahal, dua band ini dalam beberapa dekade terakhir selalu berselisih.
Mick Jagger kepada Zane Lowe dalam Apple Music mengatakan, “Kami memulai pertunjukan stadion di tahun 1970-an dan masih melakukannya sekarang. Itulah perbedaan besar antara kedua band ini.” Sedang Paul McCartney kepada The New Yorker juga pernah mengatakan, “I think our net was cast a bit wider than theirs.”
Seperti sebuah opera sabun yang disutradarai pentolan kedua band ini, McCartney ketika diwawancarai oleh Howard Stern di Sirius XN menyetujui sang host yang berkata bahwa Beatles lebih baik daripada Rolling Stones, walau dipungkasi oleh McCartney yang mengatakan Rolling Stones itu band yang fantastis.
Kembali ke Pieter Lennon, ia memilih damai. Para manusia hebat membuat lagu yang enak dan menyenangkan untuk didengar, dilantunkan, dan dimainkan ulang. “Tinggal kita bagaimana memandang sebuah lagu. Lantas lagu yang dibuat oleh grup itu, rasanya dan luang lingkupnya luas,” katanya.
Ya, tak ada John Lennon hari ini. Tak ada John Lennon sejak 1980 akibat lima pelor peluru dari Revolver Colt 38 special bersarang di tubuhnya. Namun tidak dengan karya dan buah pikir yang Lennon tinggalkan untuk dunia. Salah satunya adalah Pieter “Lennon” Budi Yatmo yang menjadikan John Lennon sebagai ciri khas dirinya untuk menentang medan terjal Jalan Kaliurang melalui petikan gitar dan tiup indah harmonika.
Reporter: Gusti Aditya
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Tono, Penjaga Perumahan yang Keliling Tiap Malam Beri Makan Kucing Pasar di Kota Semarang dan liputan menarik lainnya di Susul.