Yogyakarta punya kemungkinan besar untuk menjadi Jakarta dalam hal keterbukaan terhadap pendatang. Mulanya para pendatang itu kuliah di sini, betah, menikah, membangun atau membeli rumah, lalu mati dikubur di tanah.
Akan tetapi, rasanya tidak fair jika menyalahkan sesaknya Yogya hari ini hanya karena mahasiswa. Anda melupakan satu elemen maha penting, yang sejatinya ada dan sangat dekat: warung burjo.
Warung burjo, Saudara-saudara.
Sejak delapan tahun lalu—saya kuliah di Yogya mulai 2006—warung burjo sudah menjamur. Di daerah kos saya di Samirono, ada sekitar 6-7 warung burjo. Jika singgah ke daerah belakang kampus saya di Karang Malang, jumlah warung burjo lebih brutal lagi. Itu dulu, entahlah sekarang.
‘Burjo’ sendiri merupakan akronim dari bubur (ingat: bubur, bukan dubur) kacang ijo. Dengan melihat fitur linguistik generik sebuah teks, tambahan kata ‘warung’ di depan ‘burjo’, berarti warung yang menjual bubur kacang ijo. Begitu.
Sayangnya, seiring perkembangan iPhone terkini, warung burjo mutakhir justru jarang menjual bubur kacang ijo. Menu utama mereka adalah nasi telor, nasi sarden, dan indomie rebus atau goreng. Tapi sebenarnya indomie goreng itu tipu-tipu saja, sih. Untuk membuat indomie goreng pun harus tetap direbus, dan tak ada yang digoreng sama sekali. Penipu bedebah.
Untuk minuman, Anda bisa menjajal es extra joss with banana float yang banana float-nya bisa dibeli dulu terserah di mana, atau ice-tea-without-gula- yang-diaduk. Minuman tersebut akan sangat menyegarkan tenggorokan jika diminum dengan mulut terbuka. Anda bisa saja minum sambil mingkem. Tapi percuma, sebab Anda pasti terlahir dengan mulut yang tak pernah tertutup.
Nah, pertanyaannya kemudian, mengapa warung burjo begitu marak muncul di Yogyakarta bak opor ayam di musim lebaran? Sederhana saja: sebagai unit bisnis, warung burjo memang tergolong sangat menguntungkan. Dengan modal yang tidak terlalu besar, Anda bisa mendapatkan untung berlipat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dalam bukunya yang tak pernah ada, The Wealth of Nations jilid XIIIIIIIII, Adam Smith, ekonom terkemuka yang bukan merupakan saudara Cak Adam Inul itu, sejatinya pernah mencoba meramalkan bahwa warung burjo adalah simbol kapitalisme lanjut. Warung burjolah yang menjadi kantung-kantung kapitalisme di wilayah yang mayoritas merupakan basis proletariat.
2012, beberapa kali saya berbincang dengan para pemilik warung burjo. Biasanya, modal awal mereka berkisar di angka 11-12 juta rupiah. Angka tersebut sudah mencakup sewa tempat, peralatan dapur, hingga kursi dan meja, serta sisanya untuk biaya operasional tak terduga. Bisa juga untuk judi sabung ayam sebenarnya. Tapi janganlah kita bahas ini terlalu jauh.
Modal awal itu di luar gaji karyawan, bahan baku, dan segenap tetek-bengek lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan gaji dan sebagainya, sang pemilik mengeluarkan dana tujuh juta rupiah. Bisa saja lebih dan kembali digunakan untuk judi sabung ayam atau samgong, tapi semua tergantung kuasa Allah SWT.
Setelah semua siap dan roda bisnis warung burjo siap dijalankan, maka yang perlu Anda lakukan adalah mandi. Ya, mesti mandi dulu. Setelah itu pakai baju, jangan telanjang, malu sama anunya. Setelah berpakaian, barulah menunggu balik modal.
Dari semua pemilik warung burjo yang pernah saya tanyai, semua mengaku modal mereka balik setelah 3-4 bulan. Selebihnya: untung. Jika pun ada kerugian, semua bisa ditutup. Estimasinya sederhana saja, hitung berapa banyak makanan, minuman, atau rokok yang terjual dalam 30 hari. Jika, katakan, sehari terjual 40 mangkuk indomie seharga Rp.3000, maka sebulan Anda akan mendapatkan Rp.3.600.000. Itu hanya perhitungan indomie. Tinggal total saja semua yang terjual.
Dengan fakta seperti itu, maka tak usah heran jika begitu banyak juragan-juragan dari tanah Priyangan yang melakukan ekspansi kapital ke tanah Mataram. Setelah bisnis mereka menggurita, mereka kemudian membentuk federasi warung burjo, beranak pinak, dan dimulailah strategi untuk melancarkan misi selanjutnya: menghancurkan dominasi gudeg sebagai makanan khas Yogyakarta, ini penting dilakukan karena gudeg adalah simbol kuliner Yogya.
Jika gudeg telah tergantikan burjo, maka yang selanjutnya terjadi akan lebih mudah. Bahasa akan berubah, kebiasaan tinggal turut mengikuti.
Semuanya sudah jelas bukan? Lihatlah sederet kasus yang belakangan marak di Yogya. Mulai dari Cebongan, pro-kontra keistimewaan, hingga Florence Sihombing. Memangnya Anda kira mengapa kasus-kasus tersebut terjadi? Ya, guna mengalihkan isu sentralnya: kolonialisasi warung burjo.
Mungkin Anda tak menyadari , atau barangkali Anda sadar, tetapi memilih tidak percaya. Atau boleh jadi Anda sadar dan percaya sekaligus, tapi lebih memilih bungkam. Tak apa. Saya hanya berbagi informasi A1 yang jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Saya hanya mengingatkan, selanjutnya terserah Anda.
Saran saya: ingat-ingatlah satu lagu Manuk Street Preachers, band mathematic disco asal Boyolali yang legendaris itu, sebelum Anda menyepelekan kabar ini. Judul lagunya, kalau tak salah, “If You Tolerate This Your Children Will Be Next”.
Jika Anda menoleransi warung burjo terus melakukan kolonialisasi terselubung di tanah Mataram, maka tak usah bersedih jika, suatu saat, anak Anda akan menjadi yang berikutnya.
Menjadi apa?
Pengusaha burjo.