Sebuah Kedai Kopi Tanpa Gula di Kota Kecil yang Bertahan untuk Tak Mati

Kedai Kopi Tanpa Gula yang Bertahan untuk Tak Mati

Kedai Kopi Tanpa Gula yang Bertahan untuk Tak Mati

Ajik (31) bercita-cita masyarakat Purworejo, kota dimana ia berasal akan suka dengan kopi tanpa gula. Maka ia dirikan kedai kopi dengan konsep manual brew. Bertahun-bertahun kemudian ia pontang-panting menjaga idealismenya.

***

Sore hari pada 12 Juni 2021 silam, saya bertandang ke sebuah kedai kopi di Purworejo langganan saya sejak dulu. Sebulan sekali ketika pulang ke kampung halaman, saya pasti menyempatkan datang. Kalau boleh dibilang, tidak ada yang terlalu istimewa dari kedai kopi tersebut, akan tetapi karena itu adalah kedai kopi pertama yang saya tahu, pun pertama saya kunjungi di Purworejo, maka ada keterikatan emosional tersendiri antara saya dan kedai kopi tersebut.

Rutin sebulan sekali berkunjung membuat saya sedikit banyak paham bagaimana susahnya mempertahankan kedai kopi tersebut. Kadang sepi, kadang ramai, kadang tak ada pembeli, bahkan kadang tutup begitu saja. Ketika saya mengatakan ‘tutup’, artinya adalah benar-benar tutup dan tidak lagi beroperasional selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Mas Ajik (30), pemilik kedai kopi tersebut, karena berbagai alasan harus menutup kedai kopinya dan mempersiapkan perpindahan tempat selama beberapa kali.

Selama 6 tahun sejak berdiri, kedai kopi milik Mas Ajik ini suda berganti tempat 4 kali. Begitu juga dengan nama kedai, dan itulah yang membuat saya tertarik untuk mengulik lebih dalam seberapa hebat perjuangannya mempertahankan kedai kopi yang kerap berganti nama tersebut.

Memperkenalkan kopi manual brew di Purworejo sangatlah susah

Saya sampai di Hella Rookie, nama kedai kopi milik Mas Ajik, sekitar pukul 17.00 WIB. Di meja bar, saya melihat kopi daerah Puntang yang langsung saya pesan. Saya berani bilang, jika ada kopi Puntang di sebuah kedai kopi, pesanlah, dan sudah pasti hasilnya tidak akan mengecewakan.

Mas Ajik menemani saya duduk di area luar yang berhadapan langsung dengan jalan penuh pepohonan. Cuaca mendung kala itu, pun angin lembab berembus kencang berkali-kali, sehingga saya khawatir hujan badai akan melanda tak lama lagi.

Kepada saya, Mas Ajik menceritakan betapa susah membuka bisnis kedai kopi di Purworejo, terlebih belum ada kedai kopi seperti yang ia buka. “Bisa dibilang, Rookie (nama kedai kopi pertama kali) adalah kedai kopi yang mengusung konsep manual brew pertama di Purworejo,” tuturnya.

Waktu itu Ajik masih sangat idealis, bahwa ngopi itu ya harus seperti yang ada di pikiran saya. Tanpa gula. Dulu saya ingin semua orang di Purworejo menikmati kopi seperti bagaimana saya menikmati kopi.”

Mas Ajik membuka kedai kopi pada tahun 2015. Dan ya, industri kopi pada tahun itu memang sedang romantis-romantisnya, dan banyak bermunculan orang idealis tentang bagaimana kopi harus diminum. Pun saya pada tahun-tahun tersebut sebagai barista saya adalah salah satu dari orang idealis itu.

“Ternyata pasarnya susah. Banyak yang bilang kopi saya tidak enak. Banyak yang pesan dan tidak dihabiskan. Bahkan banyak yang terheran-heran kok kopi dihargai semahal itu,” kenang Mas Ajik.

Mas Ajik menjual kopi manual brew seharga 14 ribu rupiah. Sekalipun harga tersebut sangat murah jika dibandingkan harga pasaran di Jogja yang sudah di atas dua puluh ribuan, tetapi di kota Purworejo, harga empat belas ribu untuk secangkir kopi termasuk sangat mahal.

“Budaya ngopinya belum seperti yang saya bayangkan, dan memang itu tantangan saya.”

Mas Ajik juga mengklaim, tidak masalah orang mau menghina kopi buatannya, tetapi suatu ketika orang yang menghina itu akan sadar bahwa kopi bikinannya memang layak dinikmati.

“Suatu saat jika orang itu pergi ke luar kota, minum kopi di kedai mana gitu, dan ternyata rasanya seperti kopi bikinan saya, pasti orang itu bakal mikir, ‘Oh, berarti kopi di Rookie itu bukannya enggak enak, tetapi memang seperti itu rasanya.’ Pokoknya kelak orang bakal tahu kalau kopi bikinan saya itu memang ada penikmatnya.”

Kopi saya datang, dan obrolan saya dengan Mas Ajik terjeda beberapa saat karena saya sibuk menyeruput kopi yang tersaji beberapa kali. Sementara saya menikmati kopi, Mas Ajik menyulut rokok dan menyesapnya dalam-dalam. Kami larut dalam aktivitas masing-masing, sementara angin dingin masih berembus beberapa kali.

“Menemukan pasar penikmat kopi di kota ini sangat susah,” ujar Mas Ajik setelah menyesap dalam-dalam rokoknya.

“Saya harus membimbing pengunjung dari nol. Mengedukasi mereka bahwa kopi itu seperti apa. Di sisi lain, saya juga harus membimbing karyawan saya. Dan ketika pasar sudah mulai terbentuk, sialnya, kontrak kios habis. Setahun saya mengedukasi pelanggan yang tidak seberapa banyak itu, dan sudah harus berurusan dengan memperpanjang masa sewa.”

Mas Ajik akhirnya mengkompromikan antara realitas dan idealismenya saat berjualan kopi di kota kecil.

Akan tetapi Mas Ajik tidak memperpanjang sewa kios tersebut. Ia merasa harus berpindah ke tempat yang lebih besar agar mampu menampung pasar yang juga jauh lebih besar. “Di kios dulu itu sempit sekali. Hanya mampu menampung sepuluh orang di indoor. Sangat tidak bisa diandalkan. Makanya, daripada bertahan di sana, saya memutuskan untuk pindah. Dan perpindahan adalah masalah besar lainnya.”

Perpindahan bukanlah hal mudah. Bukan perkara memindahkan perabotan dan pernak-pernik kedai kopi dari satu kios ke kios lain, melainkan juga pertaruhan apakah pasarnya akan hancur atau tidak.

“Saya pindah ke Jalan Dewi sartika yang notabennya agak masuk ke daerah dalam. Tidak seperti yang di dekat SMP N 6 di dekat alun-alun yang pasti dilalui banyak orang. Jalan Dewi Sartika itu sepi. Siangnya sepi, apalagi kalau malam. Saya pindah ke sana karena yang disewakan itu rumah dan harganya murah. Per tahun hanya delapan juta rupiah. Ya sudah, saya langsung sewa dua tahun.”

Dan seperti yang dikhawatirkan Mas Ajik terkait perpindahan, pasarnya hancur. “Saya seperti benar-benar baru buka kedai kopi pertama kali. Pasarnya hancur. Saya sudah mengumumkan di Instagram terkait perpindahan, tetapi pada tahun itu, kebanyakan orang Purworejo tidak peduli dengan pengumuman di akun medsos, apalagi hanya akun kedai kopi.”

Mas Ajik benar-benar mengulang semuanya dari awal, termasuk bagaimana ia harus mengedukasi pelanggan-pelanggan barunya tentang kopi yang ia jual. “Anak-anak muda di kota ini suka nongkrong di kafe. Kafe di Purworejo ya banyak, tetapi kebanyakan tidak menjual kopi manual brew. Dan ekspektasi pelanggan yang datang ke Rookie ya tidak untuk ngopi. Makanya saya harus mengedukasi lebih lama lagi, sama seperti yang dulu saya lakukan,” tutur pria yang pernah mengambil kelas barista di Jogja tersebut.

“Yang bisa saya harapkan sebenarnya adalah dari anak-anak muda yang merantau ke Jogja untuk kuliah. Mereka di Jogja pasti tahu kultur ngopi, dan ketika pulang ke kota ini entah seminggu sekali atau sebulan sekali, dan tahu kalau ada Rookie, mereka pasti ke sini untuk ngopi. Nah, mereka itu sebenarnya pasar utama saya. Dan dari mereka, biasanya muncul pelanggan-pelanggan baru yang penasaran dengan Rookie.” Seiring berjalannya waktu, Rookie mulai dikenal sebagai tempat ngopi yang ‘sesungguhnya’ di Purworejo.

Akan tetapi ada bumerang di sana, dan Mas Ajik jelas menyadarinya. “Sialannya, pasar saya menjadi terlalu spesifik. Rookie menjadi terkenal sebagai tempat ngopi yang benar-benar kopi, sehingga pasar saya justru terbatas. Sebagian besar yang ngopi adalah laki-laki. Iya, saya punya minuman yang bukan kopi untuk menyasar perempuan, tetapi karena sebagian besar yang nongkrong di Rookie itu laki-laki, saya rasa pelanggan perempuan menjadi segan untuk datang. Rookie menjadi terlalu manly, menurut saya.”

Pasar yang terlalu spesifik itu akhirnya merugikan kedai kopi milik Mas Ajik, terlebih setelah munculnya kedai kopi lain sebagai kompetitor. “Setelah pasar ngopi terbentuk, tiba-tiba bermunculan banyak kedai kopi. Itu, kios lama yang saya pakai juga menjadi kedai kopi. Mereka semua tidak perlu repot-repot mengedukasi pelanggan, karena saya sudah melakukan itu terlebih dahulu. Dan orang-orang di Purworejo itu kalau ada tempat baru, pasti latah ingin mencoba. Mau tidak mau, saya pasti kehilangan banyak pelanggan, dan itu bisa berbulan-bulan.”

Pun setelah berbulan-bulan, ada pula pelanggan yang tidak kembali ke Rookie dan memilih bertahan di kedai kopi lain. “Pasarnya sedikit, dan itu masih harus tarik-tarikan dengan kedai kopi lain. Di sisi lain, saya kesulitan mendapatkan pelanggan baru karena Rookie sudah identik dengan tempat ngopi. Saya tidak bisa mendapat pasar dari mereka yang ingin nongkrong sambil minum milkshake atau semacamnya meski saya jual juga. Ya itu tadi, sudah melekat citra kopi di Rookie.”

Mengikis idealisme, berkompromi dengan realita

Dengan pasar yang semakin menipis, akhirnya Mas Ajik mulai terpikir untuk mengurangi idealismenya. “Saya berpikir, kalau begini terus pasti habis pelanggannya. Di sisi lain, mengubah citra Rookie itu juga susah. Makanya, kepikiran untuk mengurangi idealisme juga terbentur dengan citra Rookie yang sudah terbentuk.”

Terlepas dari masalah citra Rookie, masalah lain akhirnya datang. Pemilik rumah yang disewa Mas Ajik memutuskan untuk menjual rumah beserta tanahnya ketika masa sewa dua tahun Mas Ajik berakhir. “Wah, waktu itu saya semakin bingung harus bagaimana.”

Mas Ajik menjelaskan, ia bernegosiasi panjang untuk dispensasi pemakaian rumah, dan ia bisa bertahan enam bulan pasca-berakhirnya sewa. “Setelah itu, sambil pusing mikir harus bagaimana nanti, saya temui orang yang sudah beli rumah. Saya memohon ke beliau agar diizinkan memakai rumah itu selama beberapa waktu. Jadinya, saya bertahan hampir satu tahun setelah berakhirnya sewa.”

Dan masa keterpurukan datang setelah itu. “Saya tidak tahu harus bagaimana. Rookie benar-benar habis setelah tidak bisa menggunakan rumah itu lagi. Banyak sebenarnya yang menawari kerja sama buat buka di kios mereka, tetapi tempatnya jauh dari kota dan tidak saya ambil.”

Mas Ajik akhirnya menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempersiapkan strategi baru, dan butuh berbulan-bulan lagi untuk mengeksekusi strateginya. “Bisa dibilang itu adalah masa paling berat. Waktu itu kios di Purworejo harga sewa per tahunnya sudah di atas dua puluh juta. Itu masih harus renovasi ini itu. Biaya yang harus saya keluarkan tidak sedikit. Dan belum tentu nanti biaya itu akan kembali. Pun harus memikirkan bagaimana caranya membuka pasar lagi dari awal.”

Pada bulan-bulan tersebut, suara-suara yang meminta Mas Ajik untuk meninggalkan Rookie dan bekerja dengan pendapatan tetap muncul dari mana-mana. “Apalagi harus menghidupi anak dan istri juga. Makanya banyak yang meminta saya untuk bekerja saja. Pun saya beberapa kali tergoda. Ya gimana nggak tergoda, saya sudah mencoba banyak strategi, mengeluarkan uang banyak, dan memperjuangkan Rookie, tetapi selalu gagal. Dengan keadaan seperti itu, menyerah dari bisnis dan memilih bekerja tampak sangat masuk akal.”

Kedai Kopi Hella Rookie yang kini tak lagi hanya menjual kopi saja.

Kekhawatiran bahwa semua usaha Mas Ajik hanya akan menjadi kesia-siaan tampak begitu nyata dan sangat mengerikan. Akan tetapi ada satu hal yang membuat Mas Ajik untuk kembali mencoba menjalankan kedai kopinya, yaitu rasa sia-sia tersebut.

“Khawatir kalau semua ini akan sia-sia, makanya saya justru lanjut terus. Daripada sia-sia dan menyesal, ya sudah saya lanjutkan saja. Toh mau diapakan alat-alatnya kalau saya menyerah? Makanya, saya mulai putar otak lagi untuk memulai kembali bisnis kopi.”

Saya ingat masa-masa itu. Ketika saya pulang kampung dan mencari-cari di mana letak Rookie setelah tidak lagi menggunakan rumah di Jalan Dewi Sartika. DM maupun pesan WhatsApp yang saya kirimkan ke Mas Ajik hanya terkirim, tidak dibaca, pun tidak dibalas. Yang saya pikirkan saat itu adalah bahwa Mas Ajik memutuskan untuk tidak membuka kembali kedai kopinya, sehingga berbulan-bulan kemudian saya memilih untuk menyinggahi kedai kopi lain di Purworejo.

Sampai suatu ketika, beberapa bulan kemudian, saya melintas di Jl Urip Sumoharjo dan melihat ada kedai kopi di sebuah kios. Merasa tidak asing dengan peralatan di kedai kopi tersebut, saya memutuskan mampir, dan ternyata Mas Ajik ada di kedai kopi tersebut.

Ya, Mas Ajik belum habis. Ia masih memutuskan bangkit, meski di perpindahannya waktu itu, ia membuang nama Rookie dan menggunakan nama Smith.

“Di Smith juga tidak mudah,” kenang Mas Ajik. “Itu kios biasa yang tidak bisa banyak saya ubah. Parkirnya susah. Areanya juga sumpek. Kalau sudah ada yang merokok di dalam, waduh, pasti akan pengap sekali. Selain itu, sekali lagi saya harus mencari pasar dari awal.”

Dan mencari pasar untuk Smith jauh lebih susah daripada sebelumnya. Lokasi yang lumayan jauh dari alun-alun kota menjadi masalah tersendiri. “Hanya ramai jika mahasiswa-mahasiswa yang dari Jogja pulang kampung. Selebihnya selalu sepi, malahan sering kosong tanpa pembeli.”

Benar. Selama saya sering berkunjung ke Smith, hampir selalu tidak ada pelanggan selain saya. Itu pun kalau saya berkunjung selalu menghabiskan waktu berjam-jam, dan selama berjam-jam itu juga hampir tidak ada pengunjung.

“Selama di Smith itu bukannya membangkitkan semangat, justru menghancurkan semangat. Padahal sudah berusaha nyari uang untuk bangkit lagi, giliran sudah bisa bangkit, ternyata hasilnya jauh lebih mengenaskan. Selama buka kedai kopi, di Smith adalah masa paling suram.”

Masa suram itu bertahan selama satu tahun, dan bukannya berakhir, masa itu justru berlanjut lebih parah karena kios yang disewa Mas Ajik ternyata dijual pemiliknya. “Dijual, dan saya harus pindah. Harus mengulang masa-masa menyebalkan lagi.”

Mas Ajik mengatakan bahwa jika ia ingin bangkit sekali lagi, ia benar-benar harus dengan strategi baru yang harus berhasil. Berbulan-bulan, sambil mencoba mengumpulkan uang untuk bangkit nanti, ia terus memikirkan strategi apa yang paling cocok. “Pokoknya nyari uang lah. Gimana nyarinya, pokoknya nyari.”

Ia enggan memberitahu saya bagaimana proses ia mengumpulkan uang. “Sambil nyari, saya juga mikir mau nyewa tempat seperti apa dan di mana. Sewa kios sudah mahal-mahal. Itu juga kalau hasilnya seperti Smith, malah jadi kerugian yang lain. Makanya saya lama memikirkan konsep.”

Akhirnya setelah mempertimbangkan baik-baik, Mas Ajik memutuskan untuk menyewa lahan kosong di pinggir Jl Mayjen Sutoyo. Di lahan itulah ia membangun bangunan semi permanen untuk kedai kopinya. Ia mendesain semuanya seorang diri dan merasa lebih bebas mengatur tata letak sesuai keinginannya.

“Saya bangunnya membutuhkan waktu tiga bulan. Dan kali ini konsep yang saya usung tidak mau terlalu spesifik ke kopi. Saya jualan gelato juga di sini. Begitu semuanya sudah siap dan buka, ternyata peminatnya sangat banyak. Langsung ramai di hari pertama buka, dan ternyata saya bisa mendapat pelanggan perempuan. Malahan lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Jauh berbeda daripada yang sebelum-sebelumnya.”

Per tahun 2021, sudah enam tahun sejak Mas Ajik berbisnis. Selama itu, ia merasa bahwa di tempatnya yang paling baru, yang ia berinama Hella Rookie, adalah tempat paling ideal. Ideal dari lokasi, ideal dari desain tempat, pun ideal dari pemasukan. “Ya, akhirnya saya merasa bahwa di sinilah tempat terbaik. Dan saya akan mencoba bertahan di sini.”

Pun di Hella Rookie, Mas Ajik benar-benar mengikis idealismenya yang dulu begitu kuat. Perjalanan selama enam tahun membuatnya sadar bahwa jika ia terus memuja idealismenya, mungkin ia akan kembali jatuh berulang kali. “Kalau saya tetap mengusung konsep ‘kopi banget’ di sini, mungkin tidak akan seramai ini.”

Enggan membuka cabang dan fokus di satu tempat

Mas Ajik juga mengatakan kepada saya bahwa ia enggan membuka cabang di tempat lain. Ia memilih untuk mengembangkan tempatnya saat ini.

Veronika dan Feby, dua pengunjung di Hella Rookie.

“Saya merasa harus menyempurnakan tempat ini. Membuatnya menjadi bangunan permanen, mungkin? Juga memikirkan cara agar kalau siang tidak terlalu banjir cahaya matahari. Juga menambah pepohonan di area belakang,” kata Mas Ajik.

Dengan semua rencana itu, maka membuka cabang sangat jauh dari targetnya. Tidak di Purworejo, pun tidak di kota lain. Malahan, menurutnya akan sangat berbahaya jika buka cabang di kota lain yang notabennya tidak ketahui keadaannya seperti apa.

Kedai kopi Mas Ajik semakin ramai. Dan dari keramaian itu, saya tertarik untuk meminta pendapat mereka tentang kedai kopi tersebut. Setelah memilah mana pelanggan yang tidak terlalu sibuk, saya putuskan untuk menemui dua perempuan yang kebetulan duduk di belakang saya. Mereka adalah Veronika (20) dan Febby (21), dua perempuan asli Purworejo yang saat ini tengah menempuh pendidikan tingi di kota Jogja.

Veronika, perempuan berambut pendek dan berkacamata itu, mengatakan bahwa ia memang beberapa kali berkunjung ke sana ketika pulang kampung. Tidak ada alasan khusus kenapa ia berkunjung, sebatas karena dekat dari rumah dan sering melintasi area sana.

“Kalau dari segi tempat, lumayan bagus sih. Beda dari kedai kopi lainnya yang menyewa di ruko,” ujar Veronika.

Feby menambahkan bahwa harga juga menjadi faktor utama kenapa ia berkunjung ke sana. “Di Purworejo harganya mulai mahal-mahal per menu. Di sini yang masih menjual kopi di bawah dua puluh ribu. Dan makanan ringannya lumayan lengkap juga. Malahan dulu sempat ada roti john, meski sekarang sudah tidak ada.”

Veronika mengatakan, bahwa sudah semakin banyak kedai kopi di Purworejo, hanya saja sedikit yang membuatnya ingin berkunjung. Ia memiliki budaya ngopi di Jogja, dan sedikit banyak ia memiliki standar tertentu.

“Hella Rookie sebenarnya jauh dari standar kalau dibandingkan dengan Jogja. Itu sudah jelas. Tetapi setidaknya ya, bisa dibilang paling lumayan dari kebanyakan yang ada di Purworejo, sih. Meski ya itu tadi, saya tidak mengkhususkan harus ke kedai kopi mana, tetapi kalau memang harus bilang mana yang paling lumayan, di sini bisa dibilang yang paling lumayan itu.”

***

Sebelum pulang saya sempatkan bertanya ke Mas Ajik. Apakah Mas Ajik mau menghilangkan semua peralatan kopi di barnya dan menggantinya dengan peralatan jus atau milkshake atau peralatan penunjang minuman lain yang lebih proper, ia tampak bimbang.

“Jujur, peminum kopinya menjadi sangat berkurang. Bahkan kalau menu kopi hilang semua, saya yakin pemasukan tetap stabil. Tetapi bagaimana, ya?” ia tampak menimbang-nimbang.

“Saya tidak mau peralatan kopi itu hilang,” ia melanjutkan. “Bisa dibilang, peralatan kopi itu adalah sisa-sisa idealisme yang saya miliki. Biarkan tetap di sana, sebatas sebagai pengingat jika saya masih memiliki idealisme itu.”

BACA JUGA Kopi Lain Boleh Mahal, Maringopi Tetap Bayar Seikhlasnya dan artikel SUSUL lainnya.

Exit mobile version