Toko Buku Sari Ilmu atau dulu dikenal dengan Toko Hien Hoo Sing di Yogyakarta tinggal menunggu waktu untuk mati. Pemiliknya hanya menanti hingga buku yang ada saat ini terjual habis sebelum ia menutupnya.
***
Toko buku tertua di Yogyakarta ini kiranya akan menyusul toko buku legendaris lainnya di Yogyakarta, Toko Buku Gunung Agung yang lebih dulu gulung tikar. Toko Buku Sari Ilmu pernah mewarnai dunia literasi di Yogya, jauh sebelum kawasan Shopping Centre menjadi jujugan mencari buku.
Dewi Kurniawati (53) masih mengingat dengan jelas pengalamannya di tahun 1975 saat masih berusia 7 tahun. Ia dan kakaknya diajak papa dan mamanya naik becak ke Toko Buku Sari Ilmu di Malioboro. “Saya selalu minta mama saya untuk membelikan buku cerita,” kata Dewi, ibu satu anak yang kini tinggal di kawasan Sleman.
Tahun itu, orang tuanya masih kontrak rumah di kawasan Nagan Lor. Sekitar 4 kilometer dari Toko Buku Sari Ilmu. Ia dan kakaknya bisa menghabiskan waktu dua jam sendiri untuk mencari buku yang mereka inginkan.
“Ah, jadi kangen Papa,” ujar Dewi yang raut wajahnya berubah menjadi sendu. Pasalnya, baru empat puluh hari yang lalu, papanya pergi menghadap Tuhan. Dewi terdiam sebentar, sebelum melanjutkan ceritanya. Dewi dan kakaknya memang diberi kesempatan untuk membeli masing-masing satu buku cerita setiap minggunya.
Kata Dewi, ia lebih suka buku cerita rakyat atau buku cerita klasik. Namun, Kakaknya lebih suka buku tentang sejarah, contohnya sejarah penemuan telepon atau sejarah mesin uap.
Bukan hanya buku cerita yang bisa dibeli di Toko Buku Sari Ilmu, melainkan juga alat tulis dan buku pelajaran. “Lengkap banget, bahkan mainan anak-anak sampai alat olahraga pun ada,” ujar Dewi yang pernah membeli mainan Ludo dan raket badminton di Sari Ilmu.
Rutinitas membeli buku setiap Hari Minggu membuat Dewi dapat mewujudkan cita-citanya mempunyai perpustakaan mini. “Karena sering beli buku, jadi serinya lengkap,” ujar Dewi. Ia dan kakaknya pun mengelola perpustakaan mini itu dan meminjamkan buku pada teman-temannya. Tawa Dewi lepas tatkala mengingat banyak buku yang berakhir hilang, rusak, dan tidak pernah kembali lagi.
Dari sekian banyak buku yang pernah dibeli di Toko Buku Sari Ilmu rupanya masih ada satu yang tersimpan hingga sekarang. Buku berjudul Robinhood itu masih ada di lemarinya. ”Ini bukunya, ya memang sudah tidak sebagus dulu,” ujar Dewi sembari menunjukkan buku bersampul putih yang sudah berubah warna menjadi kecokelatan.
“Kalau diingat, banyak kenangan di Hien Hoo Sing,” ujar Dewi. Sayang, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Dewi memang sudah jarang berkunjung dan membeli buku di Hien Hoo Sing. Meskipun demikian, pada anaknya, Dewi tetap memperkenalkan toko buku yang bersejarah dalam hidupnya itu. Kata Dewi, beberapa kali ia juga mengajak anaknya ke Hien Hoo Sing untuk membeli buku sekaligus mengingat kenangannya empat puluh enam tahun yang lalu.
Kenangan mencari kartu pos
Ayu Wijayanto (45), ibu rumah tangga yang dua anaknya saat ini menginjak bangku SMA juga punya kenangan dengan Toko Buku Sari Ilmu. Lewat media sosial, Ayu menceritakan masa kecilnya di tahun 1980-an.
Ayahnya seorang pegawai yang sering berpindah-pindah tugas. Namun, Ayu dan Ibunya menetap di Yogyakarta. “Saat itu, komunikasi masih sulit,” ungkap Ayu memunculkan memori masa kecilnya. Belum adanya telepon genggam, membuat komunikasi hanya sebatas telepon umum di wartel dan surat-menyurat. Seingat Ayu, telepon umum harganya lebih mahal dibandingkan surat-menyurat. Karena itu, untuk berkomunikasi dengan ayahnya, Ayu memilih menulis di postcard atau kartu pos.
“Waktu itu umur delapan tahun, setelah tulis di postcard, biasanya ke kantor pos untuk kirim ke Ayah,” ungkap Ayu. Demi bisa berkirim surat dengan Ayahnya, satu minggu sekali, Ayu dan Ibunya pergi ke Toko Buku Sari Ilmu untuk membeli postcard.
Pergi ke toko itu, bagi Ayu selalu menyenangkan. “Karena lengkap, jadi beli alat tulis, beli buku sekolah, beli mainan, semuanya ada,” ungkap Ayu tertawa. Namun, yang paling menyenangkan adalah saat ia bisa memilih-milih postcard yang dipajang pada rangka besi berputar.
Alih-alih hanya membeli satu, biasanya Ayu meminta lima lembar sekaligus pada Ibunya. Rupanya, tidak semua postcard yang dibeli di Sari Ilmu dikirimkan pada Ayahnya. Ia menyisakan satu atau dua lembar untuk disimpan sebagai koleksi.
“Gambarnya itu bagus-bagus, ada yang bergambar Jogja juga,” ungkap Ayu. Ternyata, kebiasaan membeli dan menyimpan postcard itu masih bertahan hingga sekarang. Ayu mengatakan tempat langganannya membeli postcard masih sama, Toko Buku Sari Ilmu.
Hien Hoo Sing, pelopor penerbit buku pelajaran dan toko buku tertua di Jogja
Setelah minum secangkir kopi, saya beranjak menyusuri pedestrian Malioboro ditemani gerimis kecil. Mendengar kenangan dari warga Jogja tentang Hien Hoo Sing atau Toko Buku Sari Ilmu membuat saya ingin singgah barang sejenak. Takjub rasanya, di tengah hiruk-pikuk modernisasi Malioboro, ada sebuah toko buku lama yang masih ada..
Hien Hoo Sing atau yang sekarang di kenal dengan Toko Buku Sari Ilmu ini berada di Jalan Malioboro No. 117, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta.
Memasuki Toko Buku Sari Ilmu, pengunjung akan disuguhi nuansa masa lalu. Rak-rak kayu berwarna cokelat menjulang tinggi. Beberapa rak di bagian atas terdapat tulisan dari papan plastik yang diletakkan untuk menjadi penanda tema buku yang tersusun di bawahnya. Sisanya, penanda tema buku tergantung di langi-langit toko. Misalnya saja, sebuah papan plastik berwarna kuning yang menandakan buku di rak bawahnya merupakan buku-buku bertemakan peternakan.
Mojok.co berkesempatan bertemu dengan pemilik Hien Hoo Sing. Beliau adalah Yohanes Slamet Sugianto (60), generasi kedua pendiri Toko Buku Sari Ilmu. Menurut sejarah yang didapatkan Pak Sugianto dari orang tuanya, Hien Hoo Sing berdiri sekitar tahun 1950. “Tapi jika ditanya pastinya juga tidak tahu, karena saat toko buku ini berdiri, saya belum lahir,” ungkap Pak Sugianto tertawa.
Pak Sugianto menceritakan, dulu, orang tua dari ibunya, punya rumah di Jalan Gang Lor No. 17. Rumah itu juga berfungsi sebagai tempat usaha toko besi dan bahan bangunan. Saat itu, Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda akan merdeka. Setelah Belanda kalah dari Jepang, orang-orang Belanda mulai kembali ke kampung halamannya.
Banyak barang yang kemudian di buang oleh orang-orang Belanda itu karena dianggap tidak terpakai lagi dan tidak mungkin dibawa serta ke Belanda. Karena itu, toko besi yang dikelola oleh orang tua dari Ibu Pak Sugianto turut menampung buku-buku bekas miik orang Belanda.
Tidak hanya itu, orang tua dari Ibu Pak Sugianto juga membuka usaha penerbitan buku. Pada tahun 1941, orang tua Pak Sugianto menikah dan pindah di Jalan Malioboro No. 171. “Menjual buku-buku bekas milik orang-orang Belanda dan melanjutkan usaha penerbitan buku,” ujar Pak Sugianto yang punya latar belakang sebagai guru. Rupanya, peminat buku di masa itu sangat banyak. Bahkan, buku-buku bekas milik orang-orang Belanda sudah hampir laku terjual seluruhnya.
Hien Hoo Sing merupakan toko buku tertua di Jogja. Bukan itu saja, Hien Hoo Sing juga pelopor penerbitan buku pelajaran untuk anak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. “Saat itu, belum ada penerbit yang mencetak buku pelajaran,” ungkap Pak Sugianto yang pernah mengajar di Bandung dan Flores sebelum kembali ke Yogya dan mengurus Sari Ilmu. Kata orang tuanya, setelah Hien Hoo Sing mencetak buku-buku pelajaran, banyak daerah di Indonesia yang antre untuk memesan. Bahkan, hampir ribuan jumlahnya.
Tidak hanya buku pelajaran umum yang diterbitkan oleh Hien Hoo Sing. Melainkan, buku-buku untuk belajar bahasa daerah. Salah satunya adalah buku untuk belajar Bahasa Jawa dan menulis Hanacaraka. “Seperti ini contoh bukunya,” ungkap Pak Sugianto sembari menunjukkan setumpuk buku terbitan dari Hien Hoo Sing.
Rupanya, buku terbitan Hien Hoo Sing yang ditunjukkan pada saya bukan merupakan simpanan masa lalu, melainkan buku bekas yang dibeli oleh Pak Sugianto. “Orang tua saya tidak meninggalkan arsip tentang usaha penerbitan Hien Hoo Sing,” ujar Pak Sugianto yang kemudian berselancar di platform jual beli online untuk mengumpulkan buku-buku yang sudah tersebar itu.
Berganti nama karena kebijakan Pak Harto
Hien Hoo Sing berganti nama menjadi Toko Buku Sari Ilmu sekitar tahun 1970. Saat itu, Pak Harto menjadi presiden. “Toko-toko yang menggunakan nama Tionghoa disuruh untuk berganti nama,” ungkap Pak Sugianto mengingat. Pemilihan nama Toko Buku Sari Ilmu pun dilakukan oleh orang tua dan kakaknya.
Pada tahun 1975, Toko Buku Sari Ilmu pindah untuk ketiga kalinya menuju Jalan Malioboro No. 117. Sati Ilmu berkembang menjadi toko buku paling terkenal di Jogja. Saat itu, toko buku belum sebanyak sekarang. Hanya ada dua toko buku besar, yaitu Toko Buku Sari Ilmu dan Toko Buku Gunung Agung yang terletak di dekat Tugu Jogja dan sekarang telah berubah menjadi kafe.
Sisanya hanya toko buku kecil, seperti yang ada di Jalan Mangkubumi dan Jalan Kleringan. “Saat itu, Shopping Center belum menjadi kumpulan lapak buku seperti sekarang ini, masih berupa pusat perbelanjaan kecil dan bioskop,” ungkap Pak Sugianto.
Pak Sugianto mengulum senyum. “Jadi ingat sekitar tahun 1980,” ujar Pak Sugianto. Saat itu, sedang ramai-ramainya. Setiap akan memasuki tahun ajaran baru, anak-anak ditemani orang tuanya datang ke Toko Buku Sari Ilmu untuk membeli alat tulis dan buku pelajaran.
Memasuki tahun 1990, Toko Buku Sari Ilmu tidak lagi membuka usaha penerbitan. Mulai tahun itu yang dijalankan hanya usaha toko buku dan alat tulis. Enam tahun kemudian, Ibu Pak Sugianto meninggal dunia. Dari situlah Toko Buku Sari Ilmu dibagi menjadi dua kepemilikan dan dipisahkan oleh tembok di tengahnya. Begitu pula dengan barang-barang yang ada di dalamnya. Pak Sugianto tetap mempertahankan Toko Buku Sari Ilmu sebagai toko buku. Sedangkan, kakaknya memilih menjual sisa rak dan buku lalu menekuni usaha tekstil.
Pada tahun yang sama, 1997, Toko Buku Sari Ilmu kembali mendulang pundi rupiah melalui komik-komik Jepang yang meledak di pasaran Indonesia. “Itu sangat luar biasa,” ungkap Pak Sugianto. Pasalnya, banyak orang yang kemudian datang ke Sari Ilmu untuk membeli komik Jepang dalam jumlah banyak.
Mereka yang membeli kemudian membuka taman bacaan dan menyewakan komik-komik Jepang itu. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2000 ketika buku Harry Potter edisi Bahasa Indonesia mulai diluncurkan. Banyak orang yang datang ke tokonya untuk membeli buku Harry Potter.
Masa kejayaan itu pun bertahan sampai tahun 2010. Masa itu teknologi sudah semakin canggih. Orang dapat dengan mudah mengakses internet untuk membaca buku digital ataupun berbelanja buku tanpa perlu lagi berkunjung ke toko buku.
Toko Buku Sari Ilmu yang berusaha bangkit
Tahun 2010, beberapa toko buku lama di Yogya mulai tutup. Sari Ilmu berusaha bertahan di tengah gempuran digitalisasi dan munculnya toko buku modern. Meski demikian, tetap ada yang berubah.
Masih di tahun 2010, Toko Buku Sari Ilmu sudah berhenti menjual buku pelajaran. Pasalnya, sistem pembelajaran mulai bergeser. Penerbit lebih memilih untuk mendistribusikan buku pelajaran langsung di sekolah-sekolah. Akibatnya, siswa-siswi bisa mendapatkan buku pelajaran dengan cara membeli di sekolah, tanpa perlu mengunjungi toko buku sebagai perantaranya.
“Kurikulum berubah,” ungkap Sugianto. Seperti momok yang menakutkan, kurikulum yang berubah membuat buku pelajaran ikut berubah. Buku pelajaran yang belum laku pun sudah tidak bisa digunakan lagi. Alhasil, buku pelajaran yang tersisa hanya dapat dijual ke tukang loak kiloan dan menanggung rugi.
Toko Buku Sari Ilmu semakin merosot seiring dengan komik Jepang yang mulai redup di pasaran. Satu persatu taman bacaan tutup karena tidak ada yang menyewa. Hal itu berdampak pada menurunnya pembeli komik Jepang di Sari Ilmu.
Keterbatasan pengetahuan rupanya menjadi alasan Pak Sugianto untuk terus bertahan dalam usaha toko buku dan alat tulis. “Hanya tahu dunia buku, makanya tetap dilanjutkan,” ungkap Pak Sugianto tersenyum tipis.
Meskipun begitu, ia merasa tidak bisa apabila hanya mengandalkan usaha toko buku dan alat tulis yang omsetnya sedikit. Karena itu, Pak Sugianto mencoba peruntungan dengan menambahkan dagangan seperti kaos, cendera mata, dan oleh-oleh makanan Khas Jogja. “Misalnya orang membeli, jika kaos, cendera mata, dan oleh-oleh, orang bisa membeli lebih dari satu. Namun, jika buku, pasti setiap satu judul, orang hanya akan membeli satu,” ungkap Pak Sugianto.
Menunggu pembeli terakhir
Di balik perjalanan yang sudah dilalui oleh Pak Sugianto, ia bersyukur karena nama Toko Buku Sari Ilmu atau Hien Hoo Sing dikenal oleh masyarakat luas sebagai salah satu toko buku legendaris di Jogja. Bagaimanapun, tokonya pernah punya andil dalam dunia literasi di Yogya. Sampai saat ini, masih ada beberapa pelanggan lama yang datang. Para pelanggan lama itu akan datang satu bulan sekali atau bahkan satu tahun sekali.
Salah satu tokoh yang pernah menjadi pelanggan tetap Hien Hoo Sing adalah Almarhum Rachmat Djoko Pradopo, seorang sastrawan Indonesia yang juga guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Menurut cerita Pak Sugianto, Almarhum Rachmat Djoko Pradopo ini semasa hidupnya rutin datang ke Toko Buku Sari Ilmu setiap satu bulan sekali untuk membeli buku.
Kenangan yang terukir di Toko Buku Sari Ilmu memang belum cukup untuk membuat toko buku ini tetap bertahan. “Sudah tidak mengambil buku di penerbit sejak tiga tahun yang lalu,” ungkap Pak Sugianto dengan nada yang terdengar sedih. Pasalnya, sekarang ini, Pak Sugianto hanya tinggal menunggu waktu mempertahankan Toko Buku Sari Ilmu hingga buku yang masih tersisa dapat terjual habis.
Buku yang masih tersisa ada bermacam-macam. “Komik, novel, buku agama, buku psikologi, buku peternakan, buku kejawen, buku karawitan, dan masih banyak lagi,” ungkap Pak Sugianto. Pak Sugianto pun tidak menampik bahwa beberapa kali orang yang mencari buku-buku lawas, bisa menemukan buku itu di Sari Ilmu.
Bahkan Pak Sugianto juga memasarkannya di platform jual beli online. “Memang sudah sedikit yang datang ke Hien Hoo Sing,” ungkap Pak Sugianto. Menurutnya, dengan platform jual beli online, membuat target pasar yang lebih luas dan meningkatkan keuntungan.
Pak Sugianto menyadari zaman sudah berubah. Toko buku tradisional memang sudah sepi peminat. Sudah jarang orang yang menyempatkan waktu untuk jalan-jalan dan memilih buku di toko buku. Tidak seperti toko buku online yang semakin digandrungi karena kemudahan yang hanya tinggal memilih lalu bukunya datang. Begitu pula dengan mereka yang lebih memilih membaca melalui monitor dan telepon genggam. “Tidak apa-apa, semua ada peminatnya masing-masing,” ungkap Pak Sugianto lirih.
Pak Sugianto berharap anak muda mau untuk membaca buku fisik lagi. “Karena pasti beda antara buku fisik dengan membaca di layar monitor ataupun telepon genggam,” ungkap Pak Sugianto. Menurutnya dengan membaca buku fisik maka waktu yang digunakan akan lebih fleksibel dan tentu lebih baik bagi kesehatan mata, dibanding melalui layar yang membuat mata cepat lelah.
BACA JUGA Warung Nasi Jaya yang Berusia 85 Tahun dan Mbah Karni yang Tak Pernah Minta Gaji Suami dan liputan menarik lainnya di Susul.