Pengemis dan pengamen menjadi pemandangan yang umum ditemui di titik padat wisatawan di Jogja. Sekali duduk di landmark wisata pusat kota, berulang kali harus merogoh dompet mencari receh untuk memberi para peminta-minta. Jika tidak memberi, kadang ada sikap tak mengenakkan dari mereka.
***
Ada beberapa titik yang menjadi pusat berkumpulnya wisatawan seperti Jalan Margo Utomo atau selatan Tugu Jogja, Malioboro, Alun-Alun Kidul, hingga deretan angkringan di timur Masjid Syudaha. Lokasi itu menjadi tempat menikmati suasana malam yang syahdu bagi wisatawan.
Namun, kumpulan pelancong ini menjadi magnet tersendiri bagi pengemis dan pengamen. Tak jarang, kehadiran mereka membuat wisatawan sedikit terganggu.
Bahkan beberapa waktu lalu, publik digegerkan dengan pengemis yang pura-pura lumpuh. Kedoknya terbongkar setelah CCTV menangkap aktivitasnya berjalan dengan lancar. Padahal, ia biasanya duduk bersimpuh seolah tak bisa berjalan di Jalan Pasar Kembang sisi selatan Stasiun Tugu.
Nggak nyaman saat nongkrong
Mojok mencoba singgah di salah satu angkringan sekitar Masjid Syuhada, Kotabaru, Yogyakarta. Di sepanjang jalan yang berada dekat dengan Kali Code ini, ada sekitar sembilan angkringan berderet yang menjadi daya tarik bagi warga dan wisatawan untuk menikmati malam.
Baru sekitar 20 menit duduk lesehan beralaskan tikar, sudah ada satu perempuan lansia yang datang menghampiri untuk meminta sedikit uang. Dalam hitungan menit, berlanjut, dua pengamen datang bergantian.
Seorang wisatawan dari Surabaya, Ian (27) yang juga sedang duduk lesehan di angkringan mengaku merasa cukup terganggu. Dua hari di Jogja, ia selalu menyiapkan uang recehan untuk para peminta-minta di jalan.
“Lumayan terganggu. Kemarin saya dari Alun-alun Kidul, wah banyak banget. Lebih dari ini. Mau nongkrong rasanya jadi nggak nyaman,” keluhnya.
Malam itu, sepanjang ia duduk di angkringan Masjid Syuhada, setidaknya sudah ada lima pengamen dan pengemis yang menghampiri. Ia merasa cukup terganggu dengan kehadiran mereka.
Tak semua peminta-minta yang datang Ian beri uang. Ia mengaku selektif, memperhatikan penampilan fisik sebelum mengulungkan sedikit recehan.
Rasanya semakin banyak pengemis di Jogja
Ian mengaku tak kuasa, ketika melihat pengemis seorang ibu-ibu yang membawa anak kecilnya. Sehingga memutuskan untuk memberikan uang.
“Kondisi fisik jadi pertimbangan utama,” katanya.
Secara umum, Ian merasakan bahwa di Jogja semakin banyak pengemis jalanan. Sebelum ke sini, ia sempat mampir ke Solo. Mengunjungi beberapa destinasi wisata dan kondisinya agak sedikit berbeda.
“Saya sudah sering sih ke Jogja. Rasanya memang semakin banyak pengamen dan pengemis. Kemarin di Solo nggak sebanyak ini,” ujarnya.
Hal serupa juga diutarakan oleh Arum (22), pelancong dari Malang yang sedang menikmati suasana angkringan Masjid Syuhada. Ini kali keempat ia berwisata ke Jogja dan merasa pengemis semakin banyak dari kunjungan-kunjungan sebelumnya.
“Sepertinya pengemis itu jadi tambah banyak. Mungkin karena mereka melihat peluang, semakin banyak orang, semakin banyak dikasih. Beberapa daerah yang lain juga ada, tapi Jogja ini rasanya terhitung banyak,” terangnya.
Selama duduk di angkringan, Arum mengaku sudah dihampiri sekitar tujuh pengamen dan pengemis. Tidak semuanya ia beri uang. Seperti Ian, ia tergerak jika melihat lansia atau ibu-ibu yang membawa anak.
Ia merasa, jumlah sebanyak itu cukup menganggu pengalaman berwisatanya. Buatnya, sebagian pengemis masih terhitung berusia produktif sehingga sepatutnya bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan.
“Kalau kita turutin semua, bisa habis duit untuk ngasih pengemis,” ujarnya tertawa.
Pengalaman diintimidasi pengamen
Terkadang, ada wisatawan yang mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari pengamen atau pengemis karena tidak memberi uang. Ian misalnya, mengaku sering mendapati gerutuan mereka saat ia tidak mengulungkan receh.
Pengunjung lain, Elisabeth Okta (22) asal Cilegon kena omel pengamen lantaran ia tidak memberi uang. Kamis (13/7) malam, ia sedang bersama keluarganya di angkringan Jalan Margo Utomo yang dulunya bernama Jalan Pangeran Mangkubumi. Ia yang sedang asyik bermain hp tiba-tiba mendapat teguran.
“Udah nyanyi lama-lama kok nggak dibayar,” kata sang pangamen ketus.
Saat itu, ia sedang bersama kedua orang tua dan neneknya. Beberapa hari menemani keluarga berwiasata di Jogja, ia sudah terbiasa dengan pengamen. Namun, pengalaman mendapat teguran itu cukup mengganggunya.
“Ya aku lagi main hp nggak fokus. Selain itu nggak bawa uang receh,” keluhnya.
Di Jalan Margo Utomo, deretan pedagang kaki lima memang jadi pusat berkumpulnya wisatawan. Mojok melakukan pengamatan di salah satu angkringan legendaris, Angkringan Kopi Jos Pak Djarot yang terletak di sisi utara jalan, tepatnya di depan 101 Hotel Tugu Jogja.
Tiga puluh menit duduk di sana pada malam hari sekitar pukul sembilan, ada sekitar lima pengamen yang lalu lalang. Ada beberapa yang menyanyi dengan alat musik seperti gitar hingga ketimpung. Namun, ada juga yang sekadar membawa kicik-kicik. Bahkan tanpa menyanyi. Lebih mirip mengemis ketimbang menghibur wisatawan dengan musiknya.
Apresiasi pengamen yang memang menghibur
Di Angkringan Pak Djarot, warga setempat Hary Prasetyo mengaku bahwa lingkungan angkringan didominasi pengamen ketimbang pengemis. Kendati begitu, sebenarnya pengamen pun baiknya berlaku sopan dan memaksa ketika melakukan kegiatannya.
“Prinsipnya pengamen pun harus sopan. Di sini kalau pengemis jarang,” kata lelaki yang mengaku pihak keamanan lingkungan, Kebon Dalem, Jogoyudan, Jetis, Yogyakarta.
Hary sesekali mendapat laporan dari pemilik usaha yang mendapat keluhan pelanggan terkait pengamen yang mengganggu. Ia mengakui, tidak jarang pengamen terkesan menggerutu dan bersikap tidak sopan ketika tidak diberi uang.
Ia mengamati, tak jarang pengamen beraktivitas dalam kondisi terpengaruh alkohol. Kondisi itu membuatnya mudah terpancing emosi ketika mendapati sikap yang tidak menyenangkan.
“Pengamennya mabuk, wisatawannya tegas, itu kadang ada friksi,” terangnya.
Di sisi lain, ia masih mengapresiasi pengamen yang bisa menghibur pengunjung. Ia menunjuk pengamen yang sedang beraksi. Ada enam orang anak muda, membawa alat musik lengkap mulai dari gitar, ukulele, hingga tabuhan.
“Pada dasarnya kalau menghibur itu tidak mengganggu. Itu mereka juga sopan kalau datang,” jelasnya sambil menyaksikan pengamen melantunkan lagu dangdut.
Menurut pengamatan Hary, pengemis dan pengamen berasal dari berbagai daerah. Bukan hanya dari kampung sekitar tempat wisata.
“Kita pun nggak tahu sebenarnya, kalau pengemis itu, aslinya orang mampu atau tidak. Bisa jadi mereka penghasilannya lebih banyak ketimbang yang memberi uang,” ujarnya tertawa.