Wisata Bahari Lamongan (WBL) mungkin hanyalah wisata ecek-ecek bagi orang-orang kaya. Namun, WBL adalah hiburan yang sudah sangat mewah bagi orang-orang desa dengan keuangan seret.
Yusron* (25) masih ingat betul semasa SD-nya dulu ia nyaris baku hantam dengan teman kelasnya yang merupakan anak orang kaya. Perkaranya, Yusron jengkel bukan main karena anak orang kaya itu meledek anak-anak kelas 5 yang sangat antusias mengikuti liburan tahunan sekolah, yang saat itu tujuannya ke WBL di Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
“Berarti kira-kira tahun 2009. Semasa aku SD (di Sluke, Rembang), sejak WBL ada, tujuan wisata SD kami memang nggak pernah berubah. Ya pasti ke situ,” ujar Yusron, Rabu, (10/4/2024).
Wisata ecek-ecek bagi orang kaya
Selain karena jarak Rembang ke Paciran tak terlalu jauh, WBL Lamongan juga menjadi wisata modern dengan tiket masuk cukup terjangkau. Sangat ramah bagi keuangan orang desa dengan ekonomi seret seperti Yusron.
Sampai suatu hari, satu hari sebelum keberangkatan SD Yusron ke WBL Lamongan, ia dan teman-teman sekelasnya tengah kumpul-kumpul di kantin sekolah. Mereka tengah merencanakan perihal wahana apa saja yang akan mereka coba esok hari.
Suasana menjadi panas ketika ada anak orang kaya—yang memang tidak ikut dalam wisata ke WBL Lamongan tersebut—nyeletuk dengan nada mengejek, “Orang-orang ndeso, diajak ke WBL aja udah seneng.” Yusorn reflek menarik kerah baju anak tersebut. Hanya saja ada seorang guru yang sigap melerainya.
“Bapaknya kerja di Jakarta. Anak itu pernah lah diajak rekreasi ke Dufan. Mangkanya menganggap WBL ecek-ecek,” ujar Yusron. Sementara bagi Yusron dan teman-temannya, saat itu bisa rekreasi ke tempat wisata seperti WBL Lamongan saja sudah syukur.
Jangankan di masa-masa SD, di masa sekarang pun Yusron mengaku masih menjadikan WBL Lamongan sebagai opsi untuk rekreasi bersama pacarnya. Meskipun banyak yang menyebut bahwa WBL Lamongan sudah tak menarik lagi.
“Yang lain ke Bromo, Jogja, kami cukup ke WBL aja. Menyesuaikan budget,” ujar Yusron yang saat ini berprofesi sebagai kurir di Rembang.
Orang desa sampai nabung demi ke WBL Lamongan
Dari Yusorn pula saya tahu kalau sampai saat ini pun WBL Lamongan masih menjadi tempat hiburan mewah bagi orang-orang di desanya di Sluke, Rembang. Bahkan ada yang sampai harus menabung demi bisa sampai ke wahana wisata yang diresmikan pada 2004 silam tersebut. Seperti misalnya cerita dari Dasnan* (40), tetangga Yusron.
Sebelum Ramadan 1445 H/2024 M lalu, Dasnan sempat mengajak keluarga kecilnya, istri dan satu anaknya liburan ke WBL Lamongan. Dasnan yang sehari-hari berprofesi sebagai kuli bangunan harus mengumpulkan uang selama berbulan-bulan dulu sebelum akhirnya bisa membawa keluarga kecilnya liburan ke WBL Lamongan.
“Dulu aku dan istri pas nikah tahun 2010 bulan madunya juga main ke WBL,” tutur Dasnan.
Melansir dari laman resmi Wisata Bahari Lamongan, tiket masuk WBL Lamongan sendiri untuk hari biasa di angka Rp85 ribu. Sementara untuk akhir pekan dan hari libur nasional menjadi Rp110 ribu.
Tentu angka yang sangat kecil bagi orang yang keuangannya lancar. Tapi bagi Dasnan, untuk sekali jalan ke WBL Lamongan harus nabung dulu agar bisa pegang uang lebih. Lebih untuk main dan jajan di lokasi, syukur-syukur ada juga lebihan buat belanja kebutuhan sehari-hari sepulang dari rekreasi.
“Jajan di tempat wisata kan harganya pasti selisih lah. Apalagi anak kan di tempat wisata pasti bawaannya pengin jajan terus, karena jajanan-jajanannya terlihat menggoda semua,” ucap Dasnan.
“Uang bensin, tiket, makan dan jajan, ya kira-kira kan butuh Rp1 juta sekian. Jadi harus nabung dulu dari hasil nguli sama hasil jahitan istri. Istri kan sehari-hari penjahit,” sambungnya.
Baca halaman selanjutnya…
Bisa wisata ke WBL saja sudah terharu
Haru bisa ke WBL Lamongan
Cerita terakhir dari saya sendiri. Seperti yang Yusron katakan sebelumnya, beberapa SD di Sluke, Rembang di masa itu memang menjadikan WBL Lamongan sebagai jujukan berwisata. Termasuk SD saya di Manggar, Sluke.
Saat edisi wisata tahun 2009, saya menjadi salah satu dari beberapa anak lain yang tidak ikut. Teman-teman saya orang tuanya terus terang tak punya uang untuk membayar. Kalau toh ada uang, bagi mereka akan lebih penting jika uangnya mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Sementara ibu saya tak bilang demikian. Ia hanya bilang menunggu bapak pulang dari Malaysia. “Kalau bapak pulang, nanti bawa uang banyak. Kita ke WBL sendiri,” begitu kira-kira yang ibu katakan.
Saya manut saja. Meski dalam hati kecil ada perasaan iri dan setengah jengkel. Lebih-lebih ketika sepulang dari WBL Lamongan teman-teman saling bercerita perihal keseruan mereka selama rekreasi di sana.
Setahun setelahnya, persis setelah kelulusan SD, ibu dan bapak menepati janji mereka. Kami berangkat ke WBL Lamongan. Ada perasaan senang. Tapi ada juga perasaan haru kala akhirnya bisa merasakan keseruan yang sudah teman-teman sekelas SD saya rasakan lebih dulu.
Sampai saat ini pun, WBL Lamongan masih menjadi tempat hiburan pelarian bagi keluarga kami. Hiburan dari setiap ketidakikutsertaan rekreasi di tempat-tempat jauh dengan ongkos mahal. Misalnya, adik saya harus absen dari rekreasi SD-nya ke Jatim Park, Malang.
Ibu dan bapak pun menggantinya di lain kesempatan dengan mengajak adik rekreasi ke WBL Lamongan tidak lama setelah ia dikhitan. Kami berangkat ke WBL dari uang buwuh acara khitanan tersebut.
*) Nama narasumber disamarkan atas permintaan yang bersangkutan
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News