Waluh kukus. Makanan yang terbuat dari buah labu kuning ini selain menyehatkan ternyata juga memberikan trauma bagi Ainay*. Dulu, waluh kukus menjadi makanan istimewa bagi keluarganya yang miskin tapi kini tidak lagi.
Ibunya adalah seorang buruh yang rela melakukan kerja apa saja demi mendapat upah, sementara ayahnya sudah minggat alias tidak tinggal di rumah. Oleh karena itu, pendapatannya pun tak pasti, tergantung dari pekerjaan yang dia lakukan.
Sering kali, saksi Ainay, hasil kerja keras ibunya dibayar dengan uang. Tapi tak jarang ada yang membayarnya dengan bahan makanan, salah satunya labu kuning atau waluh. Sebab pada saat itu, ibu Ainay sempat membantu orang-orang yang sedang panen waluh.
Sebagai upah karena sudah membantu, ibunya mendapatkan dua waluh yang berukuran kecil dan besar. Saking besarnya, Ainay kecil pun tak bisa mengangkatnya. Namun seingat dia, waluh yang diterima saat itu masih berwarna hijau–belum kuning.
Alhasil, ibunya menyimpan waluh tersebut selama beberapa hari hingga warnanya berubah menjadi oranye. Tanda kalau waluh tersebut sudah matang dan enak dimakan. Namun, ibunya tak ingin memakan waluh itu sendirian. Ia ingin membagikannya untuk tetangga.
“Alhamdulillah punya waluh, bisa buat nyumbang takjil orang-orang yang lagi tadarus. Sedih karena ibu nggak pernah ngasih apa-apa untuk orang-orang yang datang ngaji,” ujar Ainay mengingat kembali kalimat ibunya saat ia masih kelas 4 SD.
Perjuangan ibu membuat waluh kukus malah dihina
Dua bulan berselang, waluh tersebut akhirnya matang. Alih-alih memberikan waluh yang masih bertekstur keras, ibunya mengukus lebih dulu waluh tersebut, sehingga dagingnya lebih lembut dan pulen.
“Pinginnya sih dibuat kolak, tapi nggak punya uang buat beli kelapa dan gula,” ujar Ainay yang saat kecil juga aktif mengaji di langgar.
Niat ibu Ainay untuk memberikan waluh kukus ke anak-anak yang sedang tadarus di langgar pun tiba. Ainay yang tahu niat baik ibunya ikut gembira. Dengan senang hati, ia membawa waluh kukus itu bersama ibunya.
Ibunya pun berpesan agar Ainay tak lupa membawa tempat waluh kukusnya kembali. Ia begitu percaya diri jika waluh kukusnya bakal langsung diserbu mengingat rasanya yang enak, manis, dan empuk. Sayangnya, bayangan itu tidak terjadi.
“Waktu ember waluh kukus ibuku dicek, salah seorang anak, panggil saja Mbak Yati, hanya nyeker-nyeker (memilah) waluh kukus ibuku pakai ujung jari. Seperti orang yang jijik. Dia bilang ‘hi panganan opo iki? Mosok koyok taek ngene dikekno uwong’ (hiii, makanan apa ini? Masa bentuknya mirip tai gini dikasih ke orang),” tutur Ainay.
Sontak, Ainay langsung naik pitam. Di membentak Yati dengan kalimat yang tak kalah galak.
“Kalau nggak suka ya nggak usah dimakan!” ucapnya.
“Loh, kok ngamok (marah)? Aku kan cuma bilang. Hiiii ngamok aaan. Dadi arek kok ngamok an (jadi anak kok suka marah),” kata Yati.
Tak berhenti sampai di situ, Yati juga menghasut anak-anak lainnya untuk mengolok-ngolok Ainay sebagai anak yang pemarah. Bukannya membela Ainay, anak-anak di sana justru ikut arahan Yati. Mereka pun menertawakan Ainay bersama.
Baca Halaman Selanjutnya
Tak sanggup beritahu ibu, takut ia sedih












