Kehidupan malam di Prawirotaman membuat orang Surabaya merasa betah di Jogja. Di Prawirotaman, orang Surabaya mengaku bisa menjadi diri sendiri dengan begitu lepas. Membuatnya merasa lebih hidup ketimbang di Kota Pahlawan yang hanya berisi keterburu-buruan dan beban pekerjaan.
***
Masuk pukul 23.00 WIB. Suasana di Till Drop, salah satu street bar di Prawirotaman, Jogja makin riuh dan semarak. Saat saya tiba, band yang tampil mengisi live music tengah membawakan lagu “Sunset di Tanah Anarki”-nya Superman Is Dead (SID).
Para pengunjung Till Drop, baik di area dalam maupun luar ikut bernyanyi dengan sangat ekspresif. Sesekali sambil bersulang dengan botol bir mereka yang isinya tampak hampir tandas.
“Habis, tambah lagiii,” teriak seorang pemuda yang muncul dari dalam ruang dalam (tempat memesan minuman). Ia lantas menaruh dua botol bir ukuran besar di meja yang ditempati sekitar lima orang. Suasana di meja itu pun kembali riuh. Mereka semakin lantang bernyanyi.
Till Drop sendiri merupakan satu dari beberapa street bar yang berderet di Prawirotaman, Jogja. Selain nama-nama populer lain seperti Playon, Boogie Down Bar, dan lain-lain.
Evi (25), perempuan asal Surabaya lebih memilih Till Drop untuk menghabiskan malam di Jogja karena konsepnya yang membuatnya tertarik. Yakni seperti bangunan usang dengan tembok penuh mural.
“Suasana yang sederhana, itu yang aku cari,” ujar Evi saat saya temui di Till Drop, Rabu, (24/4/2024) malam WIB.
Ngebir nikmat di Till Drop Jogja
Di Surabaya sendiri bukannya tak ada bar. Tentu ada sangat banyak. Namun, Evi memang tak menemukan bar dengan konsep slow bar sebagaimana yang ia temui di Prawirotaman, Jogja. Terutama di Till Drop.
Dalam liburannya di Jogja kali ini, ia bahkan sudah menghabiskan dua malam di Till Drop, Prawirotaman, Jogja. Begitu candu katanya.
“Orang-orangnya kayak lepas aja. Nggak ada beban. Jadi ikut kebawa asyik,” ucap Evi.
Hal yang menurut Evi akan sulit ia temukan jika nge-bar di Surabaya. Yang ada malah terbawa sumpek karena kebanyakan orang yang nge-bar—setidaknya yang pernah ia temui—menampakkan wajah kuyu. Memang sesekali tertawa riang. Tapi tetap tak bisa menyembunyikan kalau ia sedang banyak pikiran yang mengganggu di kepala.
“Di Surabaya sangat sulit melepas beban pekerjaan dari pikiran. Meskipun niat healing untuk melupakan sejenak beban itu, tapi tetap saja terbawa,” kata Evi.
Seperti Evi sendiri selama di Jogja. Sepanjang hari, meski tengah dalam masa liburan, ia tetap tidak bisa lepas dari panggilan-panggilan telepon dari kantor. Sedangkan di Till Drop, Prawirotaman, Jogja, dari pandangan Evi orang-orang benar-benar menikmati momen sebagai diri sendiri, bukan sebagai mahasiswa yang diburu tugas atau karyawan-karyawan yang diburu deadline kantor.
Lagu-lagu klise tapi bikin bergairah
Malam itu juga saya bertemu dengan Yusuf (26), juga dari Surabaya. Ia berlibur ke Jogja setelah menyisihkan uang dari hasil bisnis parfum yang baru ia rintis satu tahun terakhir.
Yusuf bisa dibilang anak skena. Penikmat musik. Beragam jenis konser, dari konser populer hingga konser alternatif ia ikuti. Lagu-lagu dari beragam genre pun ia dengarkan.
Bagi Yusuf, entah kenapa lagu-lagu yang dibawakan musisi Jogja sekalipun dari musisi kafe atau bar terasa sangat bisa dinikmati. Mereka tampak sangat niat dalam membawakan lagu alias berupaya menyuguhkan penampilan terbaik.
Sehingga bisa membangkitkan suasana hati menjadi lebih bergairah. Seperti yang tersaji di Till Drop, Prawirotaman, Jogja malam itu.
“Lagu-lagu klise seperti dari SID, The Rain (Barisan Para Mantan), atau lagu-lagu Naif jadinya nggak ngebosenin sih,” kata Yusuf
“Karena ada lah musisi kafe yang karena mungkin saat membawakan nggak sebergairah musisi kafe di Jogja jadi kesannya biasa aja,” sambungnya.
Penampilan band penampil di Till Drop, Prawirotaman, Jogja malam itu memang sangat atraktif. Tak heran jika pengunjung bar seperti Yusuf dan lain-lain tak mau pasif begitu saja. Mereka bersorak dan berlonjak-lonjak dengan sangat lepas.
“Aku nggak tahu ya apa variabelnya. Tapi entah kenapa di Surabaya dunia kreatif atau kesenian seperti musik nggak seasyik di Jogja,” tutup Yusuf.
Baca halaman selanjutnya…
Till Drop bikin orang Surabaya betah di Jogja
Till Drop bikin orang Surabaya betah di Jogja
“Oke lagu terakhir dari kami…,” ucap vokalis band penampil di Till Drop malam itu. Lagu “Benci untuk Mencinta” dari Naif pun bergema, yang langsung disambut dengan sorak antusias dari para pengunjung. Mereka semua lantas bernyayi bersama mengikuti lirik demi lirik. Tidak terkecuali dengan Yusuf dan Evi.
Sudah menjelang pukul 00.00 WIB. Till Drop, Prawirotaman, sudah mau tutup. Evi sebenarnya masih ingin menikmati malam di Till Drop, tapi mau bagaimana lagi.
“Udahlah jangan pulang besok. Lanjut aja nyampe Minggu,” goda seorang pemuda di sebelah Evi. Pemuda asli Jogja, kenalan Evi saat bertemu di beberapa konser musik.
“Penginnya juga begitu. Tapi harus back to reality, Rek,” jawab Evi.
Setelah lagu tuntas diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai, satu per satu pengunjung mulai meninggalkan Till Drop, Prawirotaman, Jogja. Evi berjalan dengan agak sedih mengingat besok harinya, Kamis, (25/4/2024) ia sudah harus kembali ke Surabaya.
“Tapi aku punya harapan kelak bisa menetap di Jogja sih. Sampai tua gitu,” tuturnya.
“Karena di Jogja ada Till Drop?,” timpal saya menggoda.
“Ya nggak cuma itu, Rek. Nanti makin tua kan makin ngurangi nge-barnya. Nggak tahu ya, udah sumpek hidup serba cepat dan terburu-buru di Surabaya. Pengin menjalani slow living di Jogja,” balasnya.
Kami lalu berpisah. Evi lanjut motoran menikmati suasana malam di Jogja. Saya hanya berdoa agar ia tak sampai bertemu klitih di jalan. Kalau sampai itu terjadi, bayangannya tentang menghabiskan masa tua di Jogja dengan tenang dan santai bisa buyar.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.