Kendati mengaku “kerepotan” dengan tradisi bagi-bagi THR pada sanak saudara di hari lebaran, tapi pada akhirnya tetap saja tidak bisa menghindarinya.
Namun, hal itu sudah terlanjur menjadi tradisi. Maka, tidak bisa tiba-tiba menormalisasi tidak bagi-bagi. Ada perasaan tidak enak jika tidak menyisihkan sedikit uang untuk keponakan dari perantauan.
Dalam perbincangan dengan Mojok sebelumnya, Naila (27) mengaku kesal dengan tradisi tersebut. Gaji pas-pasan, ditambah THR yang tidak terlalu besar, mesti ludes hanya dalam sekejap di momen lebaran.
Belum lagi dia harus menghadapi omongan sengak saudaranya jika THR lebaran yang dia berikan dianggap tak seberapa. Tapi masalah ternyata tidak berhenti di situ.
THR ludes, gajian masih lama
Minggu (6/4/2025) sore WIB ini, Naila akan meninggalkan Madiun, Jawa Timur, untuk kembali ke Solo, Jawa Tengah. Kembali bekerja.
Sejak Kamis (3/4/2025) lalu, uang THR dari kantor yang dia bawa pulang sudah ludes untuk dibagi-bagi kepada orangtua, adik, dan sejumlah saudara.
“Kenapa ya yang dinormalisasi nggak hanya ngasih ke ortu? Kenapa mesti harus ke saudara-saudara juga?” Keluh Naila, Sabtu (5/3/2025) malam WIB.
Menjelang kembali ke rutinitas sebagai seorang pekerja, ada perasaan nelangsa. Begitu juga yang dia rasakan bertahun-tahun sebelumnya: nelangsa ketika THR sudah ludes, sementara gajian masih lama. Masih ada hari-hari panjang di perantauan yang harus Naila lakoni dengan keprihatinan.
Tak sempat menyenangkan diri sendiri
Sejak bekerja, Naila mengaku dua momen labaran sekali dia akan membeli baju lebaran baru. Lebaran tahun ini dia memilih tidak membeli. Di rumah dia mengenakan baju yang menurutnya masih bagus.
Tentu saja Naila ingin membeli baju baru. Di keranjang aplikasi oranyenya, sudah ada bertumpuk-tumpuk daftar barang yang ingin sekali dia beli. Tidak hanya baju. Tapi juga barang-barang lain yang dia inginkan.
“Prioritasku kalau lebaran ya membelikan orangtua dan adik baju baru. Kalau bukan momen lebaran, biasanya orangtua lagi butuh bantuan apa, misalnya bantuan biaya sekolah adik, itu prioritasku. Menyenangkan diri sendiri nanti dulu,” kata Naila.
Hari-hari dalam lamunan di kosan
Di rekening Naila memang masih ada sejumlah uang. Terutama dari gaji bulan lalu. Akan tetapi, sekembali ke Solo nanti, dia harus memotong sebagian untuk bayar sewa kos.
Mengingat masa gajian lagi yang masih sangat lama, maka tidak ada solusi lain selain berhemat.
“Kalau balik biasanya bawa sisa-sisa jajan dari rumah. Ibu biasanya pengin bawain beras, tapi aku sering nolak. Beras lebih penting buat ibu saja. Aku nanti beli sendiri. Aku paling minta bumbu-bumbu dapur kayak bawang merah, cabai, gitu lah buat masak,” ungkapnya.
Begitulah cara Naila berhemat di perantauan: masak sendiri. Untuk mengatasi keinginan ngemil, agar tidak jajan-jajan di luar, dia masih bisa ngemil jajanan lebaran yang dia bawa dari rumah. Sembari melamun.
“Kadang ngerasa, apa resign aja cari kerja yang gajinya lebih gede? Tapi baca-baca berita, nyari kerja makin susah. Ekonomi anjlok,” tutupnya getir.
THR habis, kembali ke perantauan dengan perasaan bangga
Sementara Faizudin (26), sudah meninggalkan Bojonegoro, Jawa Timur, ke Sidoarjo pada Sabtu (5/4/2025) sore WIB. Saat Mojok hubungi kembali pada Sabtu (5/4/2025) menjelang tengah malam, dia sedang nongkrong di warung kopi kecil di dekat kosnya.
Berbeda dengan Naila, Faizudin mengaku bagi-bagi THR ke orangtua dan saudara di momen lebaran membuatnya memiliki kebanggaan dan kelegaan tersendiri. Dia merasa jadi orang yang berguna. Walaupun sebenarnya gaji dan THR yang dia bawa pulang tidak besar-besar amat.
Maka, sejak roda motornya meninggalkan pelataran rumah, di sepanjang jalan menuju Sidoarjo dia suka senyum-senyum sendiri: puas. Sambil berdoa, semoga diberi limpahan kecukupan dan keringanan hati untuk senantiasa bersyukur atas apapun dan berapapun pemberian Tuhan.
Sering “tak makan” di perantauan
Jika dalam situasi seperti sekarang: THR sudah ludes dibagikan, sementara gajian masih lama, siasat bertahan hidup Faizudin adalah tidak makan berhari-hari alias puasa sunnah.
“Puasa tujuh hari Syawal. Terus kalau sudah selesai nanti puasa Senin Kamis. Niatnya tetep puasa sunnah. Bonusnya menekan pengeluaran,” ungkap Faizudin sembari tertawa renyah.
Faizudin pun kembali ke Sidoarjoa dengan membawa sekarung beras seberat 5 kilogram. Pemberian dari ibunya. Belum jajanan sisa lebaran yang ibunya memaksanya betul agar turut dibawa.
“Di rumah nggak kemakan. Mending buat ngemil kamu di kosan,” begitu kata sang ibu yang coba ditirukan oleh Faizudin.
“Selama kerja di Sidoarjo model makanku kan masak nasi sendiri, nanti lauknya beli di warteg. Makanya, ibu sering bawain beras dari rumah. Jadi biaya makan bisa kutekan Rp10 ribu perhari. Tambah biaya ngopi Rp4 ribu. Itu pun nggak sering. Rokok juga cari yang murah. Itu pun paling dua sampai tiga hari sekali aku baru beli,” beber Faizudin.
Di mata Faizudin, ibu-bapaknya selalu memberi lebih dari apa yang Faizudin selalu upayakan untuk memberi lebih pada mereka. Itulah kenapa dia tidak merasa nelangsa-nelangsa amat jika uangnya habis untuk menyenangkan mereka.
Kalau untuk saudara, sebenarnya lebih karena dia memang suka berbagi saja. Terutama dengan saudara yang nasibnya tidak lebih baik dari nasib Faizudin.
Namun, Faizudin sudah terbiasa hidup prihatin di perantauan. Oleh karena itu, baginya, bagi yang berat melakukannya, menormalisasi tidak memaksakan diri memberi THR jika keuangan tidak mendukung juga perlu dilakukan.
“Kan kadang takutnya kalau nggak ngasih THR ke saudara bakal jadi omongan. Ada saudara yang begitu. Ada juga yang tidak. Tapi ketimbang nggak ikhlas, apalagi jika sedang nggak pegang uang banyak, ya nggak ngasih pun nggak dosa,” pungkasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Reuni Keluarga Jadi Ajang Saudara Pamer Pencapaian, Pura-pura Tolol sambil Menyimaknya Ternyata Menyenangkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












