Wacana larangan study tour keluar kota ternyata disambut dengan penuh kelegaan oleh beberapa orang tua di Rembang, Jawa Tengah. Bukan karena persoalan aman tak aman di perjalanan. Tapi lebih kerena selama ini study tour mereka anggap sebagai kegiatan yang memberatkan, khususnya bagi orang tua dengan ekonomi pas-pasan.
***
Menyusul kecelakaan rombongan study tour SMK Lingga Kencana Depok pada Sabtu (11/5/2024) lalu, ramai-ramai dinas pendidikan di beberapa daerah mengeluarkan larangan study tour keluar kota. Terlebih setelah SMK Lingga Kencana Depok, disusul lagi rangkaian kecelakaan rombongan study tour dari sekolah-sekolah lain.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jawa Tengah (Jateng) bahkan menegaskan bahwa larangan study tour atau karya wisata keluar kota sudah dilarang sejak 2020.
Larangan tersebut merujuk Surat Edaran (SE) Kepala Disdikbud Jateng Nomor 420/000222 tentang Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Pada Satuan Pendidikan SMA, SMK, dan SLB Negeri Provinsi Jateng Tahun 2020 yang menyatakan sekolah SMA, SMK, SLB merupakan sekolah bebas. Oleh karena itu, segala kegiatan yang memunculkan pungutan dilarang.
“Karya wisata itu berpotensi untuk adanya pungutan. Oleh karena itu, dari 2 Januari 2020 sampai hari ini belum ada regulasi lain. Sampai saat ini belum diizinkan untuk diselenggarakan,” tegas Kepala Disdikbud Jateng Uswatun Hasanah seperti Mojok kutip dari Antara.
Merespons larangan study tour keluar kota, beberapa pihak mengeluh karena selama ini study tour menjadi salah satu ladang pemasukan. Misalnya pedagang di tempat-tempat wisata, pengelola wisata, hingga sopir bus pariwisata. Namun, beberapa orang tua siswa di Rembang, Jawa Tengah justru merasa lega jika study tour keluar kota benar-benar tidak ada lagi.
Study tour bebani orang tua miskin
Jauh sebelum berita kecelakaan SMK Lingga Kencana Depok, persisnya pada Lebaran 2024 lau, saya sempat mendengar keluh kesah dari Walimah (38), seorang ibu asal Rembang, Jawa Tengah.
Anaknya yang hendak lulus SMP wacananya akan study tour ke Jogja selepas perpisahan sekolah. Iurannya sebesar Rp800 ribu. Jika ditambah jatah uang saku untuk anaknya, tentu angkanya bisa saja Rp1 juta sekian.
“Anak-anak kan terbawa teman-temannya. Jadi nggak mau tahu mereka pengin ikut. Orang tua mau nggak mau harus cari utangan,” keluh Walimah waktu itu.
Walimah sehari-hari jualan jajanan anak-anak di SD dekat rumahnya. Sementara sang suami kuli bangunan. Uang Rp800 ribu tentu sangat besar buat ukuran mereka jika hanya untuk sekadar iuran study tour. Karena seharusnya uang sebesar itu bisa untuk kebutuhan hidup yang lebih vital bagi mereka yang berasal dari keluarga pas-pasan.
“Mbok nggak usah ada acara-acara begituan (study tour) lah. Nambah-nambahi beban wong cilik,” gerutu Walimah saat itu.
Iuran study tour jadi momok setiap tahun
Baru-baru ini saya terhubung dengan Tikah (29), seorang ibu muda asal Rembang. Sebelum Ramadan 2024 lalu ia baru saja mengikuti study tour ke salah satu wahana wisata di Bojonegoro, Jawa Timur, untuk anaknya yang masih TK.
“Iurannya Rp500 ribu. Mau nggak ikut ya gimana. Padahal dulu di zaman aku masih TK nggak ada istilah study tour buat anak TK. Sekarang dari TK udah ada e,” gerutu Tikah, Kamis (23/5/2024).
Sehari-hari Tikah hanyalah ibu rumah tangga biasa. Ia nyambi ngajar ngaji di TPQ desanya. Tapi tentu jangan berharap honor. Kalau toh ada pastilah angka dan waktu pemberiannya tidak tentu. Sedangkan sang suami membuka usaha isi ulang galon kecil-kecilan.
Untuk saat ini, iuran study tour dengan angka Rp500 ribu tentu masih bisa ia usahakan. Tapi yang tak bisa terelakkan adalah sang anak juga terus tumbuh. Nanti waktu SD ada study tour lagi, waktu SMP ada lagi, dan saat SMA pun bakal ada lagi.
“Setiap jenjang pasti kan destinasi wisatanya makin naik. Terus setiap tahun iuran juga pasti naik,” tutur Tikah.
Yang Tikah maksud, misalnya, saat TK mungkin cuma di Bojonegoro. Tapi nanti waktu SMP bisa jadi ke Bromo atau Malang atau study tour ke Jogja. Lalu waktu SMA naik level lagi ke Bandung atau bahkan Bali. Artinya, di sepanjang jenjang sekolah, ia harus menyiapkan uang yang makin besar untuk kebutuhan study tour.
“Masalahnya, semakin besar anak semakin besar kebutuhan hidup kan? Pasti ada momen satu sisi harus iuran study tour, tapi satu sisi ada kebutuhan sangat mendesak. Jatuhnya nanti cari utangan,” ujar Tikah.
Baca halaman selanjutnya…
Orang tua pontang-panting cari utangan biar anak bisa study tour
Orang tua cari utangan gara-gara ancaman sekolah
Apa yang Tikah keluhkan sebenarnya mengaca pada masa sekolahnya dulu. Saat masih SMP, Tikah sempat nyaris tak bisa ikut study tour. Alasannya bisa ditebak. Bapak Tikah yang sehari-hari hanya seorang petani tak ada biaya untuk bayar iuran.
Seingat Tikah, waktu itu SMP-nya mengadakan study tour ke Bromo, Jawa Timur. Tikah lupa berapa persisnya iuran yang harus ia bayar. Yang jelas cukup besar untuk ukuran Bapak Tikah.
“Waktu itu memang aku sendiri pengin ikut. Tapi satu sisi kami (para siswa) ditakut-takuti sama guru. Intinya study tour itu agenda wajib, harus ikut. Kalau nggak ikut nilainya dikurangi,” ucap Tikah.
Sebagai bocah, Tikah pun tentu merasa takut. Jadi ia mendesak sang bapak agar mau membiayainya ikut study tour. Kalau mengingat itu, Tikah terheran-heran, memang apa hubungannya study tour dengan nilai?
Tikah pada akhirnya memang berangkat. Dan pada akhirnya pula ia tahu kalau untuk membayar iruan study tour-nya itu, bapak Tikah harus utang ke saudara. Hal itu baru ia tahu di tahun-tahu belakangan saat adiknya juga mengalami hal serupa: mendapat tuntuan wajib ikut study tour oleh pihak sekolah. Lalu bapak Tikah pun untuk kesekian kali harus utang ke saudaranya.
“Adikku juga di SMP yang sama seperti aku. Tapi dia study tour ke Jogja,” kata Tikah.
Aku setelah lulus SMP full nyantri. Jadi udah nggak ada beban study tour SMA. Tapi seandainya aku SMA, mungkin aja aku ikut study tour lagi kalau guru-guru pakai cara “mengancam”,” sambung ibu dua anak itu.
Maka ketika mendengar adanya larangan study tour keluar kota, orang tua pas-pasan seperti Tikah tentu malah lega. Kalau anaknya kelak tumbuh besar (SMP-SMA), ia malah ingin melatih sang anak untuk kerja keras sejak dini: mengisi waktu liburan dengan membantu bapaknya isi ulang galon. Biar tidak tumbuh jadi anak manja yang apa-apa harus keturutan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.