Untuk pertama kalinya, stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Perum Bulog menembus angka 4 juta ton. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyampaikan angka itu merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia sejak Bulog berdiri pada 1969.
Sudaryono menjelaskan jumlah cadangan beras yang dikelola Bulog telah mencapai 3,964 juta ton pada 28 Mei 2025 lalu. Tak lama setelah itu, stok beras nasional bertambah dan resmi tercatat sebesar 4.001.059 ton dari sebelumnya.
Mentan Andi Amran Sulaiman menyebut capaian tersebut tak lepas dari gagasan Presiden Prabowo Subianto yang telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) untuk memperkuat produksi dan memudahkan petani.
“Presiden Prabowo memberi perhatian luar biasa pada pertanian. Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen sebesar Rp6.500 per kilogram dan penghapusan sistem rafaksi menjadi bukti nyata. Petani kini menikmati harga jual yang menguntungkan, bahkan di saat panen raya,” ujar Amran dikutip dari CNBC, Senin (2/5/2025).
Di sisi lain, pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengingatkan stok yang besar juga menyisakan sejumlah pekerjaan rumah tangga (PR). Jangan sampai tumpukan beras di gudang menjadi pertanyaan bagi publik.
“Apa gunanya stok beras bagi rakyat jika hanya ditumpuk di gudang dan membebani anggaran? Bukankah stok besar dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) masih anomali dan absurd?” ujar Khudori.
Penyimpanan yang sia-sia
Khudori menjelaskan, pada dasarnya menyimpan beras dengan jumlah stok besar tidaklah mudah. Beras, kata dia, merupakan barang yang tidak tahan lama. Sebaik apapun perawatannya, risiko turun mutu akan selalu ada dan tidak bisa dicegah.
Apalagi, stok beras yang ada di gudang Bulog terdiri dari serapan gabah atau beras produksi domestik. Sisanya adalah sisa stok beras akhir tahun lalu yang sebagian besar berasal dari impor.
“Idealnya, beras hanya disimpan hanya 4 bulan. Lebih dari itu, beras harus dikeluarkan dari gudang untuk disalurkan, agar tidak berpotensi turun mutu bahkan rusak,” kata Khudori melalui keterangan tertulis, Minggu (1/5/2025).
Sementara itu, usia beras di gudang Bulog terus bertambah. Setidaknya ada ratusan ribu ton beras berusia 9 hingga 14 bulan, dan puluhan ribu ton berusia lebih dari 14 bulan.
Selain itu, BMKG juga memprediksi kalau kemarau tahun ini sedikit terlambat tapi terjadi kemarau basah. Artinya, potensi hujan justru menguntungkan petani untuk memproduksi padi. Hanya saja, serapan beras operasi pasar, kata Khudori, kemungkinan seret.
Oleh karena itu, untuk menghindari produksi beras yang melimpah, pemerintah perlu segera menyalurkan beras yang disimpan agar tidak turun mutu, susut volume, hingga tak melebihi kapasitas gudang.
“Karena penyaluran bulanan harus besar, sebaiknya pemerintah tidak hanya mengandalkan operasi pasar dan bantuan pangan beras yang sudah direncanakan,” ucapnya.
Baca Halaman Selanjutnya
Penyaluran beras Bulog terhambat
Penyaluran beras Bulog terhambat
Alih-alih melakukan penyaluran, pemerintah telah menghentikan penjualan beras produksi petani sejak awal tahun 2025. Di mana penyaluran untuk operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan kini hanya 181.173 ton.
Bahkan, outlet bantuan pangan beras yang sudah diputuskan untuk disalurkan Januari sampai Februari 2025 juga dihentikan. Maka tak heran, jika stok beras menjadi besar, bahkan mencapai target dalam sejarah yakni 4 ton.
“Jika stok beras itu diibaratkan makhluk hidup, sama saja ia digenjot terus menerus untuk makan tanpa ada, maaf, buang air besar ke belakang. Mula-mula mules, lalu sakit perut, dan entah apa yang terjadi,” kata Khudori.
Salah satu implikasinya adalah gudang Bulog sampai tak memenuhi kapasitas. Saat ini, kapasitas gudang Bulog adalah 3,7 juta ton. Oleh karena itu, mereka menyewa gudang lain dengan kapasitas 1,4 juta ton.
Tentu saja, pengeluarannya semakin banyak. Terbukti, pada triwulan I-2025 Bulog merugi sebesar Rp1,4 triliun. Belum lagi, beras yang disimpan di gudang sebagai stok mati atau statis memerlukan perawatan lumintu. Perawatan itu juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kian lama beras disimpan, maka biaya perawatannya pun akan semakin besar.
“Ini akan membebani Bulog sebagai korporasi. Selain itu, terbuka risiko penyusutan volume dan turun mutu,” ujar Khudori.
PR yang harus dikerjakan Bulog
Menurut Khudori, jika saat ini ada 4 juta ton stok beras, maka Bulog harus bisa menyalurkan 2,7 juta ton. Dengan begitu, masih ada 1,2 juta ton beras yang tersisa di akhir tahun 2025. Jika dirinci dari sekarang yakni dari bulan Juni hingga Desember nanti, Bulog harus menyalurkan 400 ribu ton beras per bulan.
“Ini tidak mudah. Sepanjang sejarah Bulog, penyaluran untuk operasi pasar, bantuan, dan lain sebagainya jarang bisa mencapai 400 ribu ton per bulan,” kata Khudori.
Meski berat, penyaluran itu tetap harus dilakukan. Yang jelas, jangan sampai penyaluran tersebut membuat harga gabah anjlok atau jatuh di bawah harga pembelian pemerintah yakni Rp6.500 per kilogram dari gabah kering panen di petani, apapun kualitasnya.
Selain itu, pemerintah bisa melakukan ekspor jika dirasa produksi dalam negeri aman untuk memenuhi konsumsi warganya. Namun, saran Khudori, ekspor sebaiknya tidak dilakukan di akhir September karena produksi sudah mencapai 80 sampai 85 persen.
“Terakhir, pemerintah perlu mengoreksi kebijakan dengan mengembalikan syarat kualitas pembelian gabah petani. Pembelian gabah tanpa syarat kualitas memang menolong petani, tapi membuka laku lancung yang tidak mendidik,” ujar Khudori.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Menjadi Petani di Klaten hingga Temukan Padi dan Tembakau Premium, Bikin Doktor Pertanian Belanda Terkagum-kagum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
