Sombong Kerja Pelayaran di Kapal Feri, Sok Gagah dan Pamer Gaji Besar ke Tetangga Malah Jadi Menderita

Jadi awak kapal feri sombongkan label kerja pelayaran ke tetangga dengan gaji besar, berakhir jadi pecundang MOJOK.CO

Ilustrasi - Jadi awak kapal feri sombongkan label kerja pelayaran ke tetangga dengan gaji besar, berakhir jadi pecundang. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kerja pelayaran—sebagai awak kapal feri—memang label yang gagah untuk disandang. Apalagi jika menyebut angka gaji perbulannya di hadapan orang desa. Tentu bisa untuk disombongkan.

Akan tetapi, menyombongkan sesuatu yang pada dasarnya tidak bersifat kekal pada manusia, sering kali memang berbalik menjadi kenahasan.

***

Aku iki wong pelayaran, iso disiplin ora? (Aku ini orang pelayaran, bisa disiplin nggak?)”

Kalimat yang dilontarkan oleh seseorang dengan wajah songong itu digarisbawahi oleh warganet. Bahkan rumahnya di Godean, Jogja, digeruduk oleh ratusan driver Shopee Food.

Diketahui, tengah viral di media sosial seorang customer yang bersikap arogan terhadap sepasang kekasih yang tengah mengantar pesanan.

Berdasarkan keterangan yang beredar, sepasang kekasih itu menerima pesanan dobel Shopee Food. Pesanan pertama mereka antar dengan aman, tanpa intrik.

Namun, saat mengantar pesanan kedua, customer justru memberi respons arogan hanya karena si driver Shopee Food terlambat lima menit.

Si driver sebenarnya sudah mencoba menjelaskan situasinya di jalan: dari antre ambil pesanan yang cukup lama hingga berhadapan dengan kemacetan Jogja. Hanya saja, si customer tetap arogan sembari membawa label “wong pelayaran” tadi.

Bahkan, dalam video yang beredar, kerabat si customer melakukan kontak fisik yang menyebabkan kekasih si driver jatuh dan terluka. Tak ayal jika kemudian ratusan driver Shopee Food—atas nama solidaritas—menggeruduk kediaman si customer pada Jumat (4/7/2025) malam WIB.

Kerja pelayaran sebagai awak kapal feri, tak mau jadi nelayan miskin

Nabil (26) tak heran atas sikap arogan si customer tersebut. Sebab, Nabil mengakui kalau dia sendiri pernah berada di posisi yang sama: sok-sokan dengan label sebagai pekerja pelayaran—awak kapal feri.

Sejak kecil Nabil memang akrab dengan laut. Keluarganya di Juwana, Jawa Tengah, rata-rata juga pelaut. Hanya memang nelayan kecil biasa.

Namun, sejak SMK, Nabil sudah bertekad untuk tidak menjadi nelayan biasa. Menilik, kebanyakan nelayan di desanya hidupnya berjarak sejengkal dari kemiskinan. Kalau harus bekerja di laut, ya harus sekalian kerja di kapal-kapal besar dengan gaji besar.

“Lulus SMK (Pelayaran) terus akhirnya cari-cari info biar bisa kerja pelayaran. Akhirnya kerja di sebuah kapal feri di luar Jawa,” ucapnya, Sabtu (5/7/2025) pagi WIB.

Kerja pelayaran sebagai awak kapal feri, sombong meski rendahan

Pada dasarnya, posisi Nabil sebagai awak kapal feri itu tidak mentereng-mentereng amat. Dengan modal ijazah SMK-nya, Feri hanya berposisi sebagai petugas kebersihan. Posisi yang, kalau kata Feri sendiri, sebenarnya rendahan belaka.

“Berapa, leh? Rp4 jutaan gajiku perbulan waktu itu.Ya nggak gede lah. Tapi aku mengakunya ke orang rumah Rp8 juta. Biar gagah,” kata Nabil.

Setelah bekerja selama satu tahun, Nabil sempat punya kesempatan pulang meski tak lama, hanya beberapa hari. Saat baru masuk desa, tetangga yang tahu kepulangan Nabil berseru heboh, “Weh ono wong pelayaran muleh iki (Wah ada orang pelayaran pulang ini)”.

Seruan itu, membuat Nabil berjalan dengan dada membusung. Pasalnya, tidak ada orang di desanya yang bekerja di kapal feri seperti Nabil. Banyak pemuda pun hanya bekerja serabutan kalau tidak ikut menjadi nelayan. Sehingga, Nabil merasa dialah pemuda sukses dan panutan.

“Pas menyambut aku pulang, orang rumah juga terlihat gembira. Wis pokoknya gagah lah aku. Aku yakin banyak orangtua di desaku yang iri karena anak-anaknya nggak ada yang kerja di pelayaran sepertiku,” ucap Nabil.

Pamer kerja enak dan gaji besar ke nelayan

Di momen kepulangan yang hanya sebentar itu, Nabil menghabiskan malam di warung kopi desa. Biasanya ada bapak-bapak nelayan dan anak-anak muda teman masa kecil Nabil nongkrong.

Karena ingin tampak gagah, maka Nabil membual kepada mereka tentang pengalamannya satu tahun kerja di kapal feri.

“Enak lah, di kapal feri banyak fasilitas. Ada kamar tidur untuk awak kepal. Makanan enak-enak, kerja nggak kena panas atau hujan seperti nelayan di desa. Tapi kalau ditanya aku kerjaanya apa? Aku nggak jawab petugas kebersihan. Aku jawab saja ngontrol kapal, ada yang beres atau nggak beres, biar sangar, Pak,” katanya.

Bahkan, kepada orang-orang desa, Nabil dengan penuh percaya diri membual soal gajinya. Gaji Rp4 juta tapi bilang Rp8 juta.

“Mbok aku diutangi, Bil.” Kata Nabil, begitulah respons dari orang-orang yang menyimak bualannya.

“Aku tabung, Pakde, nanti untuk beli tanah , buat rumah,” jawab Nabil. Dia tahu belaka, membeli tanah bagi orang desa adalah tingkatan paripurna seseorang. Tentu akan terdengar sangar jika seorang anak muda seperti Nabil bisa membeli tanah bahkan tanpa bantuan orangtuanya.

Berjibaku dengan bau pesing dan kecoa

Bualan hanya bualan. Untuk menutupi hal tidak menyenangkan yang sebenarnya terjadi.

Sejujurnya, di tahun pertamanya kerja pelayaran sebagai awak kapal feri, Nabil sudah mulai tidak kerasan. Adaptasinya cukup berat.

Meski hidup di lingkungan nelayan sejak kecil, Nabil sebenarnya hanya beberapa kali saja melaut, ikut mencari ikan bapaknya.

“Kerjanya ternyata berat sekali. Capek sekali sebagai petugas kebersihan kapal. Walaupun petugasnya ada banyak juga, tapi membersihkan kapal segede itu tiap hari ya tetep kerasa,” kata Nabil. Dia bisa bekerja hingga 12 jam perhari.

Paling berat adalah membereskan bekas kekemprohan penumpang. Misalnya penumpang yang muntah sembarangan kalau mabuk laut hingga bekas mencret penumpang di toilet yang tidak disiram dengan tuntas.

Apalagi Nabil kerap bertugas membersihkan toilet. Bau pesing yang amat pesing menjadi bau yang harus hidungnya hirup setiap hari. Belum lagi kecoa-kecoa yang meski sudah dia semprot dengan obat pembasmi, tapi seperti terus berdatangan dan berlipatganda. Inilah bagian-bagian yang dia sembunyikan, tidak dia ceritakan kepada orang desanya.

Bayangan enak hidup di rumah

Bisa dibilang, Nabil harus bekerja dalam situasi lembab terus-menerus. Sebagai petugas kebersihan, dia harus siap basah—baik oleh air maupun keringat. Perpaduan sempurna untuk menciptakan bau badan yang semriwing.

Itupun kadang dia hanya bisa mandi beberapa hari sekali saja, dengan sekadarnya. Dia baru bisa mandi sepuasnya untuk menyegarkan badan ketika kapal sudah sandar.

Jika sudah begitu, dia kangen betul dengan bak mandi di rumahnya. Tubuh berkeringat dan sumuk diguyur air dari bak mandi sepuasnya, pasti segar sekali.

“Kata siapa tidur juga enak. Nggak lah. Sakit semua. Itu sering bikin kangen dengan rumah,” kata Nabil.

Lebih dari itu, sering kali dia tiba-tiba diserang kecemasan. Meski cuaca di laut tampak cerah dan berombak tenang, tapi dia sering membayangkan jika tiba-tiba kapal feri tempatnya bekerja mengalami masalah lalu tenggelan. Itu membuatnya gemetar sendiri.

Sialnya, bayangan itu selalu merayap di tempat tidurnya sesaat sebelum dia tertidur. Maka dia akan tidur dengan sangat tidak jenak karena terbangun-bangun oleh mimpi buruk.

“Dua tahun kerja pelayaran, dua kali puasa dan lebaran aku jauh dari kampung halaman. Itu juga menyiksa batin. Kangen dengan es sirup buatan ibu,” tutur Nabil.

Akhir sebagai pecundang

Nabil hanya kuat dua tahun setengah bekerja sebagai awak kapal feri. Setelahnya dia memutuskan pulang ke Juwana.

“Awalnya aku nggak ngaku kalau aku keluar. Kalau ada orang tanya, aku cuma bilang lagi libur panjang,” beber Nabil.

Hingga berbulan-bulan kemudian, tanpa Nabil menjelaskan lebih banyak, orang-orang desanya sudah tahu kalau Nabil keluar. Barangkali ibunya sempat keceplosan saat ditanya tetengga.

“Kok eman, Bil, kerja pelayaran enak, gaji gede, malah dilepas.” Jika ada seloroh semacam itu, Nabil hanya merespons dengan tawa getir sambil beralasan kalau dia ingin dekat orangtua di rumah.

Lambat laun, banyak orang desa akhirnya tahu kalau selama ini Nabil hanya membual soal enaknya kerja sebagai awak kapal feri. Itu pada akhirnya membuat Nabil malu sendiri.

Terlebih, hingga saat inipun, Nabil akhirnya harus kerja serabutan. Kadang kala dia juga harus ikut melaut mencari ikan.

“Tapi bapak bilang, kerja apa saja disyukuri,” kata Nabil.

“Sebenarnya aku nggak masalah kerja apa saja. Cuma sekarang kepalang malu dulu menyombongkan ini-itu yang sebenarnya kebohongan saja, jadi seperti pecundang,” sambungnya.

Kepada pembaca Mojok, itulah yang hendak Nabil tekankan: jadilah manusia yang biasa saja. Kerja keren ya biasa saja, jangan sombong. Kerja biasa saja ya dinikmati apa adanya, jangan berlindung dalam kebohongan.

Kata Nabil, kebohongan dan kesombongan kapan saja bisa kembali menjadi karma buruk bagi seseorang.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Coba-coba Boker di Toilet Bus Patas, Niat Legakan Perut Malah Dibikin Waswas hingga Repot saat Cebok atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

Exit mobile version