Selama ini, Wonogiri kerap dipandang sebelah mata. Namun, bagi beberapa orang, kabupaten ini bisa menjadi tempat slow living yang ideal.
***
“Ada apa nih pagi-pagi, tumben nelpon?,” ucap Aldi, dengan suara lantangnya yang terdengar dari sambungan telepon. Pagi itu, saya menghubunginya secara tiba-tiba, tanpa nge-chat terlebih dahulu.
Kami memang saling menyimpan kontak Whatsapp. Kami juga kerap melihat story satu sama lain. Namun, terakhir kali saya menghubunginya, baik chat maupun sambungan telepon, kira-kira enam bulan lalu. Makanya, bagi dia cukup mengherankan tiba-tiba saya saja saya menelpon di waktu pagi.
“Oke, deh. Mau cari sarapan dulu sama istri, ya. Sambung nanti aku kabarin lagi,” katanya, menerima permintaan wawancara saya pagi itu.
Saya sendiri sudah lama mengenal Aldi. Kami bertemu kira-kira 10 tahun lalu dalam acara Urban Fest 2014 di Wonogiri. Kala itu, band saya tampil sebagai salah satu pengisi acara. Sementara Aldi, yang saat itu masih menjadi mahasiswa di UNS Solo, menjadi volunteer di salah satu booth.
Kami ngobrol ngalor-ngidul soal musik. Karena punya kesamaan preferensi genre, kami pun akhirnya saling follow akun IG. Sampai akhirnya, kami saling menyimpan nomor Whatsapp meski berkontak seperlunya saja.
Terakhir saya bertemu dengannya adalah saat perhelatan Rock In Solo 2024 lalu. Uniknya, kami tak pernah janjian, tak pernah berkontak, tiba-tiba saja dipertemukan dalam kerumunan metalhead.
Meninggalkan gemerlap ibu kota
Setelah lulus kuliah dari UNS pada 2015 lalu, Aldi memutuskan bekerja untuk salah satu agensi di kota asalnya, Jakarta. Gajinya cukup lumayan. Namun, pada 2017, dirinya berhadapan dengan sebuah dilema.
Aldi bercerita, ketika dirinya bermaksud menikahi pacarnya, perempuan asal Solo yang ditemui saat kuliah, syaratnya bikin rumit.
“Kata calon mertua, aku kami nggak boleh keluar Jawa. Maksudnya Jawa Tengah. Artinya, kalau kami nikah, nggak boleh bawa istri ke Jakarta soalnya dia anak tunggal,” kisahnya.
Mau tak mau, Aldi pun harus menyanggupinya. Beruntung baginya, dia mendapatkan pekerjaan serupa tak lama setelah menikah. Memang gajinya lebih kecil ketimbang saat di Jakarta. Namun, untuk ukuran Kota Solo, angkanya masih tergolong lumayan kala itu.
“Masih cukup lah buat nabung dikit-dikit. Soalnya kami berpikir buat punya rumah sendiri, tapi yang nggak jauh dari rumah orang tua istriku.”
Melipir ke Wonogiri saat Covid-19 melanda
Pada pertengahan 2019, Aldi dan istrinya pindah ke Wonogiri. Tempatnya tak jauh dari pusat kota. Mereka tanah di sana pada 2018 dan membangun rumah sedikit demi sedikit sampai akhirnya tuntas setahun kemudian.
Alasan pindah, mereka menginginkan kebebasan tapi tetap mudah mengunjungi orang tua istri. Mereka tak membeli rumah di Solo karena harga tanah cukup mahal dan sudah terlalu padat dengan manusia.
“Sebetulnya gambling, ya. Soalnya jarak ke tempat kerja itu kira-kira 40 menit. Jadi ya lumayan capeknya. Cuman ya kami punya kebebasan karena nggak tinggal lagi sama mertua,” jelasnya.
Sialnya, awal 2020, pandemi Covid-19 melanda. Banyak industri lumpuh total. Aldi mengaku bakal kena dampak serius. Tapi untungnya, selama pandemi kantornya tetap bisa survive karena bergerak di bidang industri kreatif. Hanya saja, karena kebijakan PPKM dan sejenisnya, ia harus WFH dari Wonogiri.
“Kira-kira waktuku selama pandemi itu habis di rumah buat kerja. Nah, itu semacam jadi momen penyadaran ‘anjir, ternyata hidup di Wonogiri seenak ini’.”
Dapat cuan besar di kabupaten yang UMR-nya rendah
Secara teknis, Wonogiri menjadi salah satu kabupaten yang “UMR-nya tiarap”. Per 2025 ini, angkanya berada di Rp2,1 juta. Dua atau tiga tahun lalu, saat Aldi baru menetap, tembus dua juta rupiah saja tidak.
Namun, itu tak berpengaruh bagi Aldi. Selama pandemi, memang ada penyesuaian gaji. Tapi untungnya, ia mendapatkan tawaran pekerjaan lain di bidang informatika oleh sebuah perusahaan internasional yang berbasis di Amerika Serikat. Gajinya dolar.
“Walaupun upahnya by project, tapi dalam sebulan kalau ditotal bisa dua kali gajiku di kantor waktu itu,” jelasnya.
Alhasil, Aldi pun amat menikmati kehidupannya. Bahkan, pada akhir 2021 ia memutuskan buat resign dari kantor karena merasa project dari luar negeri lebih menjanjikan.
Poin plusnya, ia tak perlu kantor karena bekerja WFH. Pekerjaan pun amat fleksibel, bisa dikerjakan kapan saja dan di mana saja.
“Enaknya kan waktu Amerika itu kebalikan waktu kita, kalau kita malam mereka pagi. Jam kerjaku rata-rata cuma 5 jam sehari, mulai sore kelar jam 8 malem. Itu pun kadang cuma 3 hari seminggu. Dan, cuannya lebih banyak,” kata Aldi.
Slow living di Wonogiri
Ada banyak hal yang membuat Aldi amat menikmati hidupnya. Selain ia tak punya masalah dalam hal finansial, waktunya buat keluarga juga lebih banyak. Ia bisa membantu istri mengurus anaknya yang kini berusia dua tahun.
“Senang aja rasanya. Kayaknya kehidupan kayak begini nggak bakal didapatkan kalau aku masih kerja kantoran. Apalagi di Jakarta,” ungkapnya.
Bagi Aldi juga, Wonogiri adalah kota yang ideal untuk tinggal. Terutama jika lokasinya berada tak jauh dari pusat kota.
Alasannya, kuliner enak tak kurang-kurang di sini. Sepengalaman Aldi, warganya juga ramah-ramah. Belum lagi kalau ngomongin biaya hidup yang murah.
Meski tak punya mal atau bioskop, kalau pun butuh hiburan lokasinya tak jauh-jauh amat. Tinggal berkendara ke Solo yang jarak tempuhnya tak sampai satu jam.
“Definisi slow living itu kayak begini mungkin ya. Jalani apa aja yang disuka, habiskan waktu buat keluarga. Nikmati momen bersama tanpa diburu-buru pekerjaan,” ucapnya.
Di akhir obrolan, saya nyeletuk: “tapi ‘kan slow living kayak kamu ada syaratnya, harus punya cuan dulu ‘kan?”
“Ya. Itu juga faktor. Tapi toh punya banyak duit tapi hidup di Jakarta rasanya bakal tetap beda, cobain aja,” pungkasnya, menutup obrolan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pracimantoro, Kecamatan Miskin di Jawa Tengah yang Kebaikan Warganya Menyelamatkan Nasib Banyak Orang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.