Cikarang, Jawa Barat, boleh dibilang menjadi jujugan ideal bagi para pencari nafkah. Di kota ini, industri bertumbuh; pabrik dari perusahaan-perusahaan besar berdiri di mana-mana. Dan yang pasti, gaji UMR-nya juga tinggi: Rp5,5 juta per bulan.
Itulah mengapa banyak orang mendambakan bisa bekerja di Cikarang. Sampai pada tahap ekstrem, misalnya, mereka rela menggunakan joki lamaran kerja dan orang dalam buat bisa kerja di kota tersebut. Fenomena ini pernah Mojok tulis di sini.
Namun, Cikarang tak melulu soal pabrik. Cerita soal pekerjanya juga menarik buat dibahas. Salah satunya adalah kos-kosan yang memotret dinamika dan sisi lain (atau sisi gelap) mereka.
Kos-kosan 1.000 pintu Cikarang
Di Cikarang, ada satu tempat bernama kos-kosan 1.000 pintu. Disebut demikian karena sepanjang permukiman adanya hanya kamar kos yang berjajar.
Bahkan, ada yang mengibaratkan. Kalau rusun itu berupa bangunan yang isinya “tumpukan” kamar-kamar, di kos-kosan 1.000 pintu kamar-kamar ini berderet memanjang.
Salah satu kontributor Mojok pernah menghitung kalau jumlah kamar kos yang sebenarnya bukan 1.000, tapi malah lebih. Yakni 2.600-an kamar.
Yang bikin permukiman ini menarik bukan soal jumlah kamar kosnya yang banyak. Tapi kehidupan para penghuninya.
Saya sendiri berbincang dengan dua orang kawan yang saat ini bekerja di Cikarang–dan ngekos di kosan 1.000 pintu. Mereka membagikan sisi gelap pekerja yang tinggal di tempat tersebut hingga menyebut kalau kos-kosan 1.000 pintu adalah “Las Vegas-nya Cikarang”.
Ada harga, ada kualitas, dan “ada plus-plusnya”
Baron (27) tinggal di kos-kosan 1.000 pintu sejak setahun yang lalu. Ada tiga alasan mendasar mengapa ia memilih tinggal di tempat tersebut.
Pertama, lokasinya dekat dengan tempat kerjanya di kawasan Mekarmukti, Cikarang Utara, cukup 3-5 menit mengendarai sepeda motor. Kedua, harganya murah, Rp700 ribu per bulan. Dan ketiga, yang bikin dia tak berpikir dua kali, kosannya bebas.
“Awalnya dikasih tahu teman yang udah duluan ngekos di situ. Dijelasin ini itu, tapi pas sampai bagian: ‘kosnya bebas’, langsung nggak pikir panjang buat ambil,” ujarnya bercerita kepada Mojok, Selasa (28/1/2025).
Sejak masih kuliah di Jogja, Baron memang selalu mencari kos-kosan yang bebas. Paling tidak yang tempatnya tidak jadi satu dengan pemilik kos.
“Bukan apa-apa. Malas aja kalau ngekos yang ada pemilik kosnya. Ngerasa kurang bebas aja. Tapi ini konteksnya bukan buat nakal lho ya,” imbuhnya.
Pekerja Cikarang ini juga menjelaskan, kendati dia mendapatkan kos murah, tipe-tipe kamar di kosan 1.000 pintu ini beda. Menurut yang dia tahu, dari ribuan kamar kos yang berjajar ini, pemiliknya tidak tunggal.
Makanya, ada yang menawarkan harga murah, mulai Rp700 ribu per bulan tapi kosongan–seperti miliknya. Namun, tak sedikit juga yang harganya lebih mahal dikit, tapi isian. Dan, banyak juga yang menyediakan kamar lebih luas, ber-AC, isian, dengan harga di atas Rp1,5 juta.
“Ada harga ada kualitas. Makin mahal, makin eksklusif, makin ada plus-plusnya juga. Hahaha,” kelakarnya.
Baca halaman selanjutnya…