Mustika (23) harus putar otak saat lebaran kemarin agar isi kantongnya tak terkuras habis, dan utangnya tak semakin menumpuk. Meski sudah tiga bulan kerja di Jakarta, fresh graduate asal Jogja ini belum menikmati kemewahan UMR ibu kota. Padahal, di kampung halaman, ortunya sudah gembar-gembor soal kesuksesannya.
Sejak Januari 2024 lalu, Tika, sapaan akrabnya, dapat kerja kantoran di Jakarta. Lulusan Sastra Inggris PTS Jogja ini bekerja sebagai content writer di salah satu media online ibu kota.
Sebenarnya, perjalanan karier Tika cukup mulus. Setelah menyelesaikan studinya selama 4 tahun, hanya berselang sebulan dari sidangnya ia langsung dapat kerja.
“Baru wisuda Februari kemarin. Bisa langsung dapat kerja karena beberapa alumni kampusku juga bekerja di sana duluan,” kata Tika kepada Mojok, Jumat (26/4/2024) lalu.
Sejak masih kuliah, Tika memang sudah merencanakan buat kerja di luar Jogja. Sebab, UMR Jogja yang menurutnya “masih segitu-gitu” saja masih tak akan cukup buat memenuhi kebutuhan hariannya. Apalagi ia merupakan anak tertua; ayahnya kerja sebagai petugas kebersihan (honorer) di sebuah SMP, ibunya tidak bekerja, sementara dua adiknya masih sekolah. Sehingga, tanggung jawab ekonomi keluarga ada di pundaknya.
“Masih nggak nyangka sih bisa langsung dapat kerja, apalagi di Jakarta. Jelas dong awalnya punya ekspektasi tinggi,” ujarnya, bercerita mengenai kebahagiaanya saat awal diterima kerja di Jakarta.
Dapat gaji di Jakarta setara rata-rata upah di Jogja
Saat dapat tawaran kerja dari salah satu alumni kampusnya, tanpa pikir panjang Tika langsung menerimanya. Ia bahkan belum menanyakan berapa gaji yang ditawarkan, sejauh mana jobdesk yang harus ia kerjakan, hingga hak dan kewajibannya sebagai pegawai di media online tersebut.
“Bare minimum pekerja Jakarta ya serendah-rendahnya gaji di sana pasti lebih tinggi dari UMR Jogja. Itu dulu aku mikirnya gitu,” jelasnya.
Sayangnya, saat penandatanganan kontrak, Tika cukup kaget. Gaji yang ditawarkan tak lebih besar dari rata-rata upah pekerja di Jogja.
Hingga saat ini, Tika hanya menerima gaji Rp2,6 juta per bulan. Sementara per 2024, UMR Jakarta adalah sebesar Rp5,06 juta. Artinya, gaji yang ia terima hanya setengah UMR Jakarta, bahkan cuma sedikit di atas UMR Jogja yang berada di angka Rp2,4 juta.
“Aku sudah nggak bisa nolak itu. Maksudku, kapan lagi dapat kesempatan baru lulus langsung dapat kerja. Orang tua juga udah aku pamitin dan ngesupport, meski mereka tahunya gajiku 5 jutaan,” katanya.
Soal ritme dan beban kerja, sebenarnya Tika tak terlalu mempermasalahkannya. Ia cukup menikmati lingkungan kerja yang nyaman dan beban kerja yang masih wajar. Hanya saja, hidup di Jakarta dengan gaji underpaid bikin dia kudu pontang-panting.
Kerap ngasih transferan ke ortu pakai duit hasil ngutang
Gaji Rp2,6 juta per bulan, tentu jauh dari kata cukup. Apalagi Tika hidup di Jakarta yang apa-apa serba mahal.
Saat tanggal gajian tiba, uang Rp1 juta sudah harus enyah dari rekeningnya. Rp500 ribu buat bayar kos dan Rp500 ribu lagi buat transfer ke orang tuanya. Artinya, buat hidup selama sebulan, Tika hanya mengandalkan uang satu setengah juta buat pegangan.
“Aku rela cari kos seadanya yang biaya sewanya murah karena kalau ngitung pengeluaran, ya paling mungkin memang cari kos yang 500 ribuan,” kata dia.
Belum lagi pada pertengahan bulan, orang tuanya ada saja kebutuhan mendesak. Tika pun mau tak mau kudu transfer uang lagi ke mereka. Sialnya, uang di rekeningnya cuma cukup buat makan.
Alhasil, mau tak mau Tika kudu ngutang sana-sini. Gali lubang tutup lubang pun kerap ia lakukan demi menunjukkan ke orang tuanya kalau dia sudah “sukses” di Jakarta.
“Kadang sedih juga, sih. Ingin jujur ke orang tua kalau di Jakarta aku masih susah, takut bikin mereka kecewa.”
Baca halaman selanjutnya…
Pontang-panting saat lebaran karena pengeluaran sangat besar
Lebaran kemarin jadi momen bagaimana Tika amat mengkis-mengkis dengan kehidupannya. Bagaimana tidak, sejak awal ia sudah menghitung bahwa antara pemasukan dan pengeluarannya bakalan minus.
Gajinya tak seberapa, sementara THR pun masih seuprit karena baru tiga bulan kerja. Sementara untuk tiket mudik, membeli segala macam kebutuhan lebaran, hingga bagi-bagi duit THR ke saudara dan anak-anak kecil lain, bikin dompetnya ketar-ketir.
“Intinya kalau aku itung-itung, antara duit yang kupunya sama yang kukeluarin, banyakan yang keluar lah,” tegasnya.
Pada akhirnya, di balik kebahagiaan keluarga besar, kebanggan orang tua kepadanya, dan senyum lebarnya saat Idul Fitri lalu, ada kepiluan di lubuk hatinya yang terdalam. Utangnya yang dulu saja belum sepenuhnya lunas, kini sudah sudah harus bertambah dengan utang lain demi terlihat “mapan” di mata orang tuanya.
“Ya jalani dulu saja lah ini yang di depan mata, sambil berharap naik gaji,” kelakarnya sambil tertawa.
“Tapi jujur sih, kalau sampai 6 bulan masih gini-gini aja, ada baiknya aku pertimbangin buat balik cari kerja di Jogja demi kesehatan mentalku,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News