Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha

Era transaksi non-tunai/pembayaran digital seperti QRIS: uang tunai ditolak, bisa ciptakan kesenjangan sosial, hingga sanksi pidana ke pelaku usaha MOJOK.CO

Ilustrasi - Era transaksi non-tunai/pembayaran digital seperti QRIS: uang tunai ditolak, bisa ciptakan kesenjangan sosial, hingga sanksi pidana ke pelaku usaha. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Penggunaan metode pembayaran non-tunai—seperti QRIS—di satu sisi memang memudahkan sebagian masyarakat. Khususnya orang-orang yang sudah terhubung dengan piranti digital. Rasanya lebih praktis: tinggal scan barcode di layar ponsel, menuliskan nominal uang, lalu proses transaksi selesai.

Namun, penggunaan metode pembayaran digital seperti QRIS, harus disikapi lebih arif oleh para pelaku usaha. Sebab, itu hanya bagian dari metode pembayaran yang sah. Bukan satu-satunya. Begitu yang ditekankan oleh Dosen Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSURA), Fatkur Huda.

Fatkur mencoba berkaca dari kasus yang belum lama ini viral di media sosial: Seorang nenek yang ditolak saat hendak membayar pakai uang tunai di sebuah gerai roti terkenal. Alasannya, pihak gerai hanya bisa menerima pembayaran digital.

Komentar netizen: “Orang sepuh disuruh bayar pakai QRIS, ya mana paham? Harusnya pihak gerai lebih bijak.”

Pembayaran digital seperti QRIS didorong, tapi tunai tetap sah

Bank Indonesia (BI) memang mendorong masyarakat membayar secara non-tunai (seperti kartu debit, kartu kredit, uang elektronik, mobile banking, internet banking, BI-FAST, hingga QRIS).

Dorongan itu mempertimbangkan faktor kecepatan, keamanan, kemudahan, mudah, dan handal. Selain itu, penggunaan non-tunai juga bertujuan agar masyarakat terhindar dari uang palsu.

“Namun demikian, keragaman demografi dan tantangan geografis serta teknologi Indonesia maka uang tunai masih sah, sangat diperlukan dan dipergunakan dalam transaksi di berbagai wilayah,” jelas Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, mengutip Kompas.com.

Kesenjangan literasi digital masih nyata

Sejalan, Fatkur mengingatkan bahwa tidak semua masyarakat memiliki kemampuan dan akses yang sama terhadap layanan keuangan digital seperti penggunaan QRIS dan sejenisnya.

Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dirilis OJK dan BPS, indeks literasi keuangan nasional tercatat sebesar 66,46%. Sementara inklusi keuangan mencapai 80,51%

“Angka ini memang menunjukkan peningkatan, tetapi kesenjangan masih nyata, terutama di wilayah pedesaan. Kelompok usia lanjut dan remaja juga masih memiliki tingkat literasi digital yang relatif rendah,” jelas Fatkur dalam keterangan tertulisnya di UMSURA.

Pembayaraan digital seperti QRIS penting, tapi harus patuh hukum dan punya empati sosial

Menurut Fatkur, kondisi tersebut menegaskan bahwa uang tunai masih sangat dibutuhkan oleh sebagian masyarakat. Penolakan terhadap pembayaran tunai—(dengan hanya menerima transaksi melalui QRIS misalnya)—berpotensi menutup akses kelompok tertentu untuk bertransaksi dan pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan sosial.

Digitalisasi pembayaran memang penting untuk mendorong efisiensi ekonomi nasional. Akan tetapi, lanjut Fatkur, penerapannya harus dilakukan secara inklusif. Pelaku usaha seharusnya tetap menyediakan opsi pembayaran tunai sebagai bentuk kepatuhan hukum sekaligus empati sosial.

“Kemajuan teknologi seharusnya mempermudah kehidupan masyarakat, bukan justru menyulitkan,” ujar Fatkur.

“Pembayaran tunai dan digital perlu berjalan berdampingan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat ekonomi modern tanpa kehilangan hak dasarnya sebagai pengguna rupiah,” tegasnya.

Pelaku usaha tolak pembayatan tunai: bisa kena sanksi pidana

Sebagai penutup, Fatkur menunjukkan dasar hukum sahnya pembayaran tunai di era masifnya pembayaran digital seperti QRIS sekarang ini, yakni Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

“UU tersebut secara tegas melarang setiap pihak menolak pembayaran menggunakan rupiah, kecuali jika terdapat keraguan terhadap keaslian uang tersebut,” ujar Fatkur.

Lebih lanjut Fatkur menjelaskan, pelaku usaha yang menolak pembayaran tunai dapat dikenai sanksi pidana. Yakni berupa kurungan paling lama satu tahun serta denda maksimal Rp200 juta.

Ketentuan ini, sambung Fatkur, dibuat untuk melindungi hak masyarakat dalam bertransaksi dan memastikan kedaulatan rupiah tetap terjaga.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Drama dan Keribetan Hidup Tiap Bayar Pakai QRIS, Bikin Panik dan Malu-maluin Diri Sendiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

Exit mobile version