Purwokerto yang belakangan disebut-sebut nyaman pernah memberi kenangan menyakitkan pada orang Surabaya, hingga tak mau lagi pergi ke sana.
***
Purwokerto belakangan viral lantaran ucapan dari komika senior Pandji Pragiwaksono. Ia menyebut kalau Purwokerto adalah tampat paling nyaman baginya. Memang tak seistimewa Jogja. Tapi kota kecil di Jawa Tengah tersebut memberikan kenyamanan yang tak bisa Jogja berikan.
Awalnya, memang begitulah pandangan dari Dipta (26) tentang Purwokerto. Ia bahkan sudah Menyusun sekian rencana untuk pindah dari Surabaya untuk menetap dan menua di sana.
Sayangnya, kenangan menyakitkan di Purwokerto membuat pemuda asli Surabaya itu urung. Purwokerto memang nyaman dan tenang. Tapi menyimpan kisah dan kenangan menyakitkan yang sulit ia lupakan.
Turun Gunung Slamet bertemu perempuan idaman
Dalam kamus pendaki, memang ada ungkapan: kurang afdal jika tidak menuntaskan gunung 3S di Jawa Tengah. Yakni Gunung Sindoro, Sumbing dan Slamet.
Setelah khatam dengan gunung-gunung di Jawa Timur (kecuali Gunung Raung di Banyuwangi), Dipta lalu mulai menyisir gunung-gunung di Jawa Tengah. Sindoro-Sumbing pun sudah ia jelajahi.
Hingga akhirnya pada 2021 silam ia memutuskan untuk mendaki Gunung Slamet lewat via Banyumas. Di gunung inilah ia kemudian bertemu dengan pendaki perempuan asal Purwokerto yang membuatnya jatuh hati.
“Turun dari Slamet sempat nyantai-nyantai dulu kan di Purwokerto. Ternyata setenang itu. Sejuk, orangnya ramah-ramah,” ujar Dipta.
Mirip seperti Pacet Mojokerto, tapi Purwokerto lebih baik lah. Karena meskipun kecil, tapi aksesabilitasnya jauh lebih gampang,” tutur penjual tembakau asal Surabaya tersebut kepada Mojok, Minggu (23/6/2024).
Ia merasa sefrekuensi saja dengan perempuan asal Purwokerto tersebut. Sehingga terjalin lah hubungan romansa antar keduanya.
Ingin menua di Purwokerto
Sejak saat itu, Dipta menjadi lebih sering bolak-balik Surabaya-Purwokerto. Di samping untuk bertemu kekasih, juga berniat menepi sejenak dari hiruk-pikuk Surabaya yang sumpek dan penuh ketergesa-gesaan.
Bagi Dipta, setiap masuk Purwokerto, pikirannya langsung segar. Hatinya langsung lepas dari kesumpekan yang membelenggunya dari Surabaya.
Selama di Purwokerto, kekasihnya kerap mengajaknya pergi ke tempat-tempat indah di Purwokerto. Tempat yang membuatnya kian betah dan nyaman.
“Asli pagi di Purwokerto itu pagi yang menyenangkan. Apalgi yang di desa. Aku pagi-pagi minum kopi di teras rumah, terus ada pemandangan warga berangkat ke sawah atau ladang dengan riang. Sesekali mereka menyapa,” tutur Dipta.
Pemandangan tersebut adalah pemandangan yang mustahil ia lihat di Surabaya. Karena di pagi hari, orang-orang sudah tampak bergegas, buru-buru berangkat ke tempat kerja dengan wajah tegang karena harus berhadapan dengan kemacetan.
“Bahkan di titik yang disebut sebagai “kota” pun, situasinya bener-bener sangat slow. Harga-harga juga masuk akal. Gaji kecil hidup di sini sepertinya akan tetap aman,” ungkap Dipta.
Oleh karena itu, ia mantap ingin menua di Purwokerto. Setelah menikah, ia akan membangun bisnis tembakau kecil-kecilannya di sana. Menikmati hidup dengan hati yang gembira.
Baca halaman selanjutnya…
Kenangan menyakitkan yang bikin tak mau ke sana lagi
Kenangan menyakitkan di Purwokerto
Pada 2022, setelah segala upaya seriusnya untuk menikahi sang kekasih, tiba-tiba hal menyakitkan itu datang.
Saat itu Dipta datang ke Purwokerto tidak untuk main atau healing sebagaimana yang sudah-sudah. Tapi ia ingin bertemu dengan bapak sang kekasih untuk menyatakan keseriusannya.
Setiba di Purwokerto, sang kekasih justru tak berkenan kalau Dipta bertemu bapak sang kekasih hari itu. Bukan semata persoalan kekasih Dipta belum siap menikah, tapi ada kisah masa lalu yang belum tuntas.
“Ternyata ia belum move on dari mantannya. Ia ngaku kalau masih sering berharap mantannya bakal balik lagi buat melamarnya,” ungkap pemuda asal Surabaya tersebut.
Dipta benar-benar sakit mendengar itu. Akan tetapi ia masih mau mengerti dengan memberi waktu pada sang kekasih: untuk pelan-pelan melupakan mantan. Dipta pun akhirnya kembali ke Surabaya dengan dada yang sesak.
Alih-alih melupakan, sang kekasih justru semakin menunjukkan harapannya untuk kembali dengan mantannya. Nyeseknya, sering kali sang kekasih membanding-bandingkan Dipta dengan sang mantan. Entah melalui WhatsApp atau melalui curhatan di X.
“Akhirnya kami sering bertengkar hebat. Akhirnya aku lelah. Akhirnya hubungan kami berakhir,” ungkap Dipa diiringi tawa kecil.
“Purwokerto memang nyaman. Masih nyaman. Orang-orangnya juga sangat ramah. Tapi aku nggak bisa lagi ke sana. Kenangannya kelewat menyakitkan,” tutup Dipta.
Ternyata tak senyaman kata Pandji
Entah kapan terakhir kali Pandji main ke Purwokerto. Karena kata Yanuar Abdillah Setiadi, Purwokerto kini justru lebih layak ditinggalkan ketimbang jadi tempat tinggal.
Kontributor Mojok yang tinggal di Purwokerto itu sempat merangkum daftar “kekacauan” yang membuat Purwokerto sudah tak nyaman lagi (baca selengkapnya di sini).
Purwokerto kini sudah tak slow lagi. Harga-harga juga makin naik. Juga fakta bahwa Purwokerto sebenarnya sudah tak sejuk-sejuk amat.
Yanuar menyebut kalau Purwokerto saat ini juga mulai terjangkit gaya hidup ala Jakarta. Menyusul banyaknya perantau dari Jakarta yang menetap di kota yang kata Pandji nyaman tersebut.
“Beberapa perkampungan juga sudah didominasi oleh mereka,” keluh Yanuar.
“Bayangkan saja, baru keluar berapa meter dari kos sudah ada logat “elu gue”. Sebenarnya, ini Purwokerto apa Jakarta, sih?” gerutunya.
Belum ketambahan isu biaya pendidikan di Purwokerto yang makin tak masuk akal.
Saya sendiri sempat berbincang dengan Mutiara (18) salah satu mahasiswa asal Tangerang Selatan yang nyaris batal kuliah gara-gara isu UKT selangit Unsoed, salah satu kampus ternama di Purwokerto.
“Confident banget buat ambil Unsoed karena (awalnya) UKT-nya lebih murah ketimbang kampus-kampus lain. Dengan begitu pasti lebih bisa meringankan orang tua dalam membiayai,” ungkap Mutiar Kamis, (2/5/2024) lalu.
Ia sempet lemes saat mendengar isu UKT Unsoed selangit. Sehingga memiliki opsi bakal tak kuliah Unsoed kalau misalnya mendapat UKT mencekik.
Baru-baru ini saya mencoba menghubunginya lagi setelah lolos UTBK Unsoed. Ia mengatakan kalau UKT Unsoed memang turun. Hanya saja ada kejanggalan. Yakni meskipun UKT turun, tapi range per kapitanya jadi naik.
Saya lalu menanyakan apakah ia akan tetap lanjut kuliah di Unsoed? Mutiara masih akan mendisukusikannya dengan ibunya sebagai orang tua tunggal yang berjuang menafkahinya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ngekos di Lowokwaru bikin Kaget dengan Rusaknya Kehidupan Mahasiswa Malang
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News