Di bawah sorot lampu dan tatapan ratusan orang di Concert Hall, Grha Budaya Taman Budaya Embung Giwangan, Jogja, lima orang—dari berbagai latar belakang profesi dan daerah—menerima anugerah atas puisi-puisi yang telah mereka kirim.
Sabtu (2/8/205) malam itu merupakan malam Anugerah Sayembara Puisi Nasional sekaligus pembukaan Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025. Gelaran yang sudah diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta: embrionya 2021, lalu lahir FSY yang terus tumbuh dari tahun ke tahun.
Saat mengetahui judul-judul puisi kelimanya, tentu saja terbesit rasa penasaran di benak saya: Memangnya apa daya tawar dari puisi lima orang di atas panggung tersebut, sehingga mengalahkan ribuan puisi-puisi lain?
Dari catatan tim Dewan Juri Sayembara Puisi Nasional FSY 2025 (Indiran Koto & tim), ada sekitar 1460-an naskah final yang masuk ke meja penjurian. Banyak sekali. Adapun lima yang kemudian dipilih menerima anugerah antara lain:

Juara 1: Astrajingga Asmasubrata – Lintasan Rakit di Muara Code
Juara 2: Badrul Munir Chair – Tabuh Keraton
Juara 3: Yana Risdiana – Pelajaran Pertama dari Sebuah Rebab
Juara 4: Khotibul Umam – Kosmologi Garam
Juara 5: S. Kamar (Lombok) – Nyesek.
Puisi: ruang untuk mengungkapkan yang tak terungkap
Menepi dari hiruk-pikuk Concert Hall dan bagian depan taman Grha Budaya, saya bersua dengan peraih juara 4, Khotibul Umam (26), di sisi belakang gedung. Wajahnya tampak sumringah sembari menenteng piagam penganugerahan.
Umam, sapaan akrabnya, adalah pemuda asal Bondowoso. Sebuah daerah di Jawa Timur yang masuk dalam kategori “Tapal Kuda” dan hampir 90% dihuni oleh suku Madura. Suku yang darahnya juga mengalir dalam diri Umam.
Umam mengaku menyukai puisi sejak SMA. Lalu persingungannya dengan dunia kepenyairan menjadi lebih intens saat dia kuliah S1 Universitas Jember (Unej). Bahkan, kini Umam merantau ke Jogja untuk melanjutkan studi Sastra Indonesia di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM). Afrizal Malna dan Goenawan Mohamad adalah nama penyair dan sastrawan yang cukup mempengaruhi Umam.
“Puisi itu bagi saya adalah ruang untuk mengungkapkan sesuatu yang sulit diungkap melalui lisan. Jadi ruangnya ya di puisi. Banyak hal yang saya resahkan dan rasakan, tapi nggak bisa saya katakan secara gamblang. Maka saya menulis puisi,” begitu cara Umam memaknai puisi.
Menelusuri muasal Madura hingga terima anugerah di Jogja
Sayembara Puisi Nasional FSY sebenarnya sudah berlangsung tiga kali ini. Namun, Umam baru saja mengetahui untuk edisi 2025.
Tak ayal jika Umam langsung tertarik untuk mencoba berpartisipasi. Meskipun tanpa ekspektasi bahwa karyanya akan memikat dewan juri.
“Saat saya lihat pengumuman itu, saya kebetulan baru baca ulang “100 Tahun Kesuciannya” Gabo (Gabriel Garcia Marquez). Di situ Gabo menceritakan sebuah awal, ketika benda-benda belum punya nama,” tutur Umam.
Dari situ, Umam lalu mencoba membayangkan, kira-kira puisi semacam apa yang bakal dia tulis untuk FSY 2025 yang bertajuk “Rampak” tersebut. Kemudian dia bertemu dengan buku kumpulan esai “Madura Niskala” karya Royyan Julian.
“Nah, saya putuskan untuk nulis tentang masyarakat Madura. Bagaimana awalnya sehingga menjadi sebuah masyarakat Madura seperti hari ini. Judulnya Kosmologi Garam,” jelasnya. Puisi yang tak Umam sangka memberinya “anugerah” di Jogja.
Jogja 10 tahun lalu yang pudar di Jogja hari ini
Sosok lain yang saya temui di gedung belakang adalah Badrul Munir Chair, pria 35 tahun asal Grobogan, Jawa Tengah.
Ternyata, tahun ini menjadi kali kedua Badrul mengikuti Sayembara Puisi Nasional FSY. Tahun sebelumnya dia hanya mentok di 20 besar. Kini dia merangsek di urutan kedua penerima anugerah.
Ketika membaca tajuk “Rampak” dalam FSY 2025, hanya satu garis waktu yang melintasi benak Badrul, yakni Jogja pada 10 tahun silam. Kira-kira 2015-an, ketika Badrul masih mengenyam pendidikan tinggi (S1 di UIN Sunan Kalijaga dan S2 UGM).
“Saya memaknai “Rampak” sebagai gerakan kolektif. Sehingga saya mencari fenomena yang bersinggungan dengan kolektivitas masyarakat,” beber Badrul.
Badrul lalu mengenang betapa guyubnya situasi masyarakat Jogja pada tahun-tahun tersebut. Sayangnya, setidaknya menurut dia pribadi, kerampakan atau keguyuban itu memudar seiring waktu.
Ilham dari kraton
Jogja 10 tahun silam, bagi Badrul, adalah Jogja yang membantunya bersinggungan secara lebih intens dengan sastra, komunitas sastra, dan segala bentuk kegiatan bersastra lain. Sehingga, jika bicara sastra atau puisi, Badrul memang tak bisa lepas dari sana.
“Bahkan ketika menulis puisi yang saya ikutkan sayembara ini, saya menulis sambil membayangkan dua orang: mendiang Iman Budhi Santoso dan mendiang Gunawan Maryanto (keduanya bergiat di Jogja),” kata Badrul.
Selain itu, ada satu nama lain, yaitu Ki Kasidi. Dalang Kraton Yogyakarta yang menjadi guru wayang bagi Badrul. Puisi Badrul berjudul “Tabuh Keraton”, sedikit banyak memang terilhami dari sosok itu.
Pengembaraan kuli bangunan
Selepas perbincangan dengan Umam dan Badrul, saya berkesempatan berbincang dengan sang juara 1—Astrajingga Asmasubrata.
Perjalanan Astrajingga (35) bersentuhan dengan puisi terbilang menarik. Awalnya, dia hanyalah lulusan SMP di Cirebon yang lantas bekerja sebagai kuli bangunan.
Astrajingga dikenal suka menyendiri. Dia mengaku tidak nyaman di tengah keramaian. Termasuk di kawasan proyek.
Maka, setiap jam istirahat nguli, dia biasanya membunuh suntuk dengan mengisi TTS di surat kabar Minggu dari Kompas. Lalu Astrajingga menyadari ternyata selain TTS, surat kabar Minggu Kompas juga menyediakan rubrik sastra: Berisi puisi dan cerpen. Dari situlah Astrajingga mulai tertarik dengan puisi.
Intuisi dan keterampilan Astrajingga dalam menulis puisi semakin terasah ketika dia akhirnya pindah ke Jogja pada 2017-sekarang. Dari bekerja di sebuah kafe sembari mengulik puisi, sampai bisa menulis puisi sendiri. Bahkan dibukukan.
Apresiasi dan rekomendasi untuk Pemda
Puisi “Lintasan Rakit di Muara Code” mengantarkan Astrajingga menjadi pemenang Sayembara Puisi Nasional FSY 2025. Lewat puisi itu, dia mencoba mencari dunia baru yang lebih terang, di tengah dunia yang penuh kekacauan dan kegelapan.
Pengembaraan Astrajingga di Jogja memang tak salah. Sebab, baginya, di Jogja karya sastra memiliki tempat khusus di arus utama, bukan pinggiran.
“Aku apresiasi sekali karena Pemda turut serta mencoba merawat kehidupan sastra,” kata Astrajingga.
“Tapi kalau bisa rekomendasi, Pemda juga harus concern dengan nasib sastrawan. Misalnya, mencatat di Jogja ada berapa penulis aktif, lalu bukunya dibeli dan dibagikan ke sekolah-sekolah. Itu lebih konkret,” tegasnya.
Upaya untuk nyawiji
Lewat Rampak, Disbud Kota Yogyakarta memang memiliki harapan besar atas pertumbuhan dunia sastra—termasuk setiap insan yang bergelut di dalamnya. Tidak hanya di Jogja, tapi juga di Indonesia seluruhnya.
Itulah kenapa, Kepala Disbud Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, berkali-kali menegaskan, tema “Rampak” mengandung makna penting berupa kebersamaan atau kerja kolaborasi.
“Dalam rampak, dengan keberagaman kita tetap bisa nyawiji, tetap kerja sama-sama, dalam kerja-kerja budaya khususnya,” ucapnya dalam pembukaan Festival Sastra Yogyakarta 2025 Sabtu (2/8/2025) malam itu.
Melihat animo masyarakat yang tinggi terhadap FSY—dari tahun ke tahun—Yetti merasa lega. Sebab, FSY akhirnya bisa dijangkau dan diakses masyarakat secara lebih luas. Baik untuk sekadar menikmati atau bahkan berpartisipasi.
“Kami berharap FSY bisa berkelanjutan dan menjadi ruang temu insan sastra dan masyarakat Jogja bahkan seluruh Indonesia. Ini menjadi salah satu perwujudan keragaman yang tetap bisa nyawiji,” tegasnya.
Malam semarak
Malam Anugerah Sayembara Puisi Nasional sekaligus pembukaan Festival Sastra Yogyakarta 2025 berlangsung semarak dengan nuansa yang artistik.
Malam dibuka dengan pembacaan puisi bertema “Rampak dan Sastra”, diiringi alunan suling yang menyayat keheningan. Suasana sakral lalu dilanjutkan dengan tembang sinden Pangkur Singgah Singgah Pangkur Gedhong Kuning (pelog nem) yang dibawakan Angita Yuri, diiringi gender oleh Pandu Jalu Wicaksono.
Sesi berlanjut dengan penampilan musikalisasi puisi “Pacar Senja” karya Joko Pinurbo oleh Paksi Raras Alit, hingga para juara Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025: Aleser Ghaizan Althaf membacakan geguritan berjudul “Kuhaku”, Atika Zahra Ratifa mendongeng dalam bahasa Jawa dengan kisah “Monyet lan Topeng Sekti”, dan Adib Zaynal Muttaqin membawakan tembang macapat “Pocung Madusita”.
Penampilan Iksan Skuter menutup malam di Jogja dengan lebih gayeng. Para pengunjung kemudian pulang dengan langkah dan wajah puas.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Sisi Magis Jalanan Maliboro Jogja Era 1960-an Bisa Jadi Renungan bagi Komunitas Sastra Hari ini atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan