PPT BLDF Kudus, Tempat Pohon-Pohon Langka Menemukan Rumahnya

Ilustrasi - PPT BLDF Kudus, Tempat Pohon-Pohon Langka Menemukan Rumahnya (Mojok.co/Ega Fansuri)

PPT BLDF di Kudus menjadi rumah bagi pohon-pohon langka dan sarat makna. Ratusan jenis pohon, mulai dari baobab, ulin, eboni, genitri, hingga aneka ficus ditanam dan dibudidayaan di sini. Warga bisa mendapatkannya secara cuma-cuma.

***

Jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi matahari sudah tinggi di Kudus. Udara terasa kering, panas memantul dari aspal jalan menuju Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae.

Namun, begitu melewati gerbang Pusat Pembibitan Tanaman (PPT) Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF), hawa berubah drastis. Sejuk, lembap, dan tercium aroma tanah basah.

Di balik deretan pohon trembesi dan mahoni, tiga rumah kaca (greenhouse) berbaris rapi memantulkan cahaya keperakan. Di sana, beberapa petugas terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

Ada yang menyemprot daun-daun muda, ada yang menyemai bibit, dan ada pula yang memberi pupuk pada batang pohon yang mulai membesar.

Di kawasan yang tenang itu, saya menemui Prinsa Paruna, Deputy Manager BLDF. Kepada saya, ia menjelaskan bagaimana tempat ini berdiri pada 1979 lalu, ketika program Djarum Trees For Life memulai misinya menghijaukan Kabupaten Kudus.

“Awalnya tempat ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan bibit berkualitas bagi penghijauan kota,” ujarnya, Selasa (7/10/2025). “Tapi dari situ kami belajar banyak tentang bagaimana menumbuhkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pohon.”

ppt bldf, pohon langka.MOJOK.CO
PPT BLDF adalah ruang konservasi yang menyimpan pengetahuan tentang bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan alam. (Mojok.co/Eko Susanto)

Seiring waktu, peran tempat ini pun berkembang. Dari pusat pembibitan, PPT BLDF berubah menjadi ruang konservasi yang juga menyimpan pengetahuan tentang bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan alam.

“Visi awalnya sederhana, menghijaukan Kudus terlebih dulu. Tapi sekarang meluas ke berbagai daerah sekaligus jadi rumah buat tanaman-tanaman langka.”

Sebagaimana dikatakan Prinsa, di kawasan yang tenang dan teduh inilah ratusan jenis tanaman, dari pohon buah hingga spesies langka, dirawat dan dibudidayakan.

PPT BLDF mulai bijak memilah, fokus pada kebutuhan alam dan masyarakat

Prinsa bercerita, awalnya PPT BLDF membudidayakan lebih dari tiga ratus jenis tanaman. Namun, kini hanya sekitar seratus jenis saja yang dipertahankan. Menurutnya, jumlah yang lebih sedikit itu justru lebih bermakna.

“Kami mulai belajar dan bijak memilah,” ujarnya. “Yang kami rawat bukan sekadar yang indah, tapi yang punya fungsi. Untuk menahan air, menjaga tanah, atau membantu ekonomi masyarakat.”

Dulu, fokus mereka pada pohon-pohon tegakan seperti trembesi, mahoni, dan eucalyptus. Namun, sejak 2024, arah itu berubah. Kini mereka menanam pohon buah. Mangga dan alpukat menjadi dua yang paling banyak dikembangkan.

“Kalau cuma pohon penghijauan, petani tidak dapat apa-apa. Tapi kalau pohon buah, mereka ikut diuntungkan.”

Ucapan Prinsa itu bukan sekadar teori. Di lereng Bukit Patiayam, misalnya, manfaatnya kini betul-betul dirasakan warga. Di kawasan yang dulu tandus dan kering, bibit-bibit mangga dari PPT BLDF mulai mengubah pemandangan: dari semak liar menjadi hamparan hijau.

Dari total lahan sekitar 250 hektar, kini sudah tertanam lebih dari 28.000 bibit mangga yang sebagian besar berasal dari PPT BLDF. Ada sekitar 337 warga yang tergabung dalam kelompok tani pimpinan Mashuri di Desa Gondoharum. Dari sekitar 15.000 pohon yang telah berbuah, rata-rata menghasilkan 30 kilogram buah per pohon, dengan potensi pendapatan mencapai Rp12,5 juta setiap musim panen.

Sejak 2024, PPT BLDF mulai menanam pohon buah. Salah satu penerima manfaatnya adalah para petani di lereng Bukit Patiayam. (Mojok.co/Eko Susanto)

Keberhasilan itu membuat tim di PPT BLDF semakin yakin: menghijaukan lahan dan menjaga keberagaman hayati adalah dua hal yang bisa berjalan beriringan.

Pohon langka dan sarat makna, semuanya ada

Misi PPT BLDF tak berhenti pada penghijauan. Menurut Prinsa, dari ratusan tanaman yang mereka rawat, beberapa termasuk dalam kategori langka. 

Ia menyebut, misalnya, baobab (Adansonia digitata) dari Afrika, ulin (Eusideroxylon zwageri) dari Kalimantan, eboni (Diospyros celebica) dari Sulawesi, hingga genitri (Elaeocarpus ganitrus) yang bijinya menjadi manik tasbih di banyak budaya Asia.

Ulin, imbuhnya, bahkan berstatus Endangered (terancam punah) menurut IUCN Red List of Threatened Species. Sementara eboni masuk kategori Vulnerable (rentan punah).

“Satu pohon saja yang berhasil kami budidayakan, sudah sangat berarti, karena memang langka,” ujar Prinsa.

Pohon-pohon yang dibudidayakan di PPT BLDF bukan cuma karena langka, tapi juga memiliki makna. (Mojok.co/Eko Susanto)

Namun, konservasi di sini tak berhenti pada kategori ilmiah. Pohon dibudidayakan bukan cuma karena langka, tapi juga memiliki makna.

“Setiap tanaman punya cerita,” katanya pelan. Ia mencontohkan beberapa pohon yang dibudidayakan seperti beringin, kepuh, dan nagasari, yang dalam budaya Jawa kerap dikaitkan dengan kesakralan dan spiritualitas.

Dalam tradisi lama, beringin melambangkan keseimbangan antara alam manusia dan alam roh. Sementara kepuh ditanam di halaman bangsawan sebagai simbol kesucian dan kejujuran.

“Kami ingin orang-orang tahu bahwa di balik tanaman-tanaman ini ada makna dan kisah. Kalau mereka tahu ceritanya, mereka akan lebih menghargainya.”

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/2018, Indonesia memiliki lebih dari 900 jenis tumbuhan dilindungi yang terancam punah di alam liar. Upaya ex-situ seperti di PPT BLDF menjadi penting, sebab banyak spesies tak lagi bertahan di habitat aslinya akibat deforestasi dan perubahan iklim.

Tantangan dan kelegaan PPT BLDF

Namun, Prinsa juga bercerita bahwa tak semua kisah berakhir bahagia. Beberapa tanaman menolak hidup di sini. Seperti kemenyan dari Sumatera, pohon penghasil getah wangi yang hanya tumbuh di ketinggian tertentu.

“Sudah beberapa kali kami datangkan, tapi belum ada yang tumbuh. Mungkin memang tak bisa dipaksa. Ada tanaman yang hanya mau hidup di tanah asalnya,” ungkapnya.

Hal serupa terjadi dengan ulin, si kayu besi Kalimantan. Biji ulin keras seperti batu, dan pertumbuhannya lambat. Kini hanya ada satu batang ulin hidup di kebun itu, hasil tukar dari Kebun Raya Bogor.

Kata Prinsa, menjaga tanaman langka memang tak mudah. Setiap spesies memerlukan mikroklimat berbeda. Biji dari hutan lembap tak selalu cocok di dataran rendah. Karena itu, sebelum menerima titipan bibit dari luar daerah, tim selalu meneliti asal-usulnya.

“Kalau tak cocok, lebih baik tetap di habitat aslinya,” ujarnya.

Salah satu pohon baobab (Adansonia digitata) koleksi PPT BLDF. Ia menjadi simbol “Pohon Kehidupan” yang mewakili ketahanan, sumber kehidupan, dan warisan budaya Afrika. (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Kendati begitu, ada pula keberhasilan yang membawa kelegaan. Salah satunya pohon nagasari (Pterospermum javanicum), yang diyakini suci dalam tradisi Jawa dan dulu dianggap hanya mau tumbuh di Jepara. Setelah bertahun-tahun gagal, mereka akhirnya berhasil menumbuhkannya.

“Rasanya senang sekali, ada perasaan lega yang susah dijelaskan.”

Tanaman seperti nagasari dan sawo kecik tergolong “tanaman sakral” karena menyimpan makna tersendiri. Di masa lalu, masyarakat menanamnya bukan sekadar untuk kebutuhan, tapi sebagai simbol etika hidup.

 “Tradisi itulah yang kami ingin hidupkan lagi,” tuturnya.

Warga juga boleh memiliki

Untuk memastikan tanaman tetap lestari, PPT BLDF menjalankan program adopsi bibit. Prinsa menjelaskan, masyarakat yang ingin mengadopsi tanaman perlu datang langsung ke tempat ini agar bisa sekaligus belajar cara merawatnya.

“Tanaman langka tak bisa sekadar dibagi,” ujar Prinsa. “Ia harus diurus seperti anak.”

Selain warga, beberapa komunitas juga datang untuk meminta bibit dalam jumlah besar, biasanya untuk kegiatan menanam pohon secara massal.

Awalnya, peminat datang dari sekitar Kabupaten Kudus. Namun, kini permintaan meluas hingga dari luar daerah. Bagi Prinsa, itu pertanda baik. 

“Selama masyarakat mau datang langsung, kami sambut dengan tangan terbuka,” ujarnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Pohon Beringin, “Si Angker” yang Menyelamatkan Sumber Mata Air di Lereng Muria atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version