Beban Kerja PPPK Paruh Waktu Mirip ASN, tapi Standard Gaji Honorer: Nasib Guru Muda Makin Tak Jelas

PPPK Paruh Waktu, honorer.MOJOK.CO

Ilustrasi - Guru Muda PPPK Ega Fansuri/Mojok.co)

Lolos PPPK Paruh Waktu tak selalu melegakan. Sebab, banyak guru muda yang malah khawatir dengan nasibnya. Kerja laiknya ASN, tapi gaji seperti honorer.

***

Setiap kali membuka grup Whatsapp “Pejuang PPPK 2024”, Rina* (25) selalu berhenti di pesan-pesan yang dikirim anggota grup. Beberapa menulis dengan nada gembira, bahagia akhirnya diterima sebagai “abdi negara”. Namun, tak sedikit juga yang bercerita getir: gaji belum cair, beban kerja tak jelas, hidup masih gitu-gitu aja.

Rina membaca pesan-pesan itu dengan jantung berdebar. Sebab, ia baru saja dinyatakan lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu. Surat pengumuman ia terima awal September lalu.

Di usia 25 tahun, lulusan sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jogja itu seharusnya merasa lega. Tahun pertama setelah lulus kuliah ia habiskan sebagai guru honorer di sebuah SMP negeri di Bantul, dengan upah tak sampai Rp500 ribu per bulan. 

Kini, statusnya resmi “ASN kontrak”. Namun, entah kenapa, perasaan lega malah tak menghampirinya.

“Saya senang, tapi juga takut. Jangan-jangan cuma ganti seragam, nasibnya tetap sama seperti honorer. Kayak teman-temanku yang lain,” katanya, Senin (13/10/2025).

Versi lain dari honorer

Fenomena PPPK Paruh Waktu mulai muncul sejak 2024 di sejumlah daerah luar Jawa. Palembang, adalah salah satu contoh paling ramai diperbincangkan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Palembang, ada 2.187 guru yang lolos seleksi dengan status paruh waktu.

Sebelumnya, di Sumatera Selatan, sekitar 6.000 tenaga honorer yang gagal seleksi PPPK penuh waktu diusulkan untuk status paruh waktu, dan 6.009 dari 6.120 yang diajukan akhirnya disetujui menjadi PPPK Paruh Waktu.

Wali Kota Palembang Ratu Dewa menyebut, langkah itu diambil agar tenaga honorer yang tak lolos seleksi penuh waktu tidak langsung hilang status. Namun, ia juga mengakui bahwa aturan teknis (juknis) dari pemerintah pusat terkait PPPK Paruh Waktu belum diterbitkan.

Bagi Rina, kabar semacam itu bukannya melegakkan, justru malah menambah kecemasannya. Ia takut ketika nanti sudah ditempatkan di luar Jawa, yang menantinya bukan kehidupan ASN yang sejahtera, melainkan versi baru dari sistem honorer yang dulu ia jalani: bergaji rendah dan tanpa kepastian.

Status guru PPPK Paruh Waktu belum diatur

Dalam peraturan ASN yang berlaku, tidak dikenal istilah “PPPK Paruh Waktu.” UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN hanya mengatur PPPK sebagai pegawai kontrak dengan hak gaji, tunjangan, dan jaminan sosial yang dibebankan ke APBN atau APBD.

Namun, dalam praktik di beberapa daerah, muncul fenomena unik: “PPPK versi hemat”. Yakni mereka yang bekerja penuh tapi digaji sesuai kemampuan kas daerah. Misalnya, seperti di Palembang tadi.

Sementara kalau mengutip laman Menpan RB, PPPK Paruh Waktu adalah pegawai non-ASN yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja paruh waktu, sebagai solusi bagi instansi pemerintah dengan keterbatasan anggaran. Gajinya? Dirapel per tiga bulan sekali, tapi detailnya tergantung kondisi daerah masing-masing.

Masalahnya, untuk mencairkan gaji per tiga bulan, seorang guru harus memiliki Sertifikat Pendidik (Serdik). Ia merupakan bukti formal pengakuan bahwa seorang guru telah memenuhi standar profesional dan kompetensi sebagai tenaga pendidik.

Cara memenuhi standard tersebut adalah dengan mengajar minimal 24 jam per minggu.

“Kami merasa, karena statusnya ‘paruh waktu’, ya beban kerja nggak se-full yang PPPK Penuh Waktu. Jadi, mau tak mau kalau mau dapat Serdik ya mengajar 24 jam seminggu,” ujarnya.

Alhasil, Rina khawatir dengan potensi ketidakjelasan antara beban kerja dan upah yang diterima. Beban kerja mau tak mau harus sama dengan PPPK Penuh Waktu, tapi gaji yang didapatkan jauh lebih kecil.

“Kalau jamnya kurang, gaji ditunda. Tapi kalau mau tambah jam, belum tentu dapat juga karena guru di sekolah sudah banyak. Jadi serba tanggung dan tak jelas.”

Cerita guru PPPK Paruh Waktu di Palembang

Kecemasan yang dialami Rina juga dirasakan Rifan* (25). Dia merupakan guru muda yang baru saja diterima sebagai PPPK Paruh Waktu di Palembang. 

Alumni salah satu PTN di Jogja ini merasa, ketidakjelasan sistem beban kerja dan pengupahan cuma bakal membebani para guru. Apalagi perantau dari luar pulau, yang harus beradaptasi ekstra dengan lingkungan baru.

“Takutnya, PPPK Paruh Waktu ini cuma honorer dengan nama baru. Statusnya beda, tapi nasibnya nggak jauh beda karena beban kerja dan gaji yang nggak pasti,” ungkapnya, Senin (13/10/2025).

Kata Rifan, persoalannya bukan sekadar lokasi penempatan. Ia memikirkan biaya hidup di rantau, kontrakan, ongkos makan, dan fakta bahwa gajinya mungkin baru cair setelah tiga bulan.

Menurut Dinas Pendidikan Palembang, ribuan PPPK Paruh Waktu memang masih dalam proses validasi. Mereka sudah mulai bekerja, tetapi administrasi kepegawaian belum tuntas. 

Kepala Dinas Pendidikan setempat bahkan menyebut bahwa jika menunggu seluruh SK selesai, sekolah akan kehilangan guru pada tahun ajaran berjalan.

Kini, guru-guru muda dari pulau Jawa seperti Rina dan Rifan masih menunggu jadwal keberangkatan. Dalam pesan terakhir dari dinas, tertulis bahwa keberangkatan akan dilakukan bertahap mulai November. 

Catatan: *bukan nama sebenarnya

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Guru Honorer Nggak Butuh “Kado” dari Presiden, Tetap Menderita dengan Gaji yang Tak Manusiawi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version