Di sekitar UGM, rindangnya pepohonan jadi tempat bernaung banyak manusia tanpa rumah bahkan tak bisa sewa kamar kos murah. Manusia-manusia ini datang dari berbagai daerah di luar Jogja.
Bahkan ketika hujan turun deras, seperti Senin (29/1/2024) lalu saat Jogja basah seharian, mereka hanya mengandalkan jas hujan sambil berteduh di bawah pepohonan. Tepatnya di Jalan Teknika di utara Fakultas Biologi UGM. Jalanan dengan panjang sekitar 300 meter dengan banyak pepohonan.
Malam hari, saat hujan mulai reda mereka mulai menata kembali barang-barang yang terkena air seharian. Saya berkendara pelan di jalanan itu, melihat manusia-manusia bercengkerama dalam gelap jalan dengan lampu penerangan yang remang.
Beberapa di antara mereka bergerombol, tiga sampai empat orang yang merupakan tukang rongsok sampai tukang becak. Namun, di antara itu ada sepasang lelaki dan perempuan yang menarik perhatian saya. Mereka berdua duduk beralaskan tikar di samping gerobak yang terparkir di selatan MM UGM.
Sang lelaki, memainkan seruling menghadap perempuan yang menatapnya dengan seksama. Pemandangan romantis di malam yang agak muram. Mereka seakan tak peduli dengan lalu lalang kendaraan yang melintas di sekelilingya.
Selepas itu, saya coba menghampiri seorang yang tengah sendiri di salah satu sudut jalan. Lelaki tua, yang dalam remangnya lampu penerangan pun penampilannya tampak kusam dan tak terawat. Saat saya datang ia tampak sedang menatap berbagai barang yang tergeletak di samping sepeda. Ada jas hujan plastik, minyak kayu putih, dan alas dari kresek yang basah sehabis hujan.
Lelaki yang mengaku bernama Gunardi ini mengaku sudah sebulan menggelandang di sekitar UGM. Datang dari Gresik menggunakan bus. Awalnya ia mengaku sedang menunggu dapat pekerjaan.
“Ada saudara di Caturtunggal tapi rumahnya sedang direnovasi,” katanya menjelaskan alasan memilih singgah di sekitar UGM.
Namun, apa pun alasannya, Gunardi tampak sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Menggelandang jauh dari kampung halaman bukan suatu pilihan yang tepat bagi orang yang mengaku berusia 55 tahun ini.
Bertahun-tahun bernaung di sekitar UGM
Sosok seperti Gunardi, jadi pemandangan yang lazim dijumpai setiap hari di jalanan UGM utara Fakultas Biologi. Dua tahun silam, tepatnya pada Februari 2022, saya pernah berkeliling di sini dan berjumpa dengan orang dari berbagai daerah, bahkan dari luar Jawa.
Saat itu saya berbincang dengan Takim (44). Dari logat bicaranya, ia bukan orang Jawa. “Saya dari Sumatera Selatan, Baturaja,” jawabnya saat saya tanya.
Takim sudah enam tahun hidup di jalanan Kota Jogja. Tiga tahun pertama ia lakoni menjadi pengamen. Namun tiga tahun belakangan ia memilih jadi pengepul rongsokan seperti sekarang. Tak banyak pilihan yang bisa ia kerjakan. Sebab tak banyak bekal yang ia bawa saat datang ke kota ini.
Sebelum ke Jogja, Takim sudah lama menetap di Bandung. Menjadi buruh di sebuah pabrik makanan yang tak ia sebutkan secara detail. Namun ada suatu halangan yang membuatnya susah untuk bekerja duduk seharian di pabrik tersebut.
“Saya ini suka kebelet kencing terus. Nggak tahu kenapa bisa begini, tapi kalau kerja di pabrik itu sulit sekali. Saya jadi ke toilet terus dan kerjaan terganggu,” ujarnya.
Tanpa anak dan istri, dari Bandung ia memutuskan mencari peruntungan di Jogja. Meski, pada akhirnya ia harus menggelandang di sekitar UGM.
Lelaki lain yang saya jumpai saat itu bernama Waikin. Ia jadi gelandangan sejak pandemi. Memilih pergi ke Jogja dari kampung halamannya di Magelang. Meski terbilang dekat dari Jogja, masalah di rumah membuatnya memilih cabut.
Baca halaman selanjutnya…
Tempat berkumpunya mereka yang hidupnya ditinggal keluarga dan penuh kepahitan
Sebelum ke sini, Waikin mengaku sempat menjajal beragam pekerjaan. Mulai dari menjadi tukang ngarit rumput di desanya hingga asisten kondektur di Terminal Magelang. Asisten kondektur maksudnya orang yang mencarikan dan mengarahkan penumpang menuju bus sesuai jurusan yang diinginkan. Jika berhasil mengarahkan, ia bakal dapat komisi dari kondektur bus.
Namun, pandemi membuat pekerjaan terakhirnya di terminal harus ia tinggalkan. “Lha sepi banget, Mas, sudah nggak ada uang di terminal,” ujar pria yang mengenakan batik lusuh ini.
Tempat berkumpulnya cerita pahit kehidupan
Kepedihan hidup yang Takim rasakan datang dari kepergian istrinya secara tiba-tiba. Saya ingat, saat itu matanya berlinang air mata saat bercerita. Kepergian istri membuatnya tak kuasa untuk tinggal di rumah. Ia menyadari bahwa saat itu tidak bisa menafkahi materi kepada istri dengan baik.
Bukan hanya Takim, barangkali setiap mereka yang berakhir menggelandang di sekitar UGM punya kepahitan hidupnya masing-masing. Hal yang membuat mereka pergi dari rumah atau terpaksa meninggalkannya.
Mereka biasanya tidur di emperan ruko sekitar Jalan Agro. Tempat yang agak teduh, namun mereka hanya bisa ke sana saat toko-toko itu tutup jelang tengah malam. Langsung harus pergi tatkala pemilik usaha hendak buka kembali di pagi hari.
Kawasan UGM pun tak selalu bisa jadi tempat singgah atau bermalam. Pasalnya, sesekali ada penertiban dari Satpam UGM. Bagi mereka, tidak ada kepastian untuk hidup, bahkan sekadar untuk membayangkan keesokan hari.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News