Pijatan Berhadiah Kemenangan: Tangan-Tangan di Belakang Layar yang Jadi Kunci Prestasi Atlet Para-Badminton

Fisioterapi: Tangan-Tangan di Belakang Layar yang Jadi Kunci Prestasi Atlet Para-Badminton (Mojok.co/Ega Fansuri)

Ada tangan-tangan tak terlihat yang menjadi kunci kemenangan para atlet olahraga para-badminton. Mereka adalah fisioterapis, yang bekerja “di belakang layar”, tapi perannya krusial.

***

Suara raket yang saling beradu bergema di GOR Manahan, Solo, Jumat (31/10/2025) sore. Di hari ketiga kejuaraan Polytron Indonesia Para Badminton International 2025 itu, sorak penonton datang bergelombang, memberi dukungan pada atlet jagoan mereka.

Dari atas tribun, semua mata tertuju ke lapangan tanding, tempat para atlet para-badminton beradu smash. Namun, di ruangan kecil di balik lapangan, suasananya jauh berbeda. Di sana, bau minyak terapi memenuhi udara. 

para-badminton, fisioterapi.MOJOK.CO
Salah satu terapis timnas para-badminton India sedang melakukan peregangan otot kepada salah satu atlet. (Mojok.co/Eko Susanto)

Di pojok ruangan, seorang pria berkacamata sedang memijat pelan betis seorang atlet India yang baru saja selesai bertanding. Tangannya bergerak cepat tapi lembut, sesekali diiringi tawa kecil.

Nama pria itu Swapnil Singh Bist, fisioterapis tim nasional para-badminton India. Sudah bertahun-tahun ia mendampingi para atlet difabel berlaga di berbagai turnamen dunia. 

Baginya, setiap pijatan bukan sekadar soal otot yang tegang, tetapi tentang memulihkan keyakinan seseorang yang hampir kehilangan kepercayaan pada tubuhnya sendiri.

“Mereka mungkin kehilangan satu bagian dari tubuhnya,” katanya sambil tersenyum. “Tapi mereka tak pernah kehilangan keberanian.”

Tawa yang berbuah medali emas di Tokyo

Dalam obrolan sore itu, ingatan Bist kembali ke Tokyo, pada 2020 lalu. Ketika ia mendampingi Krishna Nagar, atlet mungil dari Jaipur yang berlaga di kelas SH6—kategori bagi pemain bertubuh pendek (dwarfisme). 

Bagi Bist, kerja-kerja fisioterapi bagi atlet difabel bukan sekadar penanganan otot, tapi juga soal motivasi dan kepercayaan diri. (Mojok.co/Eko Susanto)

Saat itu, Nagar akan menghadapi lawan tangguh dari Hong Kong di final Paralimpiade 2020. Ia tampak tegang, duduk gelisah di kursi ruang pemulihan, sementara raket ada di pangkuannya.

Bist tahu, terapi kali itu bukan hanya soal otot. Ia pun menepuk pundak Nagar dan berujar ringan, “Kalau lawanmu smash dan kau bingung mau lari ke mana, kejar bayanganmu sendiri. Bayanganmu lebih cepat dari siapapun.”

Nagar menatapnya bingung sejenak, lalu tertawa keras. “Kejar bayangan sendiri?”

“Ya,” jawab Bist sambil memijat bahunya. “Dan jangan lupa, senyum di tengah servis mereka. Biar mereka pikir kau tidak takut.”

Candaan itu, entah bagaimana, menyalakan sesuatu di kepala Nagar. Ketika ia turun ke lapangan, senyum itu tak pernah hilang. Nagar bermain dengan rileks, seperti anak kecil yang menikmati permainan, bukan laga perebutan medali. 

Dan hari itu, Krishna Nagar pulang membawa emas Paralimpiade pertama untuk India di nomor SH6. Kini, setiap kali Bist melihat Nagar berlatih lagi di Solo, ia selalu teringat momen itu. 

“Kadang terapi terbaik adalah tawa,” ujarnya. “Bukan karena lucu, tapi karena tubuh yang tertawa biasanya sudah setengah pulih.”

Potret atlet para-badminton India, Krishna Nagar, saat bertanding di Polytron Indonesia Para Badminton International 2025. (Mojok.co/Eko Susanto)

Dalam gelaran turnamen di Solo ini, Nagar berhasil menembus final. Namun, di final ia harus takluk dari pasangan atlet Indonesia, Subhan-Marlina.

Krishna Nagar meraih medali emas di Paralimpiade Tokyo 2020. Dalam Polytron Indonesia Para Badminton International 2025, ia kalah di final. (Mojok.co/Eko Susanto)

Hari-hari panjang para fisioterapis di Solo

Kejuaraan Polytron Indonesia Para Badminton International (PIBI) 2025 adalah salah satu turnamen besar terakhir sebelum Paralimpiade berikutnya. 

Turnamen yang terselenggara atas kolaborasi Bakti Olahraga Djarum Foundation, Polytron, bersama BWF dan NPC Indonesia ini diikuti ratusan atlet dari 24 negara. Berlangsung 29 Oktober hingga 2 November 2025 di GOR Indoor Manahan, Solo. 

PIBI 2025 sendiri mempertandingkan 22 kategori yang meliputi sektor tunggal putra dan putri masing-masing enam kategori, ganda putra empat kategori, ganda putri tiga kategori, dan ganda campuran tiga kategori dengan klasifikasi WH 1, WH 2, SL 3, SL 4, SU 5 dan SH 6.

Di tengah hawa gerah dan jadwal yang padat, Swapnil Bist bekerja hampir tanpa jeda. Saat pagi, ia memeriksa otot atlet sebelum latihan. 

Bist, fisioterapis timnas India, tengah melakukan peregangan otot kepada salah satu atlet para-badminton kategori wheelchair (WH). (Mojok.co/Eko Susanto)

Siang tiba, ia menyiapkan kompres dingin dan pita elastis di pinggir lapangan. Bahkan ketika malam, ia masih duduk di ruang terapi dengan tumpukan handuk dan aroma balsem yang memenuhi udara. Kadang ia baru keluar setelah tengah malam, ketika semua orang sudah pulang.

Di antara tumpukan alat terapi, ia menyimpan buku kecil berisi catatan tentang tiap atlet: tekanan otot, riwayat cedera, hingga catatan kecil seperti, “Sanjay suka dipijat punggung dulu sebelum kaki”, atau “Krishna tak boleh lupa stretching jari,” dan lain sebagainya.

“Setiap orang punya cara berbeda untuk merasa tenang,” ujar fisioterapis ini, pelan. “Dan tugas saya adalah mencari tahu caranya.”

Namun, bagi Bist, yang paling menginspirasi bukan rutinitas pekerjaannya, melainkan keteguhan para atlet yang ia dampingi. Ia sering menyaksikan bagaimana seseorang dengan satu kaki atau satu tangan tetap tersenyum setelah kalah, lalu kembali berlatih esok paginya seolah tak pernah terjadi apa-apa.

“Saya datang untuk memulihkan mereka,” katanya, “tapi sering justru mereka yang memulihkan saya.”

Dari Malaysia, dua dekade bekerja di belakang layar

Di ruangan sebelah, ada sosok lain yang bekerja dengan ketenangan berbeda. Fadzil bin Mohd Salleh, fisioterapis tim para-badminton Malaysia. Lelaki asal Kuala Lumpur itu sudah lebih dari dua puluh tahun menjalani profesi ini.

Ia mengaku pernah menjadi fisio untuk tim hoki dan badminton umum, sebelum akhirnya dua tahun lalu bergabung ke skuad para-badminton.

“Sebelumnya untuk atlet umum, baru dua tahun terakhir bekerja untuk teman-teman disabilitas,” ujarnya kepada Mojok, Jumat (31/10/2025).

Fadzil bin Mohd Salleh, fisioterapis tim para-badminton Malaysia, sudah lebih dari dua puluh tahun menjalani profesi ini. Namun, baru dua tahun terakhir di timnas para-badminton. (Mojok.co/Eko Susanto)

Peralihan itu membuka matanya. Dunia para-atlet, katanya, memberi pelajaran yang jauh lebih dalam dari sekadar anatomi tubuh. 

“Saya dulu pikir pekerjaan ini hanya soal otot dan sendi,” katanya pelan. “Ternyata ini juga tentang memahami manusia.”

Selama dua tahun terakhir, Fadzil belajar banyak hal baru. Setiap atlet difabel punya adaptasi tubuh yang berbeda. Teknik pemulihan tak bisa diseragamkan. 

Misalnya, ada yang harus dilakukan di kursi roda, ada yang butuh alat bantu tambahan, ada pula yang cukup dengan sentuhan ringan. Kadang, di sela kesibukan, ia suka bercanda dengan atlet yang tengah kesakitan. 

“Kalau kamu bisa menahan rasa ini, berarti kamu nanti akan menuju kemenangan,” ujarnya, sambil tertawa.

Bagi Fadzil, terapi bukan hanya mengembalikan fungsi tubuh, tapi juga menjaga martabat seseorang agar tetap merasa utuh.

Bagi Fadzil, yang membedakan atlet para-badminton dengan atlet biasa adalah pada keteguhan hati mereka. Atlet difabel, bagi fisioterapis ini, memiliki hati yang besar. (Mojok.co/Eko Susanto)

“Dalam para-badminton, saya belajar bahwa keseimbangan bukan hanya di kaki, tapi juga di hati. Mereka ada kekurangan, tapi punya hati yang besar.”

Para fisioterapis, tangan yang tak tersorot

Keesokan paginya, Sabtu (1/11/2025), GOR Manahan kembali ramai. Babak semifinal akan dimainkan.

Para atlet bersiap, pelatih berteriak memberi arahan. Di antara hiruk pikuk itu, para fisioterapis kembali ke rutinitas mereka: menyiapkan minyak, mengukur tekanan otot, memastikan tak ada yang cedera sebelum bertanding.

Mereka tidak tampil di podium, tidak disebut dalam laporan pertandingan, dan jarang muncul di foto. Namun, di setiap langkah ringan para atlet di lapangan, ada sentuhan mereka yang menjadi kunci kemenangan: pijatan yang menenangkan, hingga tawa kecil yang mengendurkan otot-otot.

Para fisioterapis adalah kunci kemenangan atlet para-badminton, meski bekerja di belakang layar. (Mojok.co/Eko Susanto)

“Kami hanya memastikan mereka bisa bermain,” ujar Bist, sambil menatap ke arah lapangan yang mulai dipenuhi suara raket. “Kalau mereka tersenyum di akhir hari, itu sudah cukup buat kami.”

Dan di tengah riuh tepuk tangan penonton, dua pasang tangan itu terus bekerja dalam diam. Tangan-tangan yang tak pernah tersorot, tapi selalu menjadi bagian dari setiap kemenangan.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Saya Imigran, Muslim, dan Difabel yang Hidup di Negara Diskriminatif. Tapi Allah dan Badminton Menemani Perjalanan Hidup Saya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version