Kopi robusta mengepulkan aroma khasnya di udara siang yang sejuk, khas kawasan lereng pegunungan. Ia mengiringi hangatnya obrolan saya bersama Wijanarko (32), seorang petani kopi asal Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
Secangkir kopi robusta racikan Wijanarko yang disuguhkan langsung setelah kedatangan saya, seolah menjadi penawar lelah dari perjalanan menanjak lereng Gunung Muria.
Di tengah percakapan, sesekali pandangan saya terlempar ke arah halaman. Di sana, beberapa warga desa terlihat sibuk dengan aktivitas menjemur biji kopi yang baru saja dipanen. Bagi saya, itu menciptakan pemandangan yang tak hanya menawan, tetapi juga menggambarkan denyut kehidupan di sentra penghasil kopi ini.
“Di sini, Mas, semua menanam kopi. Kopi itu sumber penghidupan,” ungkap lelaki yang akrab disapa Narko itu, Selasa (15/7/2026), sambil sesekali menghisap kretek-nya.

Desa Rahtawu, yang terletak di lereng Gunung Muria, memang dikenal sebagai salah satu produsen kopi berkualitas di Jawa Tengah. Sementara Wijanarko sendiri telah mendedikasikan hidupnya untuk mengolah biji-biji kopi ini sejak ia masih belia.
Dulu, orang Rahtawu “takut” menjadi petani kopi
Kendati sejak belia sudah akrab dengan kopi, sebenarnya Wijanarko tak pernah terbesit untuk nyemplung menjadi petani kopi. Alasannya sederhana: harga kopi kala itu masih sangat rendah, tidak cukup buat hidup.
“Pilihannya kalau nggak menjadi petani jagung, ya merantau, Mas,” ungkapnya.
Alhasil, setelah lulus SMA di salah satu sekolah Muhammadiyah, Narko memutuskan buat bertani jagung saja. Mata pencaharian yang juga digeluti oleh warga lain di Desa Rahtawu.
Namun, kata Narko, bertani jagung ternyata terlalu rumit dan hasilnya kerap tidak sesuai harapan. Masa panennya singkat, hasil panen pun kecil nilai jualnya.
Situasi sulit itulah yang akhrinya membawa Narko buat menghidupkan lagi kebun kopi. Warisan leluhur yang dulu sempat menjadi tumpuan hidupnya, tapi perlahan memudar pesonanya.
Revolusi kopi Rahtawu
Narko pun berpikir, sebenarnya apa sih yang bikin hasil panen kopi di desanya cuma gitu-gitu aja. Dalam artian, hasilnya pas-pasan; sekali panen cuma cukup buat balikin modal awal.
Ia pun menemukan jawabannya.
Jadi dulu, sistem tanam kopi di Desa Rahtawu itu masih menggunakan metode bernama “lancuran”. Yakni tanaman tumbuh tinggi ke atas dengan sistem tumpang sari. Padahal, kopi ditumpang bersama tanaman lain dalam lancuran, kudu bersaing dalam mendapatkan unsur hara, air, dan sinar matahari.
“Nah, ini, Mas, yang menyebabkan pertumbuhan tanaman kopi terhambat dan hasil panen menurun,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa perawatannya pun juga belum seintensif sekarang.
Lantas, setelah “berguru” ke berbagai tempat, ia menyadari bahwa cara terbaik agar hasil panen melimpah adalah dengan sistem sambung pucuk. Jadi, dua bagian tanaman kopi: batang atas (entres) dan batang bawah (bibit semai) disambung.
Soal perawatan, ia juga lebih sering memangkas cabang-cabang baru agar nutrisi dari pupuk fokus ke bunga dan buah. Bukan ke batang.
“Dengan sistem ini, hasil panen menjadi lebih banyak, Mas,” ungkapnya.
Gayung pun bersambut. Di saat hasil panen kopinya melimpah, terjadi juga lonjakan pembeli dalam lima tahun terakhir. Kalau dulu pembeli hanya pengepul lokal di sekitar Kudus dan Pati, kini, kata Narko, “udah pengepul besar sampai luar Jawa kayak Kalimantan.”
Belum lagi, kini harga kopi juga sudah gila-gilaan. Kalau dulu harga biji kopi cuma berkisar Rp10-15 ribu per kilo, kini harganya stabil di antara Rp50-85 ribu per kilo untuk green bean.
“Apalagi kopi itu masa panennya lama, Mas, bisa lebih dari empat bulan masih metik,” ujarnya. “Dalam setahun, kalau hasil penjualan Rp100 juta itu dapat lah.”
Kompos olahan sampah organik rumah tangga, kunci lain panen melimpah
Narko juga bercerita mengenai kunci lain dari melimpahnya hasil panen kopi dalam lima tahun terakhir: kompos olahan sampah organik rumah tangga. Padahal, warga Rahtawu awalnya tak terlalu familiar dengan kompos, tapi lebih sering memakai kohe (kotoran hewan).
“Kohe itu ternyata juga mudah jamuran. Nah, jamur-jamur itu sering banget bikin pertumbuhan pohon kopi terhambat,” kata dia.
Untungnya, sejak 2019, Narko dan warga Rahtawu lainnya mengikuti program konservasi Gunung Muria yang digagas oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF). Tujuannya, adalah untuk menghijaukan kembali Gunung Muria dengan varietas lokal—yang kalau di Rahtawu adalah kopi.
Setelah mengikuti program ini, warga desa, termasuk Narko, mendapatkan bibit buah dan kompos secara gratis. Wijanarko bahkan bisa meminta kompos sebanyak yang ia butuhkan, cukup dengan menghubungi pihak pemberi.
“Kalau habis, tinggal minta. Gratis, Mas. Tahun ini saja saya dapat 300 karung,” kata Narko.
Mojok sendiri berkesempatan mendatangi Pengolahan Organik (PPO) Oasis Kretek Factory di Kabupaten Kudus pada Selasa (15/7/2025) pagi. Pantauan Mojok, di sana terdapat puluhan ton sampah organik mulai dari sisa makanan, dedaunan, hingga batang boton yang nantinya bakal diolah menjadi kompos.
Terlihat juga sejumlah petugas tengah menurunkan sampah-sampah organik dan memasukkannya ke sebuah mesin cacah raksasa. Setelah proses pencacahan selesai, sampah organik itu akan dicampur dengan bakteri baik agar berubah menjadi pupuk organik.
Pupuk organik itulah yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Termasuk Narko dan warga Kudus lainnya.
Dari warga Kudus, untuk warga Kudus
Mojok juga disambut Timothy Ariel Saputra selaku staf Community Development PPO Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF). Ia menjelaskan bahwa sampah-sampah organik ini memang disetorkan dari rumah tangga, rumah makan, sekolah, hotel, pasar, bahkan pondok pesantren.
“BLDF memang secara khusus menggandeng mereka sebagai mitra,” ujar Timothy.
Ia juga menambahkan, dengan adanya program ini, masyarakat diajak untuk lebih aktif memilah sampah organik dan nonorganik. Sebab, mereka bisa mendapatkan manfaat langsung dari pemilahan sampah organik itu.
“Secara prinsip, kompos ini ya dari warga kembali ke warga lagi,” jelasnya.
Tak jauh dari PPO Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF), ada juga Pusat Pembibitan Tanaman. Di sana, ribuan bibit pohon dibudidayakan menggunakan kompos dari pengolahan sampah tadi.
Bibit pohon ini meliputi eboni, trembesi, asam jawa, dan berbagai tanaman lainnya. Setelah tumbuh besar, bibit pohon ini akan ditanam di lahan-lahan kritis. (*)
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Membakar Sampah Residu dengan Tetap Ramah Lingkungan Ala Kudus, Biar Tak Numpuk di TPA atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.