Apa yang Pardiman (58) lakukan selama lebih dari 30 tahun terakhir ini menggambarkan definisi sik penting ditelateni. Bekerja pada orang dengan menjadi penjual es goreng tidak membuatnya malu. Ia justru bangga dengan pekerjaannya yang membuatnya bisa menghidupi keluarga dan membeli tanah dan rumah dari jualan es goreng.
Karyawan Es Goreng Pak Gatot yang laris penjualannya
Begitu es goreng yang saya beli habis, saya terpaksa menyelanya untuk meminta waktu wawancara di area Sunmor UGM, Minggu (3/4/2024). Pak Pardiman seperti tak punya lelah untuk berbicara melalui headset di kepalanya.
“Hadirin yang berbahagia, remaja dewasa, putra putri tanpa terkecuali, selamat pagi, pagi ceria di Sunday Morning. Kalau Anda ada waktu silakan monggo mampir sejenak bergabung bersama kami, Ladies. Es goreng hanya 5.000 rupiah. Adapun penggorengannya sangat sederhana….”
Saya minta maaf terlebih dahulu karena menghentikannya suaranya. Saya penasaran dengan gayanya merayu pembeli. Mengingatkan saya pada tukang obat di pasar zaman saya kecil.
Di lokasi Sunmor UGM, saya melihat tidak kurang tiga penjual Es Goreng Pak Gatot tampak berjualan. Termasuk Pak Gatot sendiri sebagai penciptanya. Kisah perjalanan Pak Gatot menciptakan es goreng pernah Mojok tuliskan dalam Es Goreng Pak Gatot, Berbagi Tawa dan Doa untuk Muda Mudi Jogja.
“Sehari bisa menghabiskan 100 lonjor es. Satu lonjor bisa jadi tiga potong es goreng,” kata Pak Pardiman. Di Sunmor, Es Goreng Pak Gatot dijual satuanya Rp5.000 sedangkan jika membeli tiga sekaligus harganya Rp10 ribu.
“Kalau sehari-hari jualan di Alun-alun Kidul, ya sehari bisa 1 juta sampai 1,5 juta, bisa lebih,” kata Pak Pardiman.
Tidak mengenal apa itu cerita duka
Pak Pardiman adalah salah satu pegawai Pak Gatot paling setia. Ia mulai bekerja di tahun 1980, saat berada di akhir usia belasan. “Saya asli Wonosari, saat itu ditawari Pak De saya untuk ikut Pak Gatot jualan es,” kata Pak Pardiman.
Ia menganggap Pak Gatot adalah orang tuanya sendiri. Ia mulai jualan es potong tahun 1986. Ketika Pak Gatot menemukan formula es goreng pada tahun 1994, Pak Pardiman menjadi ujung tombak penjualan.
“Saya dulu jualan es goreng dengan sepeda onthel, naik turun bukit di daerah Bantul,” kata Pardiman. Ia masih ingat, harga es yang ia jual satunya saat itu masih Rp25.
Kesetiannya pada Pak Gatot membuatnya jadi tangan kanan dan orang yang paling Pak Gatot percaya. Ia sangat menikmati saat harus berjualan keliling kampung atau mangkal di alun-alun dan tempat keramaian. “Kalau ditanya peristiwa duka, nggak ada, Mas. Saya senang melakukan pekerjaan ini,” kata Pardiman.
Baca halaman selanjutnya
Setia jadi penjual Es Goreng Pak Gatot, bisa beli tanah dan bangun rumah tingkat di Kota Jogja
Setia jadi penjual Es Goreng Pak Gatot, bisa beli tanah dan bangun rumah tingkat di Kota Jogja
Hal itu juga yang membuatnya tidak berpikir untuk ganti pekerjaan lain. “Alhamdullilah, Mas saya itu sangat bersyukur, dari jualan es itu saya bisa beli tanah, bangun rumah tingkat,” kata Pak Pardiman. Ia tiba-tiba diam tercekat. Matanya agak memerah seperti menahan air mata yang akan keluar.
“Saya itu dulu ngontrak rumah, Mas. Nggak membayangkan bisa beli tanah dan bangun rumah di Jogja,” katanya melanjutkan. Paradiman mengatakan, dari jualan es goreng Pak Gatot ia bisa membeli tanah di Wirobrajan dan membangunnya dua lantai. Dari jualan es juga ia bisa menghidupi dua anak dan istrinya.
Baginya tidak ada rasa malu, keliling kampung dengan sepeda onthel dan telolet di zaman dulu menawarkan es goreng ke orang-orang. ”Sekarang nggak perlu pakai telolet, bisa pakai rekaman atau kalau saya suka ngomong langsung,” kata Pak Pardiman.
Dari sekitar tiga penjual Es Goreng Pak Gatot, hanya Pak Pardiman yang tidak menggunakan suara rekaman. Ia lebih nyaman menggunakan suaranya langsung, meski yang ia ucapkan hampir sama dengan suara rekaman.
Anak-anak Pak Pardiman juga tidak malu dengan pekerjaan ayahnya. Satu anaknya bekerja di Pakuwon Mall Yogyakarta sedangkan satu anaknya meneruskan pekerjaannya sebagai penjual es goreng.
Tak akan berhenti jualan selama masih mampu
Pak Pardiman mengungkapkan sudah sangat bersyukur dengan pencapaian hidupnya sebagai penjual es potong. Ia juga tidak berpikir untuk mencari pekerjaan lain. “Selama badan saya masih kuat, saya tetap akan jualan,” kata Pak Pardiman.
Ia masih punya keinginan membeli rumah untuk dua anak-anaknya, tentu saja dari hasil jualan es goreng.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Es Goreng Pak Gatot, Berbagi Tawa dan Doa untuk Muda Mudi Jogja
Ikuti berita terbaru dari Mojok di Google News