Pengalaman Pahit Lulusan SMA Ditolak Kerja 300 kali karena Dianggap Sok Tahu, Kini Sudah Nggak Mau Dibodohi dan Pilih “Upgrade” Diri

Lulusan SMA ditolak kerja 300 kali, kini ingin kuliah S1. MOJOK.CO

ilustrasi - lulusan SMA ditolak kerja ratusan kali. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sudah lebih dari 300 kali lamaran kerja dikirim Salma Dwi, tapi tak ada perusahaan yang mau menerimanya. Padahal, Salma juga tak muluk-muluk memilih perusahaan, karena ia sadar ijazahnya hanya sebatas lulusan SMA. Tentu kalah saing dengan mereka yang punya gelar S1. Namun, Salma meyakini bukan itu saja alasan dia ditolak kerja. Ada masalah yang teramat serius, ada juga yang nyeleneh.

Ditolak kerja bukan karena lulusan SMA

Sebagian besar lamaran kerja, Salma kirim ke perusahaan administrasi. Sebagian lagi ia kirim sebagai content creator. Baru-baru ini Salma sadar, minatnya ada di bidang media sosial. Sayangnya, tak ada satupun portofolio yang dapat menunjangnya untuk menjadi media sosial spesialis atau marketing.

Wong, mau cari pengalaman kerja saja (belum kerja betulan) selalu ditolak. Belum lagi ada rasa minder karena harus bersaing dengan lulusan S1. Sementara, ia belum pernah mengecap bangku kuliah dan hanya punya modal ijazah sebagai lulusan SMA. 

“Wah, sudah banyak sekali aku apply untuk kerjaan, ada sepertinya 300 kali,” kata Salma saat dikonfirmasi Mojok, Selasa (7/10/2025).

Pernah suatu kali Salma mendaftar sebagai media sosial spesialis sekaligus content creator. Ia pun lolos tahap administrasi dan lanjut ke proses wawancara. Dua hari kemudian dia dinyatakan lolos.

“Lewat pesan chat, mereka bilang bakal kasih gaji Rp2 juta per bulan dalam 3 bulan pertama. Awalnya aku senang banget meskipun underpaid sampai aku tanya hal paling krusial,” ujar lulusan SMA tersebut.

“Yak, jam kerja karena waktu wawancara aku cuman dikasih tahu jamnya, bukan harinya. Dan ternyata kerjaku Senin sampai Sabtu dari jam 08.00 WIB-17.00 WIB,” lanjutnya.

Masalahnya, Salma merasa gaji yang ditawarkan tak sebanding dengan beban kerja yang diberikan. Dan entah kenapa banyak perusahaan yang menormalisasinya.

Padahal, ia pun tahu secara aturan hak jam kerja karyawan maksimal 8 jam sehari selama 5 hari kerja per minggu, atau 7 jam sehari selama 6 hari kerja per minggu. Aturan itu tertulis jelas dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian diperbarui melalui UU Cipta Kerja.

Mencoba negosiasi tapi gagal

Akhirnya, Salma mencoba bernegosiasi lewat chat. Bukan untuk menaikkan gaji, melainkan mengurangi jam kerja. Ia berharap bisa kerja dari Senin sampai Jumat pukul 08.00 WIB-17.00 WIB. Sayangnya, tawaran itu malah ditolak mentah-mentah.

“HR-nya langsung jawab gini, ‘kami belum bisa jika pertimbangannya seperti itu Kak, tq (red: terima kasih),” ujar lulusan SMA tersebut.

Pengalaman itu bikin Salma heran, mengapa begitu sulit dapat gaji layak di Indonesia? Bahkan untuk gaji berstandar UMR Kota Malang senilai Rp3,5 juta. Sebab sejauh ini, ia banyak melihat lowongan kerja dengan gaji underpaid.

“Aku masih maklum kalau underpaid tapi nggak menormalisasi ya. Cuma kalau sudah underpaid, overwork lagi, artinya pekerjaan itu redflag. Sesuka-sukanya aku sama uang, aku tetap lebih ingin usahaku dihargai dengan layak,” kata Salma.

Baca Halaman Selanjutnya

Disuruh hafalan rukun iman

Disuruh hafalan rukun iman

Usai ditolak oleh perusahaan redflag, Salma tak menyerah untuk mengirim puluhan lamaran kerja lainnya. Beberapa minggu kemudian, ia mendapat kabar gembira karena dinyatakan lolos wawancara tahap pertama dan kedua. 

Selanjutnya, ia harus mengikuti wawancara ke tiga yang berisi topik keagamaan. Ia sendiri tak terlalu paham dengan proses tersebut, sebab selama melamar kerja sebagai konten media spesialis maupun content creator, baru kali ini ia ditanya soal rukun Islam dan rukun Iman.

“Jadi aku dites gitu, istilahnya tentang kepemahaman agama. Nah, salah satu tesnya aku disuruh nyebutin rukun Islam dan iman,” ujar lulusan SMA tersebut.

“Jujur saja, waktu aku jawab pertanyaan tersebut aku mengaku nggak lancar dan nggak urut, karena nggak ekspek aja pertanyaannya bakal keluar yang itu,” lanjutnya.

Alhasil, ia dinyatakan tidak lolos tahap wawancara, dan otomatis tidak bisa lanjut ke tahap interview user. Padahal, Salma sudah bela-belain wawancara sampai ke luar kota.

“Tapi bisa jadi, nggak lolosnya bukan karena nggak hafal rukun iman dan Islam juga sih, bisa juga karena faktor lain. Cuman sebel juga kalau diinget, tapi lucu,” kata Salma.

Lulusan SMA ternyata nggak menguntungkan, ingin upgrade diri

Setelah ditolak ratusan kali oleh perusahaan, Salma akhirnya sadar sepertinya ia perlu meningkatkan kemampuannya dengan kuliah. Oleh karena itu, saat ini ia sedang sibuk kuliah, alih-alih menyebar ratusan lamaran kerja seperti dulu. 

Di sela-sela waktunya kuliah S1 di Universitas Terbuka Jurusan Ilmu Komunikasi, Salma turut membuat konten dan menerima endorse-san. Upahnya bisa sekitar Rp2 juta per bulan. Kebanyakan kontennya soal kehidupan Salma sebagai anak lulusan SMA yang nekat ngekos, meski gajinya tak seberapa. 

Salma berharap setelah lulus kuliah S1 Ilmu Komunikasi nanti, ia punya jenjang karier yang lebih baik. Atau setidak-tidaknya, bisa menyerap banyak ilmu di bangku perkuliahan S1.

“Aku ingin tetap bisa kerja di dunia sosial media, tapi dengan jenjang karier dan gaji yang lebih baik. Serta, ingin punya lingkungan kerja yang bisa bikin potensiku berkembang,” ujar Salma.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Penyesalan Tak Pernah Magang: Lulus Jadi Fresh Graduate “Kosongan”, Kelabakan Puluhan Kali Ditolak Kerja hingga 2 Tahun Jadi Pengangguran atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version