Kecanduan judol bikin orang jadi delusi. Tak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang cuma imajinasi. Tak bisa berpikir logis. Bahkan setelah salat pun, doa pertama yang dipanjatkan adalah meminta jackpot.
Ini adalah pengalaman Rian (27), bukan nama sebenarnya, lima tahun kecanduan judi online. Hidupnya tak cuma hancur. Setelah kehilangan harta dan benda, ia juga kehilangan akal sehatnya.
***
Saya masih ingat tanggal pastinya. November 2020, beberapa bulan setelah pandemi Covid-18 pertama muncul di Indonesia, bikin kantor tempat saya bekerja memotong setengah gaji pegawainya. “Penyesuaian”, kata bos saya.
Sore itu, saya sedang duduk di beranda kos, menenggak kopi instan sachet dan memikirkan bagaimana cara membayar kontrakan bulan depan. Di linimasa Twitter, sebuah akun anonim membagikan screenshot saldo withdrawal dari aplikasi judi online. Angkanya bikin mata saya langsung hijau: Rp17.500.000 dalam sekali tarik.
Di bawahnya, tertulis caption, “Nggak usah kerja keras, bro. Yang penting hoki.”
Jempol saya berhenti menggulir layar. Untuk beberapa detik, saya merasa seperti menemukan pintu rahasia menuju solusi hidup enak. “Nggak usah capek-capek kerja. Tinggal rebahan di kos, duit datang, cicilan aman,” pikir saya waktu itu.
“Petualangan” pertama ke semesta judol
Saya pun mulai “petualangan” saya di semesta judol dengan deposit receh. Mula-mula lima puluh ribu sampai seratus ribu rupiah, lewat e-wallet. Tangan saya gemetar waktu itu, bukan karena takut, tapi karena rasa penasaran bercampur harapan. Mau bagaimana pun, itu adalah pengalaman pertama saya main judi.
Saya memilih permainan slot bertema Mesir Kuno yang katanya paling mudah scatter. Lima menit pertama, saldo saya tinggal enam ribu rupiah. Saya siap menutup aplikasi dan mengakhiri petualangan ini secara dini.
Namun, tiba-tiba layar ponsel bergetar, lampu dan animasi muncul bersama tulisan dalam huruf besar berwarna emas: “SUPER MEGA BIG WIN – Rp1.250.000.”
Di dalam kos, saya berteriak kencang sampai teman sekamar saya kaget. Saya melompat-lompat seperti anak kecil yang menang lotre. Saya merasa seperti menemukan cheat code.
Saya ingat persis pikiran pertama yang muncul saat itu: “Kalau dalam lima menit bisa dapat satu juta lebih, apa jadinya kalau tiap hari main?”
Uang Rp750.000 hasil kemenangan saya tarik untuk membayar kontrakan dan kebutuhan sehari-hari. Sementara Rp500.000 sisanya, saya putarkan lagi ke meja judi dengan harapan bisa menambang uang yang lebih banyak.
Tukang judi merasa jadi pakar finansial
Tiga minggu setelah kemenangan pertama, saya sudah main hampir setiap hari. Saya mulai membuat strategi yang saya kira rasional: bermain setelah Isya, batas maksimal deposit seratus ribu, berhenti kalau sudah menang dua atau tiga kali. Tentu saja, semua itu omong kosong.
Kedigdayaan algoritma judol adalah kemampuannya menciptakan ilusi kendali. Saya merasa seperti analis investasi: menghitung pola spin, menghafal jam “gacor”, mencatat kapan scatter sering muncul, membaca thread di medsos yang membagikan “rumus” bermain slot. Saya bahkan membuat Excel sendiri untuk memetakan jam bermain dan peluang profit.
Di masa itu, saya benar-benar percaya bahwa saya sedang mempelajari ilmu. Saya merasa cerdas. Padahal, kini saya menyadari, bahwa yang dilakukan itu adalah hal bodoh. Pekerjaan saya juga tercecer sampai beberapa kali dapat omelan dari atasan.
Dalam lima bulan pertama, saya menang dan kalah bergantian. Kadang saya tarik kemenangan satu atau dua juta. Kadang saya rugi beberapa ratus ribu dalam satu malam. Namun, karena merasa masih ada momen menang besar, saya merasa permainan ini adil. Saya terus mengejar sensasi yang sama dengan kemenangan pertama.
Perasaan menang itu benar-benar saya rasakan seperti narkoba. Otak saya ketagihan endorfin yang muncul bukan karena uangnya, melainkan karena sensasi mengalahkan sistem. Saya mulai membual kepada teman: “Kerja keras itu overrated. Duit besar itu dari keberanian ambil risiko.” Padahal saya tidak berani, saya hanya mulai kehilangan kontrol.
Doa kepada Tuhan minta jackpot
Memasuki tahun-tahun kedua atau ketiga setelah kecanduan judol, saya mulai sering salat–tapi dengan gelisah. Saya tidak putus ibadah, bahkan justru semakin rajin. Bukan karena ingin dekat dengan Tuhan, melainkan agar saya menang main slot.
Saya malu mengakuinya, tetapi kenyataannya memang begini. Dalam sujud terakhir, saya berdoa: “Ya Allah, tolong kasih jackpot malam ini, saya janji kalau menang saya sedekah.” Saya menawar dengan Tuhan seperti pedagang pasar. Saya menjadikan ibadah sebagai transaksi. Dan di titik itu, saya mulai kehilangan rasa malu pada diri sendiri.
Setiap selesai salat, saya membuka HP, deposit, tahan napas, dan mulai spin. Kalau kalah, saya bilang dalam hati: “mungkin kurang ikhlas salatnya.” Kalau menang, saya meyakini itu tanda bahwa doa saya diterima.
Saya tidak sadar bahwa doa saya bukan lagi permohonan hati, tetapi candu judi. Ada malam-malam ketika saya menang jutaan dan saya bersujud syukur sambil menangis, merasa Tuhan memihak saya. Tetapi, beberapa minggu kemudian, saya kalah lebih besar dan saya menangis lebih keras sambil memukul bantal, seperti orang kerasukan.
Keuangan ambrol, utang di mana-mana
Tanpa disadari, keuangan saya ambrol. Seingat saya, kemenangan dan kekalahan saya di judol itu balance. Namun, jika melihat apa yang saya punya, rasanya saya sudah rungkat, entek-entekan. Gaji saya tidak cukup untuk menutupi kekalahan. Saya berutang kartu kredit, lalu paylater, lalu pinjol.
Awalnya kecil. Rp500.000, lalu satu juta. Lalu saya mulai meminjam dari teman dengan alasan klasik: kebutuhan keluarga, orang tua sakit, motor rusak. Saya tidak bangga mengatakan ini, tapi saya pernah meminjam uang dari adik saya yang masih kuliah dan menggunakan alasan palsu: “Saya ditipu teman kantor.”
Saya tidak sadar bahwa saya sudah menjadi kriminal kecil dalam hidup saya sendiri. Dalam beberapa tahun itu saya punya 16 aplikasi pinjol. Telepon DC datang setiap hari. Saya mengganti nomor handphone tiga kali. Saya pindah kos dengan alasan pekerjaan, padahal sebenarnya untuk lari dari debt collector yang pernah sekali mendatangi alamat lama.
Hubungan dengan pacar juga saya kandas. Dia pergi setelah menemukan bukti chat saya meminjam uang kepada temannya diam-diam. Saya tidak marah saat itu—saya justru merasa dia pengecut karena tidak bisa mengerti “perjuangan saya keluar dari masalah”. Kalau sekarang dipikir-pikir, betapa lucu delusi yang saya alami itu.
Ayah sekarat di ICU, saya main judol di musala rumah sakit
Titik terendah datang pada awal tahun 2024. Ayah saya sakit keras dan butuh biaya opname. Saya menjadi anak laki-laki yang merasa bertanggung jawab. Tetapi ketika keluarga berkumpul di rumah sakit untuk membicarakan biaya, saya hanya diam.
Saya tidak punya apa-apa lagi. Isi rekening sudah tinggal sedikit. Gaji habis untuk bayar cicilan pinjol. Saya bahkan kesulitan membeli makan untuk diri saya sendiri.
Malam itu saya pergi ke musala rumah sakit. Saya salat dan menangis lama. Saya meminta kekuatan, meminta keajaiban. Namun, gilanya, saat berdiri untuk berwudu lagi, saya membuka HP dan… deposit Rp100.000. Kini, sekali lagi, saya berpikir saat itu saya memang gila.
Saya bermain judol slot di musala rumah sakit, sementara ayah saya terbaring di ruang ICU.
Saya kalah Rp100,000, 200.000, dan 300.000–uang terakhir yang sebenarnya bukan milik saya. Saya lalu pinjam Rp200.000 ke teman lewat pesan singkat: “Urgent banget, Bapak kritis.” Dalam 10 menit, uang masuk. Saya deposit. Saya spin. Dan, sudah tahu kan ending-nya? Saya kalah lagi.
Saya meletakkan ponsel dan tubuh saya jatuh terduduk di lantai dingin musala. Saya menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Saya memukul kepala saya sendiri sambil berkali-kali menyalahkan Tuhan. Malam itu adalah malam ketika saya ingin menghilang dari dunia.
“Tidak ada jackpot yang lebih besar daripada bisa tidur tanpa gelisah.”
Saya tidak sembuh keesokan harinya. Tidak ada momen dramatis seperti film. Tidak ada pemuka agama menepuk bahu saya dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada teman bijak datang menyelamatkan saya. Yang ada hanyalah kenyataan pahit: saya seorang pecandu dan saya tidak bisa sembuh sendirian.
Awal 2024, saya bergabung dengan kelompok pemulihan pecandu judol di Jogja. Grup WA dengan dua puluh lebih orang yang punya cerita yang mirip dengan saya. Ada yang mantan karyawan bank, driver ojek online, mahasiswa, bahkan PNS dan dosen. Mereka semua kehilangan uang, keluarga, harga diri.
Kami berbagi cerita tiap hari, dan kopdar setiap minggu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya bisa menyebutkan semua kebusukan saya tanpa ingin mati karena malu.
Seseorang di pertemuan pertama berkata kalimat yang sampai hari ini terus saya ingat: “Judol bukan tentang menang atau kalah. Ia adalah tentang menipu dirimu sendiri.”
Meninggalkan judol, pada awalnya, saya akui memang sangat berat. Perasaan delusif untuk deposit dan yakin menang, terus menghantui. Benar-benar candu.
Namun, saya belajar memblokir semua akses payment, mengganti nomor, uninstall aplikasi, memakai sistem pendamping finansial, dan memberi akses keuangan saya ke saudara untuk sementara. Saya belajar mengenali pemicunya: kesepian, stres, euforia, dan keputusasaan. Makanya, saya coba untuk terus menyibukkan diri. Dengan pekerjaan, olahraga, nongkrong, apapun itu yang penting jangan kesepian.
Saya masih berjuang sampai sekarang. Saya belum berani menyebut diri saya sembuh. Namun, saya tidak lagi bermain. Saya tidak lagi berdoa minta jackpot.
Kalau kamu membaca ini dan sedang berada di titik awal yang sama seperti saya lima tahun lalu, larilah secepat mungkin. Kalau kamu sedang berada di fase doamu bukan lagi untuk hidup yang baik, tapi untuk menang besar, berhenti dan carilah seseorang untuk bercerita.
Dan, jika kamu sudah terlanjur hancur dengan hutang yang menumpuk, malu, takut, dan merasa sendirian, percayalah, kamu tidak sendirian.
Pesan saya: “Tidak ada jackpot yang lebih besar daripada bisa tidur tanpa gelisah.”
Catatan: Narasumber mengizinkan Mojok untuk menuliskan ceritanya menggunakan sudut pandang orang pertama: “saya”. Cerita dalam tulisan ini didasarkan pada hasil wawancara dengan narasumber, Minggu (30/11/2025).
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Gara-gara Slot, Suasana di Desa Tak Sehangat Dulu Lagi: dari Ronda Malam sampai Tahlilan, Tak Pernah Absen Main Judol Jahanam atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
