Sulitnya Jadi Pekerja Hotel, Menghadapi Baby Boomers yang Mesum

kekerasan seksual di ruang publik. Salah satunya pekerja hotel di Surabaya.

Ilustrasi kekerasan seksual bisa terjadi di ruang publik, tidak hanya di tempat sepi dan privat (Mojok.co).

Pekerja hotel di Surabaya punya cerita tak mengenakkan. Di balik kelap-kelip Kota Pahlawan itu, ada cerita gelap yang terpendam. Salah satunya, pengalaman pekerja housekeeping perempuan yang rentan mengalami pelecehan seksual.

Peringatan: Tulisan ini dapat memicu trauma bagi penyintas kekerasan seksual. Mojok meminta untuk tidak melanjutkan membaca apabila Kamu dalam kondisi rentan.

Mengalami pelecehan di tempat magang sebagai pekerja hotel

Tubuh Amel (bukan nama sebenarnya) menjadi dingin saat menceritakan masa lalunya sebagai penyintas pelecehan seksual. Perempuan usia 23 tahun itu teringat pengalamanya sebagai pekerja hotel di Surabaya. Meski sudah terjadi lima tahun yang lalu, Amel masih mengingatnya dengan jelas. 

Sejak kecil Amel memang suka berbicara. Dia mudah akrab dengan orang lain. Maka dari itu, dia mencari jurusan yang cocok dengan minatnya, yakni Komunikasi atau Bahasa. Namun, dia malah terjerumus ke jurusan Perhotelan.

“Aku sebetulnya pingin pilih SMK di jurusan Pariwisata, itu kan ada bahasanya tapi enggak masuk. Nah kebetulan, di jurusan Perhotelan itu ada tentang pariwisata,” ucap Amel kepada Mojok pada Jumat (25/10/2024).

Ketika magang di sebuah hotel bintang tiga kawasan Ampel Surabaya, Amel mendapat perlakuan tidak mengenakkan oleh rekan magangnya yang beda sekolah. Dia suka menyentuh tubuh Amel tanpa izin. Seperti menggandeng tangan dan merangkul.

Amel berusaha menghindari anak tersebut karena takut dianggap membesar-besarkan masalah. Apalagi jika anak itu sampai dikeluarkan dari tempat magangnya. Dia merasa iba. 

Amel sudah bilang bahwa dia tidak nyaman. Namun, perlakuan itu makin hari makin meresahkan. Puncaknya terjadi di masa akhir magang yang berlangsung selama enam bulan.

Saat itu, Amel dan temannya berada di dalam lift. Tidak ada orang lain di sana, mereka hanya berdua. Tiba-tiba, anak itu mencoba merangkul tubuh Amel, tapi Amel mendorongnya.

“Aku dorong, tapi enggak keras. Dia malah tampar aku sampai jatuh. Aku takut,” kata pekerja hotel itu.

Tak lama setelah Amel ditampar, pintu lift hotel terbuka. Beruntung teman Amel ada di sana untuk membela. Dengan posisi yang masih shock dan menangis, Amel dibawa ke ruang istirahat. 

Kejadian itu akhirnya terdengar oleh HRD. Namun, anak itu tidak diberi sanksi apa pun sebab masa perjanjian magang dia memang hampir habis.

Berhadapan dengan baby boomers yang mesum

Amel diterima kerja sebagai housekeeping di salah satu hotel dekat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada tahun 2020. Hotel itu tak terbilang elit, tapi banyak didatangi anak muda.

“Aku bahkan pernah bertemu dengan tetanggaku yang sepantaran, dia bukan anak orang kaya tapi dia datang ke hotel dengan pacarnya,” ucap Amel.

Sebelumnya dia banyak kerja part time, mulai dari sales, waiters, dan bungkus makanan. Jadi dia cukup senang saat menjadi pekerja hotel. Apalagi saat itu pandemi Covid, dia harus pontang-panting pencari kerja di Surabaya.

Sayangnya, kesenangan itu luntur karena lingkungan kerjanya yang toxic. Amel harus berhadapan dengan tiga orang rekan kerjanya yang sudah usia tua dan punya pemikiran mesum. 

Misalnya, ketika para pekerja hotel menemukan barang-barang “aneh” seperti lingeri atau jenis pakaian dalam perempuan, mainan libido, serta kondom.

“Mereka tunjuk-tunjukkin ke aku, ini lo Mel, kamu nggak mau pakai ta?” ucap Amel menirukan candaan rekan kerjanya.

Dia paham bahwa pekerja housekeeping mayoritas adalah laki-laki. Jadi di kemudian hari, dia harus terbiasa dengan candaan semacam itu. Namun, dia mulai risih ketika bapak-bapak itu memfotonya tanpa izin, lalu mengirimkannya di grup WhatsApp kerja.

“Di sana, mereka terang-terangan mengomentari bentuk tubuhku,” kata Amel, suaranya bergetar. Dia sempat terdiam sebentar, sulit untuk melanjutkan.

Manager tak melindungi pekerja hotel

Tak tahan dengan perlakuan rekan kerjanya, Amel mengadu ke managernya. Namun, tak mendapatkan respon yang baik. Manager itu justru membahas masalah tersebut di rapat besar atau forum terbuka. Rapat itu tak fokus membahas masalah Amel karena bersama divisi lain.

Dalam forum itu, Amel diminta menjelaskan masalahnya. Amel merasa dihakimi. Para pekerja hotel di sana seperti tak punya empati. Rekan-rekan kerjanya hanya meminta maaf, lagi-lagi tanpa diberi sanksi.

“Aku bingung, mereka bilang cuman bercanda, ‘Maaf ya Mel ya,’ tapi aku masih sakit hati bahkan ke managerku yang menurutku salah mengeksekusi masalah ini,” ujarnya.

Tak lama setelah kejadian itu, Amel terkena layoff. Tak hanya Amel, banyak rekan kerjanya yang juga dipecat. Beberapa bulan kemudian, dia sempat dihubungi oleh managernya untuk kerja di Bali sebagai pekerja hotel lagi. Namun, Amel menolak karena merasa tak sudi.

Memutuskan pergi ke psikolog

Amel lahir dari keluarga kelas ekonomi ke bawah. Dia tinggal bersama ibu, ayah, dan satu orang kakak perempuannya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai driver ojol. Sedangkan, kakaknya baru lulus kuliah di salah satu kampus di Surabaya.

Amel tak pernah menceritakan masalah itu kepada keluarganya. Dia takut dan malu jika dibanding-bandingkan lagi dengan kakaknya yang seorang sarjana. Sementara, dia hanya pekerja Surabaya yang upahnya tidak sampai UMR.

Toh, menurutnya masalah sebagai itu bisa dia selesaikan sendiri. Dia juga sudah tidak lagi menjadi pekerja hotel. Namun, dia salah. Amel merasa peristiwa itu mulai mengganggu kehidupannya. Dia sering melukai diri sendiri dan punya banyak pikiran negatif saat malam.

Pacar Amel menyadari itu. Sikap Amel jadi aneh ketika pacarnya ingin bergandengan tangan atau sekedar mengusap kepalanya. Amel ketakutan sampai tubuhnya gemetar. Kejadian sebagai pekerja hotel di Surabaya membuatnya trauma.

Dia kemudian memutuskan untuk pergi ke psikolog. Dua minggu sekali, Amel harus konsultasi. Dia kini lebih terbuka dengan pacarnya. Hubungan keduanya bahkan sudah berlangsung selama 6 tahun. Perlahan-lahan Amel mulai pulih, meski bekas luka itu masih ada. 

“Sekarang aku sudah mendingan.  Aku nggak boleh takut, karena aku enggak salah. Yang salah itu mereka, bukan aku. Aku harus melanjutkan hidup,” kata Amel.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Sisi Gelap Pekerja Hotel di Jogja, Upah Murah hingga Rentan Pelecehan Seksual

Ikuti artikel dan berita Mojok di Google News

Exit mobile version