Mengulik Kejadian Nyata dari Pabrik Gula, Film Horor yang Alur Ceritanya “Lempeng-lempeng” Saja

ilustrasi - film Pabrik Gula yang ramai dipasaran. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Film Pabrik Gula garapan Awi Suryadi yang tayang perdana pada Senin (31/3/2025) membuat beberapa penonton kecewa. Sehari tepat dengan perayaan Idulfitri 2025 kemarin. Saya pikir, kecaman netizen soal poster film tersebut yang dianggap vulgar membuat film ini kurang laku, tapi malah ramai ditonton saat musim lebaran.

MD Pictures selaku rumah produksi film tersebut mencatat, sudah ada 1 juta penonton dalam waktu kurang dari 4 hari setelah penayangannya. Jumlah itu termasuk yang tercepat di tahun 2025. Itu juga salah satu alasan saya ikut menonton.

Buruh dari luar daerah yang bekerja di pabrik gula

Mulanya, saya memang tidak berniat menonton film horor di bioskop, tapi tawaran dari saudara saya cukup menarik saat itu.

“Ini katanya diangkat dari kisah nyata. Ramai juga di TikTok. Bagus!” kata dia, sekonyong-konyong menyimpulkan setelah melihat spoiler di media sosial.

Karena penasaran, saya ikut mencari rangkuman informasinya di internet. Melalui laman Instagram @pabrikgulafilm, film tersebut menceritakan tujuh orang dewasa bersama puluhan warga dari luar daerah yang mendaftar sebagai buruh musiman di sebuah pabrik gula.

Mereka adalah Fadhil (Arbani Yasiz), Endah (Ersya Aurelia), Naning (Erika Carlina), Hendra (Bukie B. Mansyur), Rani (Azelia Putri), Wati (Wavi Zihan), Franky (Benedictus Siregar), Eko (Gilang Devialdy), Marni (Vonny Anggraini), Dwi (Arfi Alfiansyah).

Di pabrik gula tersebut mereka mendapat tempat tinggal sementara dan memiliki tugas masing-masing untuk mengolah tebu. Baru saja tiba di lokasi, Endah mendapati sosok misterius saat malam hari. Ia pun mengikuti sosok tersebut hingga keluar dari mess dan mengintip pagelaran wayang di dalam pabrik. 

Salah satu adegan film Pabrik Gula. MOJOK.CO
Endah mendapat teror oleh hantu saat bekerja di pabrik. (Sumber: Youtube/MD Pictures)

Sejak saat itu, teror dari makhluk astral yang ada di Kerajaan Demit–sebutan kehidupan setan di pabrik gula terus berlanjut. Petugas pun telat memberitahu aturan soal jam malam kepada buruh musiman, sehari setelah kejadian Endah. Di mana, mereka tidak boleh keluar mess di atas pukul 21.00 WIB. Mereka menyebutnya “jam merah”.

Namun, teror-teror dari Kerajaan Demit semakin parah, mengganggu buruh hingga Mbok Jinah (Dewi Pakis), sosok dukun dalam film tersebut. Mbok Jinah yang biasanya menangani setan-setan di sana sampai kehabisan akal karena persembahan yang dia berikan selalu tidak mempan. Ia menduga ada kesalahan lain yang lebih besar, yang dilakukan oleh buruh selain Endah sehingga mereka menuntut nyawa buruh.

Alur cerita yang kurang segar 

“Kok ceritanya nggak jauh beda dengan alur cerita KKN Desa Penari ya?” ujar Jamal (29) kepada saya, Senin (31/3/2025).

Saya sebetulnya tak terlalu heran dengan komentar Jamal, sebab penulis skenario dari film KKN Desa Penari dan Pabrik Gula adalah orang yang sama. Cerita kedua film tersebut ditulis oleh Laila Nurazizah atau yang akrab dipanggil Lele Laila yang diatapsi dari utas di X.

Barangkali itu yang menjadikan kedua film tersebut terasa sama. Namun, tanggapan Jamal tadi membuat saya sangsi, bagaimana jika film Pabrik Gula ini hanyalah sebagai ajang membenahi diri dari film yang sebelumnya sudah tayang dan menjadi viral saat itu yakni KKN Desa Penari. 

Wati mengalami kesurupan. (Sumber: Youtube/MD Pictures)

Dari segi alur ceritanya sendiri, Laila tetap mengikuti formula yang sudah sering digunakan oleh film horor. Dimana, tokoh yang ada di film akan mendatangi sebuah tempat baru. Jika ada satu orang yang melanggar aturan, maka semua juga kena terkena tulahnya. 

“Jujur, alur ceritanya sebenarnya pasaran banget. Sudah banyak banget cerita horor yang mengangkat tema seperti itu, karena disebabkan melakukan adegan terlarang,” ujar Intan (22) yang juga menonton film Pabrik Gula. 

Hanya saja, kata Intan, ceritanya bikin menarik karena punya latar pabrik gula. Masih jarang film horor yang mengangkat kisah di balik pabrik, apalagi di era Belanda yang memiliki kisah mistis. 

Mengangkat budaya lokal

Di film Pabrik Gula, Laila memang terlihat melakukan riset dengan seksama di mana ia menambahkan cerita-cerita lokal di dalam pabrik. Misalnya, kejadian di sebuah gedung yang pernah dilihat oleh Endah. 

Gedung itu merupakan bekas tempat buruh bekerja dan tak lagi digunakan karena kejadian kelam. Menurut cerita Mbok Jinah gedung itu pernah terbakar dan memanggang tubuh seluruh buruh yang ada di dalamnya. 

Di masa kolonial Belanda, beberapa pabrik gula di Indonesia kerap mengalami penutupan bahkan kebakaran. Tak hanya itu, dalam film tersebut Laila juga menambahkan ritual yang sering dilakukan oleh para petani tebu yakni “manten tebu”.

Tradisi itu biasa dlakukan setahun sekali sebelum memulai periode penggilingan tebu di pabrik gula agar proses penggilingan berjalan lancar. Dalam film digambarkan jika tradisi tersebut  dijadikan ritual persembahan oleh buruh dengan menumbalkan ‘pasangan pengantin’ kepada Kerajaan Demit. 

Adegan pertunjukkan gamelan dan kuda lumping. (Sumber: Youtube/MD Pictures)

Satu hal lagi yang membuat Intan salut yakni adegan pertunjukan kuda lumping dan gamelan, serta akting para pemainnya.

“Di film banyak menyajikan adegan kesenian Jawa yang memang identik dengan kisah mistisnya,” kata Intan. 

Kerajaan Demit di Pabrik Gula nggak seram

Apakah budaya lokal seperti di atas yang dimaksud oleh MD Pictures sebagai embel-embel diangkat dari kisah nyata? Saya tak paham, sebab mereka lagi-lagi tak menjelaskan secara spesifik cerita mana yang diangkat dari kisah nyata tersebut. 

Yang jelas, film Pabrik Gula bergenre utama horor. Bukan dokumenter budaya, tapi malah terkesan seperti film edukasi. Naufal (23) yang sebetulnya jarang menonton film horor mengaku film tersebut biasa saja.

“Aku nggak terlalu suka horror sebetulnya, tapi ini malah nggak serem sama sekali,” kata dia.

Teknik jump scare seperti pengambilan kamera maupun musik mudah sekali ditebak. Padahal, film tersebut menyajikan banyak setan seperti Maharatu, Dalboh yang lebih mirip seperti monster dalam cerita fiksi, Noni Belanda, hingga sekelompok buruh yang menjadi korban kebakaran.

Malah, kata Naufal, ia lebih suka adegan humor yang diceritakan dalam film tersebut. Menurutnya karakter Franky (Benedictus Siregar) dan Dwi (Arfi Alfiansyah) sebagai buruh pabrik mampu mendulang tawa penonton. Begitu juga dengan karakter Rono (Yono Bakrie) dan Karno (Sadana Agung Sulstya) sebagai petugas keamanan. 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Film dan Series Indonesia Isinya Selalu Adegan Panas nan Erotis, Tapi Itu Bukan Berarti Mesum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version