Sekelompok driver ojek online (ojol) berkerumun di Jalan Raya Genuk, Semarang. Mereka mencegat setiap orang yang baru saja turun dari bus. Situasi di Semarang memungkinkan para driver ojol itu untuk “mencari keuntungan” lebih besar dari hari-hari biasa.
***
Banjir Semarang membuat saya agak kesulitan mencari bus untuk perjalanan Rembang-Semarang pada Kamis (30/10/2025). Kebanyakan bus hanya menjamin akan mengantar penumpang sampai Kudus saja. Sisanya—perjalanan Kudus-Semarang—akan dicarikan nanti setibanya di Terminal Jati Kota Kretek.
Menunggu dari pukul 08.00 WIB, baru pada pukul 09.00 WIB melintas satu bus yang menyanggupi mengantar penumpang sampai ke Semarang. Saya pun naik bus itu.
Hari itu saya harus ke Solo dan tiba sebelum Asar untuk mengejar tugas liputan. Sebenarnya ada pilihan naik travel. Ada travel terusan Rembang-Semarang-Solo. Namun, di tengah situasi banjir Semarang, tidak sedikit travel dari arah Rembang yang memutuskan menutup operasi.
Ada juga travel langsung Rembang-Solo lewat jalur selatan (Blora-Cepu-Ngawi-Sragen-Solo). Hanya saja jam keberangkatannya selepas Asar. Tidak keburu.
Para penumpang kebingungan di Jalan Raya Genuk
Bus Surabaya-Semarang yang saya naiki memang masuk Semarang. Namun, bus hanya berani menurunkan penumpang di perempatan pertama Jalan Raya Genuk.
Tak ayal para penumpang kebingungan. Sebab, jarak ke Jalan Raya Genuk Baru—loket bus untuk arah Jogja dan Cilacap dan sekitarnya—masih jauh. Apalagi Terminal Terboyo, masih lebih jauh lagi.
Tapi saya mewajari keputusan si bus tidak sampai ke Jalan Raya Genuk Baru atau Terminal Terboyo. Saat turun, di depan saya terpampang genangan air yang cukup tinggi.
Saya sempat sengaja berjalan mendekat ke genangan air untuk mengetahui seberapa tingginya. Selangkah, semata kaki saya terbenam. Jalan beberapa langkah lagi, air bah sudah berada di atas mata kaki. Tampak hanya truk-truk besar yang bisa menerobos genangan banjir itu.
Tak pelak jika para penumpang kebingungan. Mau lewat mana?
Kesempatan bagi para driver ojek online (ojol) Semarang
“Nggak bisa lewat. Pakai ojek saja.” Teriak seorang driver ojol.
“Mau ke mana? Nggak ada jalan. Kalau mau saya antar.” Sambung yang lain.
Ada beberapa penumpang yang nekat jalan menerobos genangan air demi mencapai Jalan Raya Genuk Baru. Ada juga yang berkali-kali memencet aplikasi ojol untuk mencari driver yang bisa mengantar ke Terminal Terboyo Semarang.
“Mbak, di sini nggak ada driver ojek yang online. Aplikasi dimatikan. Kalau mau kami antar, tarif di luar aplikasi,” ujar seorang driver ke mbak-mbak yang sedari turun dari bus kebingungan sembari memencet-mencet aplikasi ojol.
“Berapa?” Tanya si perempuan usai menyebut tujuan.
“Rp50 ribu, Mbak,” jawab si driver.
“Mahal amat. Di aplikasi cuma Rp20 ribu.”
“Mbak, kamu lihat, banjir semua itu. Nggak ada ojol yang mau ambil orderan. Percaya saya.”
Si perempuan bergeming. Dia kembali sibuk dengan layar ponselnya. Sementara si driver pergi menjauh.
Rp70 ribu amblas untuk ngojek dari harga asli Rp23 ribu
Saya mencoba mendekati seorang driver ojol di Jalan Raya Genuk Semarang itu. Memastikan berapa tarif untuk tujuan Joglosemar?
“Rp70 ribu, Mas. Kalau nggak Rp70 ribu, kami nggak ada yang mau,” kata si driver.
Gila, mahal juga. Batin saya. Karena kalau di aplikasi hanya di kisaran Rp23 ribuan.
Tapi saya memang tak sedang ingin menawar. Saya harus lekas sampai di travel Joglosemar untuk segera tiba di Solo. Toh saya pegang uang saku jatah transportasi dari kantor. Saya sepakat saja dengan tarif yang dipasang si driver ojol Semarang itu.
Dia dengan gegas pun menyodorkan helm ke saya, menyingsingkan celana, lalu menancap motor BeAT-nya untuk mengantar saya ke travel Joglosemar.
Driver ojek online (ojol) Semarang “terpaksa” pasang tarif tinggi
Banjir Semarang tidak hanya menerjang bagian jalan raya. Tapi juga sebagian dalam daerah timur. Driver ojol yang membonceng saya menerjang genangan air yang menyentuh knalpot motor. Kondisi daerah dalam pun sama macetnya dengan jalan raya (luar).
Sepatu dan celana bagian bawah saya tak pelak basah kuyup. Terciprat air dari roda-roda kendaraan lain. Itu bukan jalanan lagi, tapi seperti sungai.
“Kondisinya seperti ini, Mas, jadi tarifnya harus mahal. Kalau nggak banjir seperti ini, tarifnya pasti normal,” ujar si driver.
Sejak banjir menggenangi Semarang, kata si driver itu, banyak ojol yang sengaja mematikan aplikasi untuk area Genuk. Lalu memasang tarif tinggi untuk mengantar penumpang tanpa jalur aplikasi.
“Karena risiko, Mas. Motor nerabas banjir ini nanti pasti ada yang kena. Harus servis. Kalau harga sesuai aplikasi, kami rugi. Nggak cucuk dengan biaya servisnya,” beber si driver ojol Semarang itu.
Bukan semata cari untung?
“Kenapa nggak jauhi saja area Genuk, lalu narik area kota atau area yang nggak kena banjir?” Tanya saya.
Si driver mengakui, pasti ada untung dengan narik penumpang non-aplikasi. Karena driver bisa menentukan tarif sendiri.
“Kasihan juga para penumpang karena bus nggak ada yang masuk ke terminal. Jadi dengan kami ada di sana kan bantu juga,” jawab si driver.
Setiba di travel Joglosemar, si driver ojol Semarang itu mengucapkan terima kasih karena saya membayar sesuai kesepakatan. Berkali-kali pula ia menegaskan kalau dia terpaksa mematok tarif tinggi. “Tenan, Mas, kalau nggak banjir pasti tarifnya normal,” katanya.
Saya mengangguk tak masalah. Meski kemudian saya tahu dari beberapa orang, itu hanya “siasat curang” belaka. Ah, rasanya tak perlu terlalu saya pikirkan. Saya harus segera tiba di Solo sebelum Asar.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 4 Etika ke Driver Ojol agar Tak Sakiti Hati, Hanya Perlu Dimaklumi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












