Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman Jogja Sulit Ditiru Masjid Manapun, Ngaji-Ngaji Lain di MJS Sendiri Saja Sulit “Bersaing” dengan Fahruddin Faiz

Ilustrasi Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Masjid Jendral Sudirman saat ini bisa dibilang menjadi episentrum intelektualitas di Jogja dengan Ngaji Filsafat yang rutin berlangsung setiap Rabu malam. Bahkan tak hanya di Jogja.

Ngaji Filsafat dengan pengampu Dr. Fahruddin Faiz itu gaungnya terdengar hingga ke berbagai daerah di Indonesia, dan paling banyak didengar oleh kalangan anak-anak muda yang menaruh minat besar pada filsafat.

Namun, pihak takmir Masjid Jendral Sudirman, Jogja menyebut model ngaji serupa sepertinya bakal sulit masjid atau tempat-tempat lain tiru.

***

Dari dalam Masjid Jendral Sudirman, menggema lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh sekelompok bapak-bapak, mengingatkan saya pada suasana Ramadan di kampung halaman, sehingga sempat membuat saya sempat terpaku beberapa saat. Sementara di pelataran utara masjid, tiga orang anak muda—dari pengurus takmir—tengah asyik berdiskusi.

Begitulah pemandangan di depan mata saya saat berkunjung ke Masjid Jendral Sudirman di Jl. Rajawali Nomor 10 Demangan Baru, Caturtunggal, Depok, Sleman, Sabtu (16/3/2024) pukul 20.49 WIB.

“Oh untuk itu nanti bisa ngobrol dengan Mas Wahid,” ujar satu di antara mereka saat saya menanyakan harus ke siapakah saya misalnya ingin mengulik soal Masjid Jendral Sudirman.

Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman MOJOK.CO
Suasana tadarus Al-Qur’an di Masjid Jendral Sudirman, Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

Saya pun mohon diri untuk ikut nimbrung tiga anak muda tersebut, menyesap rokok sembari mempersiapkan ulang pertanyaan-pertanyaan yang akan saya ajukan saat ngobrol dengan Mas Wahid nanti. Sambil sayup-sayup menyimak diskusi tiga anak muda tersebut tentang imam-imam mazhab. Dari yang saya tangkap, sih, begitu.

Ngaji Filsafat libur setiap Ramadan

Nur Wahid (38), pengurus Bidang Literasi dan Penerbitan Masjid Jendral Sudirman mempersilakan saya menikmati segelas es buah di halaman depan Masjid Jendral Sudirman, Jogja yang selama Ramadan akan menjadi lapak bazar buku.

“Pasar buku Ramadan. Untuk jemaah yang ikut kegiatan (di Masjid Jendral Sudirman) bisa mampir untuk beli,” ujar Wahid.

“Buku yang tersedia terbitan MJS Press,” imbuhnya.

Setiap edisi Ramadan, Ngaji Filsafat sudah pasti libur. Kata Wahid, itu adalah permintaan dari Dr. Fahruddin Faiz sendiri. Karena selama Ramadan, dosen UIN Sunan Kalijaga, Jogja itu memiliki jadwal undangan yang lebih padat dari hari-hari biasa.

Sebagai gantinya, di bulan Ramadan Masjid Jendral Sudirman mempersiapkan acara lain. Seperti misalnya Ramadan edisi 2024 M/1445 H ini, Masjid Jendral Sudirman melangsungkan acara Ngabuburead dalam rentang 17 Maret-4 April 2024 dengan menghadirkan beragam tema dan pemateri.

Nama-nama seperti M. Yasser Arafat, Gus Dhofir, Nasirun, dan tentu Fahruddin Faiz sendiri turut meramaikan acara tersebut.

Poster acara Ngabuburead di Masjid Jendral Sudirman, Jogja. (Instagram/@masjidjendralsudirman)

Ngaji Filsafat awalnya tak di masjid

Jauh sebelum viral dan meledak per 2017 silam, Ngaji Filsafat sendiri mulai digagas pada 2013 oleh M. Yasser Arafat dan kawan-kawan pengurus Masjid Jendral Sudirman masa itu.

“Awalanya cuma bikin Kelas Filsafat dari pagi sampai sore. Cuma event sekali,” terang Wahid yang ternyata adalah junior M. Yasser Arafat di UIN Sunan Kalijaga. Lalu karena merasa kurang, akhirnya digagaslah rutinan Ngaji Filsafat setiap Rabu malam.

Kata Wahid, di masa-masa awal tentunya tak langsung ramai. Saat itu hanya lima sampai sepuluh orang jemaah yang hadir untuk mengikuti. Mengingat, di masa itu masih belum melakukan publikasi lewat media sosial.

“Publikasinya tutur-tutur saja. MJS baru punya Facebook kalau nggak salah 2016. Terus baru berkembang punya kanal-kanal lain dari Instagram hingga YouTube,” terang pria asal Lampung tersebut.

Oleh karena sedikitnya peserta, maka pengurus takmir Masjid Jendral Sudirman, Jogja memilih melangsungkan Ngaji Filsafat di kelas memanfaatkan gedung sekolah belakang masjid. Awalnya cuma satu kelas, kemudian menggabung dua ruang kelas. Higga kemudian, karena berangsur ramai, Ngaji Filsafat pun pindah ke dalam masjid.

“Sejak viral pada 2017 atau 2018-an itu, sampai sekarang masjid selalu penuh,” jelas Wahid.

Sebenarnya saat menggelar Kelas Filsafat, pematerinya tak hanya Dr. Fahruddin Faiz. Namun, karena teman-teman dari Masjid Jendral Sudirman, Jogja merasa cocok dengan pembawaannya, maka menawarilah Dr. Fahruddin Faiz untuk mengisi Ngaji Filsafat secara reguler. Ndilalah-nya, sosok lembut itu dengan senang hati menerima dan terus konsisten hingga sekarang.

Sumber keuangan Masjid Jendral Sudirman

Nur Wahid dengan senang hati membeberkan sumber operasional Masjid Jendral Sudirman. Menimbang, masjid tersebut menjadi masjid yang cukup intens dalam menggelar kajian-kajian dan menghadirkan banyak tokoh-tokoh “tak biasa”.

Dulunya sumber operasional masjid murni bergantung pada infaq dan sumbangan dari jemaah. Namun, seiring waktu, sumber operasional masjid bisa tertunjang oleh adsense YouTube hingga hasil dari penerbitan MJS Press yang berdiri pada 2016.

“Dari situlah kami bisa memberi semacam bisyarah untuk pemateri. Termasuk juga untuk menghidupi teman-teman takmir,” jelas Wahid.

Di Masjid Jendral Sendiri terdiri dari tujuh orang yang tercatat sebagai pengurus inti ketakmiran, di mana rata-rata merupakan mahasiswa. Ada yang dari UIN Sunan Kalijaga, ada juga yang dari UNY.

Rekrutmen takmir Masjid Jendral Sudirman

Anak-anak muda tersebut bisa terekrut menjadi pengurus takmir Masjid Jendral Sudirman, Jogja bisa melalui dua jalur.

Pertama, jalur kultural. Artinya, sebelum keluar dari kepengurusan MJS, biasanya takmir lama akan langsung mempersiapkan calon takmir baru. Bisa dari adik tingkatnya di kampus atau mungkin orang terdekatnya.

Proses rekrutmen kultural ini memungkinkan untuk mendapatkan bibit-bibit calon takmir yang berdedikasi pada Masjid Jendral Sudirman.

Karena dalam mengajukan nama calon takmir baru, takmir lama tentu sudah menimbang banyak sisi selama mengenal si calon takmir baru. Lalu yang kedua dengan membuka rekrutmen di media sosial.

“Syaratnya nggak harus lulusan pesantren atau dari UIN. Yang paling inti, sederhananya bisa azan dan ngaji Al-Qur’an. Karena mereka yang inti nanti memimpin jemaah di depan. Entah jadi muazin atau imam salat,” beber Wahid.

Syarat khusus hanya berlaku jika Masjid Jendral Sudirman, Jogja membutuhkan sosok dengan keterampilan khusus. Misalnya calon takmir yang menguasai videografi dan hal-hal seputar IT. Syarat harus berlaku untuk ini karena si calon takmir nanti akan mengurus setiap publikasi dari kegiatan di MJS.

Kata Wahid, dulu bagan ketakmiran Masjid Jendral Sudirman, Jogja lebih sederhana. Namun Wahid menyebut bahwa struktur ketakmiran pun ikut berubah mengikuti gerak zaman. Sehingga, dalam tata kelola MJS nantinya bisa membuat Masjid Jendral Sudirman menjadi masjid yang selalu kontekstual.

“Dulu nggak ada Divisi Lini Meda. Tapi karena sekarang apa-apa perlu media, maka kita bikin divisi itu untuk MJS. Dulu nggak ada Divis Penerbitan. Tapi karena kemudian punya penerbitan, ya kita bikinlah divisi terkait itu,” jelas Wahid.

Tak bisa ditiru masjid lain

Nur Wahid mengaku ada beberapa masjid di Jogja yang pernah melakukan studi banding ke Masjid Jendral Sudirman: belajar tata kelola masjid untuk bagaimana bisa menjadi seperti Masjid Jendral Sudirman dengan brand Ngaji Filsafat-nya yang populer.

“Tapi model seperti MJS sulit ditiru masjid-masjid lain,” kata Wahid.

Pasalnya, masjid harus menyuguhkan menu sesuai dengan karakteristik dan segmentasi lingkungan tempat si masjid berada. Karena kebetulan Masjid Jendral Sudirman berada di lingkungan akademik (lingkungan mahasiswa), maka cocok untuk membuat Ngaji Filsafat.

Sisi utara Masjid Jendral Sudirman, Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

Tapi jika masjidnya berada di lingkungan pedesaan atau pesantren, maka tentu ngaji-ngaji kitab lebih menarik ketimbang Ngaji Filsafat.

Jangankan di masjid lain, di Masjid Jendral Sudirman sendiri, pihak takmir mengaku kesulitan untuk mempromosikan ngaji-ngaji lain agar paling tidak peminatnya sebanding dengan Ngaji Filsafat.

“Yang sangat pesantren, kita bikin ngaji A-Hikam (pengampunya: KH. Imron Djamil) dan Rubaiyat Rumi (pengampunya: Kuswaidi Syafi’ie). Sudah kita upayakan agar seramai Ngaji Filsafat, tapi ya tetap saja nggak bisa,” tutur Wahid.

Artinya, lanjut Wahid, semua itu terpengaruh pada segmentasi dan kecenderungan minat komunitas masyarakat di lingkungan masjid. Kendati begitu, Wahid akan tetap menyajikan kajian-kajian rutin di luar Ngaji Filsafat semacam Ngaji Al-Hikam di Masjid Jendral Sudirman, Jogja.

“Kalau Ngaji Filsafat kan anak-anak muda. Nah, kami juga tetap berupaya mengakomodir kajian untuk bapak-bapak atau masyarakat umum,” ucap Wahid.

“Kalau untuk masjid-masjid di Jogja, coba misalnya bikin Ngaji Ekonomi. Nah itu kan bisa jadi menarik karena ada orang-orang yang ingin belajar menjadi pebisnis,” sambung Wahid. Jadi sub materinya nanti bisa mengulas ekonomi atau bisnis dari beragam khazanah, mulai dari khazanah Islam hingga barat.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Jama’ah Shalahuddin UGM Bersama Cak Nun Selamatkan Pembasmian Jilbab hingga Menolong Desa Terbelakang di Jogja

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version