Direktur Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial UGM, Herlambang P. Wiratraman, menilai wacana penetapan status darurat militer adalah refleksi kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Langkah ini tidak hanya akan melanggar konstitusi, tetapi juga berdampak buruk pada tata kelola pemerintahan dan berpotensi “membunuh” kebebasan akademik.
Menurutnya, situasi ini akan menyebabkan berkurangnya hak-hak konstitusional warga negara, hilangnya ruang demokrasi, dan matinya kebebasan sipil.
“Darurat militer itu membunuh kebebasan akademik. Ia membunuh kebebasan sipil, juga membunuh negara hukum demokratis,” ujar pakar hukum UGM ini kepada Mojok, Kamis (4/9/2025).
Darurat militer sendiri adalah kondisi di mana kendali seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara berada di bawah otoritas militer. Ia diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Undang-undang ini membedakan secara jelas antara darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang, di mana darurat militer menempatkan kekuasaan penuh di tangan militer saat kondisi keamanan dianggap sangat kritis.
Wacana ini menyeruak dalam pertemuan Presiden Prabowo Subianto bersama anggota kabinet, pimpinan partai politik, dan ormas keagamaan, pada Senin (1/9/2025). Mereka menganggap darurat militer adalah opsi terbaik untuk meredam aksi demonstrasi yang semakin meluas di berbagai daerah
Saat militer berkuasa, negara hukum sudah dianggap runtuh
Pandangan Herlambang selaras dengan konsep “Rule of Law” yang dipopulerkan oleh ahli hukum ternama asal Inggris, A.V. Dicey. Dalam bukunya, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (1885), Dicey menyatakan bahwa kekuasaan negara harus dibatasi oleh hukum, bukan oleh diskresi kekuasaan militer.
Maka, ketika darurat militer diberlakukan, saat itu juga negara hukum akan runtuh dan digantikan oleh kekuasaan militer.
Herlambang menegaskan, jika darurat militer sampai diumumkan, itu menunjukkan kegagalan pemerintahan saat ini. Keputusan tersebut juga melanggar Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Praktik ini berbahaya karena dapat mengurangi hak-hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi, seperti hak atas rasa aman (Pasal 28G), hak pendidikan (Pasal 31), dan hak layanan kesehatan (Pasal 28H).
“Selain itu, otoritas militer dapat memberlakukan jam malam dan pendekatan militeristik lainnya untuk mengendalikan masyarakat. Kebebasan sipil dan ruang-ruang demokrasi akan hilang, karena semuanya akan didasarkan pada proses pendisiplinan oleh militer,” jelas Herlambang.
Dampak mengerikan dari darurat militer juga bisa dilihat dari pengalaman negara tetangga. Pada tahun 1972, Presiden Filipina saat itu, Ferdinand Marcos, mendeklarasikan darurat militer yang berlanjut hingga tahun 1981.
Selama periode ini, ia membubarkan parlemen, memenjarakan ribuan lawan politik, dan membungkam media. Kekuasaan penuh Marcos menyebabkan maraknya pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang masif.
Ruang akademik dalam bahaya saat darurat militer
Darurat militer juga akan memiliki dampak langsung yang merusak iklim akademik, bahkan berpotensi “membunuh” kebebasan akademik itu sendiri. Herlambang mencontohkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK-BKK) yang diterapkan di masa rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1978.
Meski bukan darurat militer, kebijakan tersebut merupakan bentuk intervensi militer ke dalam kampus yang memengaruhi kebijakan pendidikan, proses pembelajaran, hingga tata kelola institusi pendidikan tinggi.
Sejarah mencatat, kebijakan ini secara efektif membatasi ruang gerak mahasiswa dengan melarang organisasi ekstra-kampus dan membatasi kegiatan politik, yang berujung pada menurunnya demonstrasi mahasiswa secara drastis pada periode tersebut.
“Jika sudah ada NKK-BKK, berdasarkan pengalaman itu, maka tidak ada ruang kritis di kampus,” jelas Herlambang.
Situasi ini juga akan memicu proses depolitisasi mahasiswa. Artinya, mahasiswa tidak boleh lagi berpartisipasi dalam ranah politik, tidak memiliki ruang untuk mengkritik kebijakan secara terbuka, dan tidak dapat memperjuangkan hak-hak mereka di ruang publik. Bahkan, pengabdian masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi juga sangat mungkin dibatasi.
Herlambang menambahkan, darurat militer akan merusak tradisi kebebasan akademik, yang secara jelas melanggar Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik tahun 2017. Prinsip ini menyatakan bahwa otoritas mana pun tidak bisa membatasi kebebasan akademik.
“Darurat militer itu membunuh kebebasan akademik. Darurat militer itu membunuh kebebasan sipil. Darurat militer itu akan membunuh negara hukum demokratis,” tegas Herlambang.
Dengan demikian, jelasnya, wacana darurat militer tidak hanya membahayakan masa depan negara hukum yang demokratis, tetapi juga mencederai konstitusi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Belajar dari Sejarah: Darurat Militer Cuma Bikin Negara Menjadi Neraka, Rakyat Makin Menderita atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












