Reuni keluarga alias halalbihalal saat Lebaran IdulFitri terasa menyebalkan bagi sebagian orang. Bukannya jadi ajang minta maaf, malah menambah ‘dendam’ pribadi, karena satu pertanyaan yang menusuk: Kapan nikah?
“Ditanyain kapan nikah is number one and only, tapi tetep saja kesal!” ujar Ari (23) yang setiap tahun mendapat pertanyaan tersebut dari keluarga besarnya saat lebaran, Sabtu (5/4/2025).
Tidak hanya ditanya kapan nikah, perempuan asal Surabaya itu juga sering mendapat nyinyiran dari saudara, padahal orang tuanya pun tidak mempermasalahkan. Ari mengaku ibunya selalu menjawab santai saat keluarga besarnya bertanya soal kapan anak keduanya itu menikah?
“Biasa anak zaman sekarang, lagian ya calonnya sudah ada. Kasihan calonnya, baru saja selesai menyicil sepeda jadi uangnya sekarang masih ditabung,” ujar Ari mencontohkan jawaban ibunya saat reuni keluarga.
Alih-alih meredam suasana, jawaban tersebut justru menimbulkan banyak komentar dari keluarga besar. Ari makin merasa dihakimi dengan komentar-komentar yang terlontar. Keluarganya merasa Ari sudah terlalu lama pacaran, tapi si calon tak kunjung melamar.
“Wes suwe pacaran nggak rabi-rabi. 6 tahun (pacaran) iku lak ibarat gedekno anak wes melbu SD (sudah lama pacaran tapi nggak menikah, 6 tahun itu ibarat membesarkan anak sudah masuk SD),” komentar saudara Ari yang masih ia ingat hingga kini.
Namun, Ari tak ingin merusak suasana lebaran menjadi dengki. Ia pura-pura saja bermuka tebal, merespons komentar tersebut dengan senyuman sembari meminta doa terbaik dari keluarga. Semoga apa yang diharapkan dapat segera terwujud.
“Wes nggak kakean ngomong (sudah nggak banyak omong), daripada tambah kesal aku,” ucapnya bersungut-sungut.
Alasan tidak menikah
Di usianya yang sudah matang, Ari bukannya tak mau menikah. Ia dan pasangannya sudah membuat perencanaan dan memiliki banyak pertimbangan. Salah satunya, kesiapan finansial dan karakter diri.
Seperti kata ibunya, Ari dan pacarnya masih punya beberapa cicilan yang belum dilunasi. Keduanya sama-sama ingin menabung sampai kondisi ekonomi mereka stabil, sehingga tidak merepotkan keluarga saat menikah nanti.
Terlebih, dalam reuni keluarga tersebut, keluarganya besarnya ingin Ari dan pacarannya menggelar acara pernikahan yang tentu mengeluarkan banyak biaya. Kalau bisa, kata Ari, biaya acara tersebut tidak sampai meminjam dana orang tua alias dari tabungannya dan pasangan.
Sementara itu, dari segi karakter diri, Ari justru ingin memberikan kebebasan sejenak untuk pasangannya. Menikah, bagi dia, bukanlah masalah hidup yang enteng. Ari sendiri mesti pulih dari trauma masa lalunya. Ia tak ingin berbicara lebih lanjut soal itu, yang jelas Ari ingin pasangannya menikmati masa bujangnya.
“Masa lalu kami dulu sama-sama kelamnya sejak kecil, jadi mumpung punya uang dan tabungan sendiri, aku ingin dia bisa belajar mencintai dirinya sendiri dulu,” kata Ari.
6 tahun sudah keduanya berpacaran. Hubungan yang tidak singkat dan penuh tantangan, tapi mereka masih bisa melaluinya. Oleh karena itu, Ari dan pasangannya bukan tak serius atau bahkan tak ingin menikah. Mereka punya perencanaan tersendiri dan sudah yakin satu sama lain.
“Kami sudah sama-sama yakin kalau berjodoh. Mau nikah cepat atau lambat ya pasti sama dia hehe,” tegas Ari.
Nasihat menyebalkan saat reuni keluarga
Apa yang Ari alami juga terjadi di keluarga saya. Usai khidmat salat Idulfiti dan bersalam-salaman dengan saudara, tentu saja kami berkumpul dan mengobrol. Mulanya, pertanyaan basa-basi seperti bekerja di mana? Sebagai apa? Menjadi hal lumrah bagi saya karena untungnya saya sudah dapat kerja setelah lulus kuliah.
Setidaknya, ada satu jenjang hidup saya yang tidak dipermasalahkan dan tidak menjadi beban keluarga. Hingga tibalah pertanyaan momok mematikan itu untuk saya: kapan menikah? Untung saya sudah menyiapkan jawabannya.
Dosen Ilmu Komunikasi Unair, Andria Saptyasari pernah bilang perlu menyiapkan mentalitas yang postif ketika topik yang dibicarakan saat reuni keluarga dirasa sensitif. Misalnya dengan menjawab pertanyaan tersebut dengan candaan. Oleh karena itu, saya menjawab pertanyaan tante saya dengan santai.
“Monggo tante, kalau ada calonnya, hehe,” kelakar saya.
Jawaban saya yang tak serius itu justru berujung pada nasihat menyebalkan: jangan mau jadi perawan tua. Orang-orang feminis tentu marah mendengar ini, tapi saya sendiri ogah merusak suasana reuni keluarga.
Sama seperti Ari tadi, saya pun hanya minta didoakan saja sembari membiarkan mereka berkomentar panjang lebar. Andria, dosen saya tadi menjelaskan jika orang secara tidak sadar cenderung menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi. Apalagi terdapat faktor usia yang menjadi penghalang untuk membangun komunikasi yang bermakna.
“Kita itu harus step by step, tidak langsung to the point pada masalah pribadi. Jika tidak step by step maka akan terjadi pelanggaran ekspektasi,” ujar dosen Ilmu Komunikasi Unair tersebut, dikutip dari laman resmi Unair, Sabtu (5/4/2025).
Yah, barangkali sudah jadi tabiat dalam keluarga untuk menanyakan hal-hal privasi. Entah apakah sekadar basa-basi atau tak tahu topik apa lagi yang ingin dibahas, tapi ibu saya bilang barangkali pertanyaan itu adalah bentuk kepedulian.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Merindukan Lebaran “Berdarah” di Negeri Mamala, Pengalaman yang Tidak Bisa Dirasakan di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
