Hidup tanpa bisa melihat dunia secara langsung tentu membuat seseorang frustasi. Rasanya begitu gelap tanpa bisa melihat warna dan kondisi sekitar. Beruntung ada musik, nada-nadanya bisa membantu orang untuk “melihat” lagi.
***
Musik rupanya membantu Mohammad Hilbram (19) menerima kondisi fisiknya sebagai penyandang tunanetra. Pria yang akrab dipanggil Ibam itu mengibaratkan musik sebagai pasangan hidup.
Jika ditanya soal alasannya menyukai musik khususnya piano, dia juga bingung. Padahal keluarganya tidak ada yang jago bermusik, kecuali tantenya, yang kata dia, minimal suaranya tidak sumbang saat bernyanyi.
“Tiba-tiba sefrekuensi aja sama piano. Ibarat dia ini cewek, dia punya value yang tinggi banget. Aku udah ngincer sejak awal. Dan kami enggak saling maksa, tapi sama-sama berproses,” kata Ibam kepada Mojok, Rabu (17/10/2024).
Menurut Ibam, musik membantunya mengekspresikan dan memvalidasi perasaannya. Misalnya, lagu favorit Ibam berjudul “Pupus” karya Dewa 19. Lagu itu memiliki kenangan tersendiri bagi Ibam, sebab mengingatkannya saat dia putus cinta.
Berjumpa dengan tuts piano
Ibam mulai mengenal musik sejak kelas 1 SD di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB) Surabaya. Pertemuannya bermula dari kegiatan iseng Ibam yang menekan-nekan tuts piano di sekolahnya.
Secara tidak sengaja, keisengan Ibam itu dilirik oleh kepala sekolahnya. Kepala sekolah melihat kegemaran Ibam bermain piano secara asal. Dia menyarankan agar Ibam berlatih secara profesional. Dia akhirnya mendapatkan beasiswa di Seraphim Music Studio, Surabaya.
Ibam bercerita berkat guru pertamanya yang akrab dia panggil Koko Hans, dia mulai mempelajari teori musik dasar. Koko Hans menjelaskan kepada Ibam cara membaca notasi melalui braille–alat baca dan tulis bagi penyandang tunanetra.
Latihan itu tidak mudah, tapi dia ingat betul nasihat dari pelatihnya sampai sekarang. Jika Ibam sudah hafal dua belas kunci notasi dasar, maka dia aman memainkan lagu apapun.
“Dia bilang, piano adalah ibunya alat musik. Ketika kamu menguasai piano, kamu belajar musik yang lain bakal gampang, karena teori musik itu universal,” ucapnya.
Belajar not angka sampai jari tangan keseleo
Awal mula belajar piano, Ibam membiasakan diri untuk menekan tuts dengan benar, di mana posisi jarinya harus tidur. Karena belum terbiasa, Ibam merasa jari-jarinya begitu lelah.
Bagi anak kecil yang masih berusia 7 tahun, memainkan piano berukuran besar bukan sesuatu yang mudah. Ibam mengaku jarinya sering keseleo saat berlatih, terutama jari kelingking.
Selain itu, Ibam harus belajar teori musik dasar. Ketika bermain musik, orang lain mungkin bisa melihat not angka. Namun, keterbatasannya membuat dia harus bisa langsung menghafalkan satu-satu not angka.
Ibam memisalkan seorang musisi yang biasa bermain di kafe. Ketika dia belum hafal nada maupun lagu, dia bisa memainkan alat musik sambil melihat chord. Entah itu lewat catatan, buku, atau melihat chord dari Google.
“Mereka bisa saja taruh HP di depan, kalo yang musisi difabel apalagi nyerang difabel visual, aduh, nggak bisa, harus dengerin dulu,” keluhnya.
Teknik menghafal membutuhkan waktu cukup lama dibandingkan orang lain yang bisa melihat. Ibam sendiri membutuhkan waktu 3 sampai 4 hari untuk memainkan keseluruhan nada. Lagu pertama kali yang bisa dia mainkan saat itu berjudul Can-can.
Setelah dua tahun les, Ibam tidak melanjutkannya lagi karena keterbatasan biaya. Namun, dia tetap mengembangkan kemampuannya sendiri dengan cara mendengarkan Youtube.
Lingkungan yang mendukung musisi difabel
Kegemaran Ibam bermusik tak terhindar dari cemooh orang-orang sekitar. Banyak orang meragukannya atau menganggap aktivitasnya itu hanyalah hobi biasa. Suatu kali, Ibam pernah diundang di suatu acara yang tidak mau dia sebut.
Namun, ketika hari H tiba dia kaget karena posisinya tiba-tiba diganti oleh orang lain. Panitia tidak memberikan alasan apapun dan dia hanya bisa berdiri mematung. Saat “pengganti” itu bermain, Ibam merasa bingung karena menurut dia permainnya jauh lebih baik ketimbang anak tersebut.
Namun, dia tidak berhenti hanya karena pengalaman tersebut. Untungnya, lingkungan sekitar Ibam sejak SD hingga SMA mendukung. Dia juga sering datang ke acara-acara komunitas yang membahas soal musik. Khususnya musik klasik seperti jazz.
Bagi Ibam membangun relasi adalah hal yang penting, jadi dia tidak boleh malu dengan kekurangannya sebagai musisi difabel. Dia yakin, punya kelebihan lain yang dapat diasah. Menurut dia, faktor yang paling berpengaruh dan dibutuhkan untuk para difabel adalah lingkungan yang mendukung.
“Mereka dibiarkan untuk berkembang dan mengeksplorasi minatnya. Apa yang dia suka? Apa yang dia mau? Kalau sudah, baru didukung. Dengan cara apa? Ya dilatih. Aku sendiri bersyukur punya lingkungan seperti itu sejak kecil,” kata Ibam.
Piano membuat bersinar
Lewat komunitas, Ibam bertemu dengan Ella Sanossa yang merupakan seniman sekaligus sastrawan. Berkat Ella, nama Ibam makin melejit. Ibam sampai diundang untuk bernyanyi dan bermain piano di acara Pertamina di Bali tahun 2014.
“Dulu pertanyaanku polos banget, ‘Kak mainku kan masih gini, nggak bagus,’” ucap Ibam yang sempat ragu berangkat. “Siapa bilang? Ayo, ikut aja!” ajak Ella saat itu.
Rupanya perjalanan itu amat berkesan bagi Ibam, apalagi itu pengalaman pertamanya naik pesawat. Di tahun-tahun berikutnya, dia berkeliling Indonesia mengunjungi Merauke, Manado, dan Makassar.
Tahun 2022 lalu, Ibam berhasil merilis single pertama, yakni berjudul “Ku Harap Kau Menerimaku”. Dia belajar memproduksi lagu, mulai dari membuat lirik bersama Ella, mengaransemen lagu, membuat music video, dan sebagainya.
Musisi difabel menuju orkestra
Saat ini, Ibam kuliah di Jurusan Pendidikan Sekolah Luar Biasa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Sebetulnya, dia ingin masuk Jurusan Musik di Unesa, tapi tidak diterima. Meski kecewa, Ibam berusaha menjalani kuliahnya sambil bermusik.
Setiap minggu, dia harus bolak balik Surabaya-Jakarta untuk berlatih. Dia akan tampil di acara Light Ministry Orchestra pada November 2024 yang dikonduktori oleh Addie MS, seorang musikus terkenal asal Indonesia.
Sebagai panutan Ibam mengidolakan musikus sekaligus komponis, Indra Lesmana. Meski lahir di tahun 2005, selera musiknya di tahun 1980-1990-an. Dia ingin seperti Indra yang sukses menjadi session player.
Sebagai konteks, session player biasanya bukan anggota tetap. Mereka tidak terikat kontrak oleh satu grup band tapi dipekerjakan untuk merekam backing track dan tampil pada pertunjukan langsung
Ibam menargetkan belajar musik hingga level advance dan mendapatkan sertifikat. Sebab kata dia, hidup Indonesia butuh seberkas dokumen agar diakui meskipun punya kemampuan yang mumpuni.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.