Sejak masa kanak-kanak, Dipta (27) sudah mendapati Surabaya yang padat, disesaki para perantau dari berbagai daerah. Sebagai warga asli yang hingga kini nyaris tidak pernah meninggalkan Kota Pahlawan—untuk merantau—, kota tersebut bahkan terasa makin sumpek.
Menilik sejarahnya, secara ringkas, Surabaya sudah menjadi hiruk-pikuk peradaban sejak masa eksisnya Kerajaan Majapahit. Kala itu menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di pesisir utara Jawa: selain menjadi pintu masuk menuju pusat Ibu Kota Majapahit di Trowulan, juga menjadi jalur perdagangan.
Di era Hindia Belanda, Surabaya masih menjadi titik sibuk sebagai pusat perdagangan. Hingga akhirnya ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Timur per 1926.
Hiruk pikuk tanpa henti Surabaya
Seiring waktu, Kota Pahlawan tumbuh menjadi kota industri. Sejak saat itu, kota ini menjadi magnet yang menarik orang-orang desa (luar daerah) untuk mengundi nasib di sana.
Lebih-lebih, kemudian banyak kampus—baik negeri maupun swasta—berdiri di sana. Ibu Kota Provinsi Jawa Timur itu pun juga menjadi jujukan anak-anak muda daerah untuk mengejar gelar sarjana—maupun yang lebih tinggi dari itu.
Memang sulit mencari data jumlah persis para perantau yang memadati Surabaya. Akan tetapi, bagi orang yang sehari-hari menghabiskan waktu di sana seperti Dipta, akan terasa kalau di dalam kota tersebut berjejal begitu banyak manusia.
Banyak kawasan padat penduduk yang berumah sekaligus bergang sempit. Jalanan luas yang penuh sesak di jam-jam berangkat dan pulang kerja. Juga hiruk-pikuk manusia yang seperti tanpa henti.
Maka, bagi Dipta, sulit sekali rasanya menemukan ketenangan. Apalagi hidup melambat sebagaimana yang didambakan banyak orang.
“Ada tiga momen yang subjektifku membuat Surabaya begitu enak dinikmati,” ungkapnya, Selasa (1/4/2025).
Momen 1: ketika para perantau pulang ke kampung halaman
Persis di hari H lebaran, Dipta memacu motornya menuju jalanan yang di hari-hari biasa jadi pusat keramaian manusia dan lalu-lalang kendaraan: Jalan Ahmad Yani (Wonokromo), Jalan Basuki Rahmat, kawasan Balai Pemuda-Balai Kota, hingga Tugu Pahlawan. Semuanya lengang.
“Itu terjadi di setiap lebaran. Karena para perantau pada mudik. Dari situ kelihatan, ternyata sebenarnya warga asli Surabaya itu nggak sepadat itu,” ungkap Dipta.
“Surabaya memang masih panas. Tapi paling tidak ada semilir angin yang bisa dirasakan kulit. Kalau hari-hari biasa kan kulit panas sekali karena selain kena matahari juga kena udara bercampur asap kendaraan,” sambungnya.
Lihat postingan ini di Instagram
Tidak hanya di momen lebaran, setiap masa libur panjang, Surabaya seperti sedang tidur. Senyap. Hanya ada satu-dua kendaraan yang tampak melintasi jalanan.
Kalau sudah begitu, jika tidak sedang liburan ke daerah lain, Dipta akan menikmati momen “tidurnya” Surabaya itu dengan motoran keliling kota. Sesekali juga mengayuh sepeda.
Momen seperti itu, baginya, terlalu sayang dilewatkan. Ketika tidak ada deru kendaraan, teriakan orang-orang di jalan, dan klakson yang bersahut-sahutan.
Momen 2: tebebuya bermekaran
Dalam rentang April-Mei, adalah musim ketika bunga-bunga tabebuya bermekaran di Surabaya. Ada banyak pohon tebebuya yang tersebar di jalan-jalan protokol.
Pada dasarnya, mekarnya tabebuya tidak berperan signifikan dalam mengurai keseumpekan di Kota Pahlawan. Namun, di tengah-tengah Surabaya yang terasa kering nan minim pemandangan hijau tetumbuhan—karena sudah disesaki beton-beton tinggi—tabebuya seolah menjadi oase.
“Bagi orang daerah, gedung tinggi memang terlihat menakjubkan. Tapi bagi orang yang sedari kecil di sini sepertiku, justru ketika ada tetumbuhan mekar, apalagi dengan begitu indah, untuk saat itu kulupakan dulu bahwa kota ini sudah kelewat sumpek,” tutur Dipta.
Lihat postingan ini di Instagram
Jika mendengar cerita dari simbah-simbahnya, dulu Surabaya tak sepanas sekarang. Masih sangat banyak lahan-lahan hijau yang memberi angin semilir. Begitulah kehidupan yang sebenarnya Dipta inginkan: kota yang memberi ruang hidup bagi tetumbuhan, yang tak hanya “sekadar”.
Selain April-Mei, tabebuya akan terlihat makin indah-indahnya pada Septemner-Oktober. Seperti Sakura yang bermekeran. Jadi pemandangan yang membuat para pekerja tersenyum setiap berangkat dan pulang kerja.
Momen 3: malam hari Surabaya momen terbaik untuk menyendiri
Lebaran atau libur panjang dan mekarnya tabebuya hanya musiman. Tentu tidak mungkin menunggu sekian lama hanya untuk menikmati Surabaya.
Oleh karena itu, jika memang benar-benar niat untuk menikmati kota tersebut, saran Dipta, keluarlah dari rumah atau kamar kosan kala tengah malam-dini hari. Lalu berjalanlah mengitari jalanan kota.
“Aku sering. Di jam-jam selepas ngopi misalnya, jam 2-an dini hari. Udaranya semilir. Sejuk karena embun. Jalanan lengang. Hanya ada lampu-lampu kota yang menyala sendirian,” papar Dipta. “Kalau ada kendaraan yang lewat, hanya satu-dua saja.”
Tengah malam-dini hari selalu jadi momen bagi Dipta untuk me time. Menikmati kota kelahirannya yang sejenak tak sumpek, sambil bicara-bicara sendiri di atas motor. Itu melegakan baginya.
“Ada beberapa teman yang menikmati Surabaya malam hari tanpa menunggu sepi sepertiku. Karena citylight bagi mereka tetap patut dinikmati. Silakan mau pilih yang mana. Tapi di jam-jam aktif (sebelum tengah malam), citylight tak membuat tenang karena masih harus beradu dengan deru kendaraan, klakson bersahutan, dan lebih-lebih kemacetan yang padat merayap,” tutup Dipta.
Tapi memang, kata Dipta, jangan asal pilih jalan. Malam hari paling aman memang hanya di kawasan kota. Kalau di kawasan pinggiran, seperti Kenjeran atau Jalan MERR misalnya, begal atau gangster masih menjadi momok mengerikan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Liburan di Kebun Binatang Surabaya (KBS) Jadi Kemewahan Orang Pinggiran meski Kerap Disepelekan Orang Berduit atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan