Menjemput Rezeki di Antara Pusara Kembang Kuning Surabaya

ilustrasi warung di atas makam Kembang Kuning Surabaya. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Makam Kembang Kuning santer terdengar bagi masyarakat Kota Surabaya. Tempatnya horor, bukan karena ada hantu. Teman laki-laki saya kebanyakan takut karena digoda para transpuan yang sering mangkal di sana. 

Letak Makam Kembang Kuning Surabaya dekat dengan Dolly, lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara pada zamannya. Namun, pusat prostitusi itu resmi ditutup sejak tahun 2014.

Kondisi Dolly sekarang berubah menjadi jalanan biasa, tapi berbeda dengan area Makam Kembang Kuning Surabaya. Saya melihat warung-warung berjejer di atas pusara. 

Alih-alih menghabiskan malam minggu di kafe, saya nongkrong di sana bersama teman-teman. 

Mendengarkan tembang Jawa sambil ngopi di tengah makam

Saya melintasi jalan utama makam Kembang Kuning karena ada pencahayaan. Area makam sangat gelap. Warung-warung biasanya terletak di pinggir jalan dekat makam.

Salah satu pedagang warung di makam. MOJOK.CO
Salah satu pedagang warung di makam. (Mojok.co/Aisyah A. Wakang)

Saya memutuskan nongkrong di warung milik Indrawati (46) dekat gapura “Selamat Datang”. Ada tiga orang bapak-bapak yang asyik ngopi sambil mendengarkan tembang Jawa. 

Tak jauh dari sana, salah satu transpuan duduk agak bersembunyi sambil menunggu pelanggan. Indrawati bilang tak ada masalah. Kami bebas duduk di mana saja.

Saya kemudian memesan es teh, sambil melihat sekitar Makam Kembang Kuning Surabaya. Sembari menunggu pesanan, saya menengok pohon kamboja sedang bermekaran di bawah bulan Purnama. Untungnya, lagu tembang Jawa membuat suasana tidak terlalu sunyi.

Meraup untung di atas pusara makam Kembang Kuning

Indrawati sudah setengah tahun membuka warung di Makam Kembang Kuning Surabaya. Dia bercerita makin malam warungnya makin ramai. Dia sendiri buka sejak pukul 17.00 WIB hingga 03.00 WIB. 

Para pelanggan biasanya memesan minuman. Dia juga menjual gorengan seperti, tahu, pisang, dan tela. Harganya murah, tidak sampai Rp5 ribu. 

Barang dagangan penjual warung. (Mojok.co/Aisyah A. Wakang)

“Ibu kalau kulakan itu tak penuhi semua, 2 sampai 3 minggu, tapi dapatnya sehari nggak sampai modal,” kata Indrawati kepada Mojok di Makam Kembang Kuning, Sabtu (26/10/2024).

Penghasilannya tidak tentu. Kadang-kadang, dia bisa mendapat Rp30 ribu hingga Rp50 ribu dalam sehari. Kalau sedang ramai, dia bisa mendapat keuntungan Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Itu pun jarang.

Cuaca juga memengaruhi penghasilan Indrawati. Dia harus menutup warungnya jika Surabaya hujan lebat. Dia pernah terpeleset karena pusara makam yang licin, dan sela-sela makam yang berlubang tergenang banjir. Kalau gerimis, dia masih bisa mengakalinya dengan memasang terpal.

Terjerumus menjadi PSK

Indrawati hanya lulusan SD. Dia sudah menikah sejak usia 12 tahun. Orang tuanya menjodohkan dia dengan orang dewasa. Dia tak bisa mengelak saat itu. Sesuai doktrin Jawa, anak harus patuh terhadap orang tua. 

“Usia segitu saya bahkan nggak tau namanya pacaran. Baru tau, mens itu apa, tapi kan ibu harus nurut sama orang tua. Ibu nggak pernah seneng (menikah),” kata dia. 

Suami Indrawati kemudian selingkuh, dia jadi jarang pulang ke rumah. Indrawati mengalah, sebab tahu, istri kedua dari suaminya sedang mengandung. 

Indrawati harus memutar otak untuk menghidupi lima orang anaknya. Dia mulai merantau di berbagai kota, hingga akhirnya mengadu nasib di Surabaya. 

Salah satu pedagang warung di Kembang Kuning Surabaya. (Mojok.co/Aisyah A. Wakang)

“Saya pergi ke Dolly, tapi saat saya datang tempat itu sudah tutup,” kata pedagang warung di Makam Kembang Kuning Surabaya itu.

Melalui kenalannya di sana, Indrawati terjerumus menjadi seorang PSK. Yang ada di dalam benaknya saat itu hanyalah mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup.

“Waktu iku sing penting aku isok nyekolahno anak-anaku, Mbak, (Waktu itu yang penting saya bisa memasukkan sekolah anak-anak saya),” ucapnya.

Indrawati merasa bertanggung jawab sebagai ibu. Dia rela menerjang segala rintangan demi anak-anaknya. 

Tak perlu bayar sewa bikin warung di Makam Kembang Kuning

Indrawati memutuskan berhenti menjadi PSK. Anak-anaknya yang sudah dewasa menasihatinya agar mencari pekerjaan yang lebih baik. Dia pun ingin berubah.

“Yo bukane ibu iki sok suci, wong ibu iki yo bekase wong nggak jelas. Ibu yo guduk wong apik kok, nggak onok manusia sing sempurna. Tapi yo iki mau, ibu pingin berubah, (Bukannya ibu sok suci, tapi ibu juga pernah kerja yang tidak jelas. Ibu juga bukan orang baik kok, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi ya itu tadi, ibu ingin berubah),” ujarnya.

Sembari bekerja serabutan, dia juga membuka warung di Kembang Kuning Surabaya saat malam. Mayoritas anak-anaknya juga sudah berkeluarga. Dia selalu menyempatkan waktu untuk bertemu mereka di hari Minggu.

Barang dagangan penjual warung bersandingan dengan makam. (Mojok.co/Aisyah Amira Wakang)

Indrawati mengaku senang-senang saja berjualan di Makam Kembang Kuning Surabaya, sebab tidak harus membayar sewa. Dia juga mengaku tidak pernah digusur satpol PP karena sudah ada kesepakatan.

“Kalau satpol PP tidak mengobrak warung, Nak. Asal ibu tidak ikut kerja sebagai PSK. Satpol PP ngobraknya PSK, kalau warung ini punya jadwal sendiri,” ucapnya.

Berjualan sambil merawat Makam Kembang Kuning

Sejak kecil, tongkrongan Indrawati memang di makam. Dia mengaku tidak punya pengalaman seram, seperti melihat hantu. Kematian baginya adalah takdir dari Sang Kuasa. 

“Ibu malah wedi ambek menungso, opo mane menungso mendem. Wah, ibu bakal mlayu disik. Pentung, lading, tak cepakno, (Ibu justru takut dengan manusia mabuk, wah, ibu bakal lari duluan. Alat pentungan, pisau sudah siap),” ucapnya sambil tertawa.

Indrawati bukannya tidak takut berjualan di atas makam. Bukan karena suasananya yang horor, tapi takut pamali mengganggu orang yang sudah mati.

salah satu makam yang disulap menjadi dapur. (Mojok.co/Aisyah A. Wakang)

Menurut dia, budaya orang Islam Jawa dan Kristen Tionghoa berbeda. Andaikan makam-makam di Kembang Kuning Surabaya milik orang Jawa, tentu dia tidak berani.

Meski begitu, agar tidak kualat, dia sering mendoakan jasad mereka. Indrawati juga membersihkan makam-makam di sekitar warungnya.

Keluarga atau kerabat yang datang biasanya meminta perawatan makam tiap satu tahun sekali. Indrawati biasanya dapat upah sebanyak Rp150 ribu hingga Rp200 ribu atas jasanya.

“Yang pelit banget ya ada, namanya manusia. Kuburan ini bahkan ada izinnya dari kepolisian,” kata dia.

Makam Kristen Tionghoa sendiri terbilang mahal. Indrawati menunjukkan salah satu makam yang sudah dia sulap menjadi “dapur”. Dia bilang harga pusara makam itu sekitar Rp7 juta, belum dengan biaya sewa tanah. Sungguh jauh dengan pendapatannya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Jejak Perempuan Kembang Kuning Surabaya: Para Perempuan Malam yang Mengadu Nasib di Atas Kijing Kuburan

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version