Menteng, Jakarta Pusat, dikenal sebagai salah satu kawasan elite di Jakarta. Tak terhitung lagi berapa banyak rumah-rumah mewah dan gedung-gedung tinggi yang berdiri di sana.
Konon, harga tanah di Menteng menjadi yang tertinggi di Indonesia. Menurut hitung-hitungan beberapa pakar properti, harga tanah di sana bisa mencapai Rp100 juta per meter persegi. Maka tak heran kalau Menteng disebut sebagai rumahnya orang-orang tajir melintir.
Meski dikenal sebagai kawasan elite, ada banyak ironi di dalamnya. Misalnya, di Twitter (X) pernah ramai dengan postingan netizen yang menunjukkan sebuah rumah reyot berdiri di antara rumah-rumah mewah. Belakangan diketahui rumah tersebut dihuni oleh seorang janda tiga anak yang sehari-hari bekerja di pasar tradisional.
Tak sampai di situ. Di balik kemewahan dan gelimang harta orang-orang kaya, juga tersimpan derita para perantau yang datang dari berbagai daerah. Mereka berniat mengubah nasib, tapi yang didapat malah sebaliknya.
Nekat ke Jakarta cuma bermodal nyawa
Fiko (25), begitu ia meminta ditulis, adalah salah satunya. Datang dari sebuah kota kecil di Jawa Timur, motivasinya cuma satu: mencari uang sebanyak-banyaknya untuk kebahagian orang tua.
“Di kotaku itu UMR-nya kecil banget. Tiap tahun jarang naik. Apalagi buat lulusan SMA sepertiku, nyaris nggak dihargai,” ujarnya tatkala dihubungi Mojok, Senin (19/5/2025) malam.
Ia memilih Menteng, Jakarta Pusat sebagai jujugan karena ajakan salah satu kawan yang sudah terlebih dahulu merantau. Kata dia, mengulang nasihat kawannya itu, “ijazah nggak penting, asal bisa kerja bakal punya banyak uang.”
Oleh karena ajakan itu, ia pun mantap datang ke Jakarta tanpa bekal apa-apa: tak ada surat lamaran, berkas-berkas penting lainnya, ataupun uang saku. Kata dia, modal nyawa saja.
“Temanku di Menteng kerja buat orang gitu, nggak tetap. Kadang suruh jaga rumah, kadang jadi asisten artis, pokoknya sesuai panggilan. Freelance, tapi banyak uang,” ucapnya.
Kerja 7/24, dibayar cuma 600 ribu
Benar saja, sesuai dugaannya, setibanya di Jakarta ia langsung dapat kerja. Ia bekerja di sebuah rumah orang kaya di Menteng, Jakarta Pusat. Jobdesk-nya? Fiko diminta untuk “menjaga” rumah tersebut selama ditinggal beberapa hari ke luar negeri oleh pemiliknya.
Menjaga yang dimaksud termasuk membersihkan, merawat, hingga menyambut orang kalau-kalau ada tamu yang datang. Prinsipnya sama dengan pekerja rumah tangga (PRT), bedanya ia hanya bekerja saat rumah itu ditinggal.
“Benar-benar kayak pembantu. Nyapu, ngepel, bersihin kebun, bedanya itu aku kalau nggak salah kerja cuma 7 hari pas rumah itu ditinggal sama pemilik,” ungkapnya.
Kalau dilihat dari foto-foto di rumah itu, Fiko menduga kalau pemiliknya adalah pejabat. Entah anggota DPR, menteri, atau pejabat lain. Ia tak mau menduga-duga, yang penting dibayar, pikirnya.
Baca halaman selanjutnya…
Ada yang diupah murah. Ada juga yang dibayar “terima kasih”, padahal oleh artis.
Selama tujuh hari nonstop, Fiko tinggal di sana dan melaksanakan jobdesk-nya. Namun, tetap ada aturan yang harus dipatuhi. Seperti dilarang masuk kamar-kamar tertentu, dilarang membawa orang masuk ke rumah, hingga tak boleh mencuri. Selama tujuh hari itu pula, ia memperlakukan rumah itu laiknya rumah sendiri.
“Persis kayak yang dikatakan bos-bos, ‘kita keluarga, anggap saja rumah sendiri,” kata dia.
Sialnya, ketika pekerjaannya selesai, Fiko kaget karena cuma dibayar Rp600 ribu untuk pekerjaan 7/24. Artinya, per harinya ia mendapatkan upah tak sampai Rp100 ribu.
“Alasannya, kata mereka kan aku dah diizinin tinggal di sana. Makan juga di sana. Makanya wajar upah segitu.”
Jujur Fiko merasa kecewa. Namun, ia tak berani membantah atau melawan karena memang cuma orang kecil, sementara di hadapannya adalah orang kaya penuh kuasa.
Banyak orang kaya di Menteng Jakarta Pusat yang suka menginjak orang miskin
Fiko pernah bertanya ke temannya, apakah upah yang ia terima wajar? Kata temannya: beda rumah, beda pemilik, berbeda juga upah yang diberi. Alias suka-suka mereka.
Masalahnya, selama beberapa bulan melakukan pekerjaan tersebut di rumah yang berbeda, upahnya tak beda jauh. Bahkan ada yang lebih sedikit.
“Masalahnya, kalau sebulan cuma kerja dua kali, berarti penghasilanku palingan cuma sejuta. Sementara di luar itu, aku tetap kudu makan, ngasih duit orang tua, dan bayar kos,” kata dia.
Di Menteng, Jakarta Pusat, kelakuan orang kaya yang suka “menginjak” orang miskin tak cuma dialami Fiko. Fikri (24), perantau lain asal Jawa Barat, bahkan mengalami hal yang lebih parah. Kisahnya itu pernah ia tulis dalam grup Facebook Komunitas Orang Susah (KOS).
Kepada Mojok, Fikri bercerita bekerja sebagai asisten “artis nanggung”. Ia sebut nanggung karena si artis belum begitu populer, tapi punya ratusan ribu follower di TikTok.
Setiap hari, Fikri bekerja dengan mode palugada: jadi driver antarjemput, menyiapkan kebutuhan si artis, bahkan terkadang menjadi juru bicara ke klien yang ingin endorse.
“Aku kerja mode nonstop. 24 jam wajib bisa dihubungi. Kalau nggak balas chat sebentar saja, bisa kena marah,” ungkapnya, Senin (19/5/2025).
Meskipun sudah bekerja keras bagai kuda, gaji yang ia terima tak sepadan. Tiap bulan, ia hanya diupah Rp2 juta. Alasannya, itu adalah upah standard buat asisten artis.
Tak sampai di situ, ada kalanya ia cuma dibayar dengan janji dan ucapan “terima kasih”. Saat si artis sedang sepi job, Fikri sama sekali tak digaji. Kata si artis, gajinya bakal dirapel bulan berikutnya.
“Tapi di bulan berikutnya gajiku ya segitu aja, alias yang bulan lalu dah dilupain begitu aja,” ujarnya. “Tapi aku nggak bisa protes, soalnya paham betul sekarang lagi susah cari kerja. Takut dipecat.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
