Ada masa ketika Gunung Muria meneteskan air dari segala sisi. Dari akar beringin tua, dari batu-batu basah di tepi jalan, atau dari tanah yang selalu lembap bahkan di musim kemarau.
Muria itu seperti ibu yang tak pernah kehabisan air susu. Sayang, kini tubuhnya nyaris kering dan berdebu.
Satu per satu, sumber air yang dulu menghidupi warga berkurang debitnya. Di Bukit Patiayam, misalnya, aliran air yang mengalir deras kini bisa dihitung jari jumlahnya. Di Desa Colo dan Japan, meski kini air tetap mengalir sepanjang tahun, ada masa di mana masyarakat susah mencarinya.
“Kalau air hilang, bukan cuma manusia yang menderita,” ujar Teguh Budi Wiyono, pengelola Yayasan Pegiat Konservasi Alam (PEKA) Muria, Rabu (8/10/2025).
Masa ketika air perlahan menghilang
Perubahan tersebut memang datang perlahan. Nyaris tanpa terasa. Sejak awal 2000-an, Muria kehilangan banyak tutupan hutan akibat penjarahan hutan setelah Reformasi 1998. Hutan-hutan yang dulu lebat di kawasan Colo, Rahtawu, dan Japan, berubah menjadi kebun kopi. Sebagian wilayah juga terbakar hebat pada 2015.
Teguh masih mengingat betul masa yang disebut orang di sana sebagai Ngamazon. Yakni masa ketika hutan Muria dijarah besar-besaran setelah reformasi.
“Itu tahun-tahun gelap,” cerita Teguh, matanya menatap jauh. “Semua orang seolah punya alasan untuk menebang. Ada yang karena butuh uang, ada yang sekadar ikut-ikutan.”
Waktu itu, pengawasan hutan lemah. Truk-truk bermuatan kayu keluar masuk malam hari tanpa hambatan. Orang menebang pepohonan besar yang berdiri di tepi mata air. Dalam sekejap, ribuan batang hilang.
“Kayunya dijual murah,” ujarnya.
Lahan-lahan baru juga dibuka. Paling banyak untuk perkebunan kopi. Anehnya, orang-orang yang membuka lahan di sana bukan orang asli Muria. Anehnya lagi, lanjut Teguh, mereka membeli tanah tersebut juga bukan dari orang Muria.
“Oknum-oknum ini yang membuat hutan kala itu digunduli,” kata Teguh. “Setelah itu, banyak sumber air yang tak lagi keluar airnya.”

Cerita kerusakan tersebut bukan sekadar kisah nostalgia, tapi menyebabkan sisi kelam bagi alam Muria. Penelitian Maria Theresia Sri Budiastuti dan kolega di Journal of Soil Science and Agroclimatology (2020) mencatat, ada tujuh sub-DAS di kawasan Muria yang dikategorikan sebagai lahan kritis dengan luas total sekitar 11.000 hektare.
Lereng-lereng curam didominasi tanah berpasir dan miskin unsur hara, sehingga mudah tererosi saat hujan deras. Tanah yang tandus kehilangan kemampuan menahan air, menyebabkan sumber air cepat surut. Dalam periode lima tahun terakhir saja, debit di beberapa mata air di Kecamatan Dawe turun hingga separuhnya.
“Saya merasakan itu memang periode yang memprihatinkan bagi alam di Muria.”
Baca liputan di serial Ekspedisi Tirtamuria lainnya:
- Pohon Beringin, “Si Angker” yang Menyelamatkan Sumber Mata Air di Lereng Muria
- Mata Air Abadi di Lereng Muria: Terus Mengalir dalam Pengkeramatan, Jadi Warisan Hidup untuk Anak-Cucu
Muria adalah rumah bagi manusia dan alam
Kerusakan alam yang terjadi di alam Muria, memang punya implikasi yang serius. Sebab, bagi masyarakat sekitar, Gunung Muria bukan hanya tumpukan tanah tinggi. Ia adalah rumah besar tempat manusia, hewan, dan tumbuhan hidup berdampingan.
Di lembah-lembahnya hidup macan tutul Jawa–spesies endemik yang menjadi simbol keseimbangan ekosistem. Di pucuk-pucuk pohon, elang Jawa kadang masih terlihat berputar di langit.
Penelitian Puput Novytasari dan kolega pada 2024 menyebut bahwa Muria menopang 11 daerah aliran sungai (DAS) hulu yang memengaruhi sistem hidrologi di pesisir utara Jawa. Kawasan ini memegang fungsi ekologis vital: penyangga kehidupan, penahan erosi, sekaligus penyedia cadangan air tanah.
Namun, status hukumnya masih lemah. Ia masih ambigu, berada di antara hutan lindung dan hutan produksi, sehingga rawan dieksploitasi.
Kehilangan hutan berarti kehilangan jantung bagi sistem air. Sebab, vegetasi di Muria sebenarnya sangat kaya. Ada ficus (beringin-beringinan), bambu, paku-pakuan, dan tanaman penaung alami yang menjaga kelembapan tanah.
Penelitian lokal di kawasan mata air Tiga Rasa, Rejenu, mencatat lebih dari 30 jenis tumbuhan yang berperan dalam menjaga debit air. Ironisnya, banyak jenis itu justru ditebang untuk membuka lahan pertanian.
“Kalau air hilang, bukan cuma manusia yang menderita,” kata Teguh. “Burung kehilangan tempat minum, pohon mati, dan Muria kehilangan napasnya.”
Gerakan dari bawah
Keresahan itulah yang padah akhirnya melahirkan Yayasan PEKA Muria. Teguh dan beberapa rekannya, yang sebelumnya aktif di komunitas pencinta alam, resah melihat semakin sedikit mata air yang mengalir.
Sejak awal 2000-an mereka sudah membangun gerakan konservasi di lereng Muria. Namun, pada 2023, mereka memutuskan mereorganisasi yayasan yang berfokus pada konservasi hutan dan sumber air di lereng Muria.
“Kami sadar, kalau tidak dimulai dari bawah, Muria akan hilang dalam diam,” ujarnya.
Filosofi mereka sederhana: air adalah amanah antargenerasi. Dalam setiap kegiatan, Yayasan PEKA Muria menekankan pendidikan lingkungan ke masyarakat desa, terutama anak muda. Mereka sering mengadakan diskusi di balai desa, mendatangi sekolah, hingga mengajak santri dari pondok pesantren sekitar untuk ikut menanam pohon.
“Kalau anak cucu nanti kehausan, itu dosa kami,” kata Teguh pelan. Kalimat itu menjadi semacam mantra yang selalu diulang di setiap kegiatan mereka.
Salah satu aksi paling rutin Peka Muria adalah penanaman bibit di sekitar sumber mata air. Pada Desember 2023, mereka menanam 86 bibit pohon di kawasan Rejenu, terdiri dari bambu, ficus, dan tanaman buah lokal.
Di puncak Argopiloso, Pati, sekitar dua ratus bibit pohon naungan ditanam untuk merehabilitasi lahan bekas kebakaran.
“Jenis yang kami pilih bukan sembarang,” jelas Teguh. “Kami tanam yang akarnya kuat menahan tanah, daunnya rimbun menahan air.”
Setiap kegiatan tanam dicatat dalam sistem pemetaan digital. Koordinat titik tanam disimpan agar bisa dipantau perkembangan bibitnya.
“Kami tidak mau penanaman hanya jadi seremoni,” kata Teguh. “Kami kembali lagi untuk menyulam tanaman mati dan membersihkan area sekitar sumber air.”
Selain menanam, Peka juga mengadakan aksi bersih sungai dan kampanye pengurangan sampah plastik di jalur pendakian. Mereka ingin menunjukkan bahwa konservasi tak hanya soal menanam, tapi juga soal mengubah perilaku.
Tantangan di lapangan
Namun, menjaga alam tak pernah mudah. Bibit sering mati sebelum berakar kuat karena tanah terlalu kering atau dimakan ternak. Kadang, bibit yang baru tumbuh ditebang warga yang butuh kayu bakar.
“Kami tidak bisa menyalahkan sepenuhnya,” ujar Teguh. “Orang butuh hidup. Tapi kami berusaha pelan-pelan menjelaskan bahwa hutan adalah tabungan air mereka sendiri.”
Ada juga tantangan struktural. Status kawasan Gunung Muria yang masih bercampur antara hutan lindung dan produksi membuat pengelolaan konservasi sering tumpang tindih.
Penelitian Novytasari dan kolega, sekali lagi, merekomendasikan perubahan status Muria menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) agar memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat. Dengan begitu, program konservasi bisa berkelanjutan dan melibatkan masyarakat secara legal.
“Kalau statusnya jelas, semua pihak bisa bekerja di jalur yang sama,” kata Teguh menanggapi gagasan itu.
Tantangan lainnya adalah cuaca ekstrem. Hujan deras bisa menggerus bibit, sedangkan kemarau panjang mengeringkan tanah. Dalam kondisi itu, mereka bergantung pada semangat relawan.
“Yang paling penting, jangan menyerah. Pohon memang tumbuh lambat, tapi air yang kembali mengalir, nilainya tak terukur,” katanya.
Setiap tetesan air adalah tanda bahwa Muria belum menyerah
Setelah dua tahun berjalan, hasilnya mulai terlihat. Di beberapa titik, terutama di Rejenu dan Japan, debit air meningkat. Sendang yang dulu kering kini kembali menetes.
Vegetasi baru juga mulai tumbuh. Daun-daun muda muncul di lereng yang dulu gundul. Burung-burung kecil mulai terlihat kembali di antara ranting. Di malam hari, beberapa warga bahkan mengaku mendengar suara kijang.
“Mungkin alam mulai mempercayai kita lagi,” katanya, tertawa.
Selain efek ekologis, juga ada dampak sosial. Anak muda desa kini rutin ikut kegiatan tanam dan bersih sungai. Alhasil, PEKA Muria kini tak lagi berjalan sendiri; mereka berkolaborasi dengan komunitas pecinta alam, petani kopi, dan kelompok perempuan desa.
Yayasan PEKA Muria sadar, perjuangan mereka baru permulaan. Menanam seribu pohon hanya langkah kecil dibanding skala kerusakan yang ada. Namun, bagi mereka, yang penting bukan seberapa banyak pohon yang ditanam, melainkan berapa banyak hati yang ikut tumbuh.
“Konservasi bukan pekerjaan sehari dua hari,” kata Teguh. “Ini soal kesabaran lintas generasi.”
Ia berharap, perubahan status Muria menjadi Taman Hutan Raya benar-benar terwujud, agar perlindungan ekosistem memiliki dasar hukum yang kuat. Namun, lebih dari itu, ia ingin kesadaran menjaga air menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
“Air adalah utang kita pada bumi,” katanya. “Dan setiap tetes yang kembali mengalir, adalah tanda bahwa Muria belum menyerah.”
Tulisan ini merupakan serial Ekspedisi Tirtamuria untuk edisi Oktober 2025
Reporter: Ahmad Effendi dan Muchamad Aly Reza
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Demak dan Kudus (Hampir) Tenggelam, Banjir Besar Membuat Warga Putus Asa dan Putus Harapan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan